webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 32

"Ahh jadi gini rasanya duduk di belakang." Rein menduduki kursi yang awalnya merupakan tempat duduk Haris. Setelah anak itu pergi, Jian menjadi duduk sendiri.

"Heh." Jian menggoyangkan tubuh Rein ketika gadis itu menenggelamkan wajahnya pada tumpuan tangannya di bangku Jian.

"Diem kek ih, gue lagi kangen sama Haris," protes Rein karena ia merasa terganggu dengan Jian.

"Terus dengan duduknya lo di kursi bekas tuh bocah, rindu lo bisa tuntas gitu? Udah sana lo balik ke kursi lo! Gue mau tidur." Rein menatap tajam ke arah Jian. Jian ini benar-benar tidak dapat diajak kerjasama, pikirnya.

"Tidur ya tinggal tidur aja kali, ngapa ribet banget sih?"

"Terus gue tiduran di sini sama lo, gitu? Heh, lo mau gue perang sama Sheril?" Rein mendorong wajah Jian yang dekat dengannya karena dia bicara secara berbisik padanya.

"Gak usah deket deket juga lo, ih! Ya udah gue minggat nih biar lo puas."

'Duk!' Rein menendang kaki meja lalu berlalu dari sana untuk kembali ke bangkunya. "Gue aduin kepala sekolah lo baru nyaho. Kasar banget jadi cewek."

"Muka lo kusut banget, tenang Rein 2 jam lagi istirahat, kok. Entar lo boleh makan sepuasnya, ok?" Sheril menepuk-nepuk bahu Rein yang berada di sampingnya.

"Ahhk dua duanya ngeselin kalian, jauh jauhlah dari gue!" Sheril menatap heran pada Rein yang pergi keluar kelas.

"Sher."

"Iya?" Jian melihat ke arah ambang pintu untuk memastikan Rein sudah menjauh dari kelas. Setelah Rein tak nampak, Jian langsung duduk di kursi Rein yang berada di samping Sheril.

"Kenapa?"

"Si Rein gila kayanya." Seketika Jian mendapatkan tamparan pelan pada pahanya dan Sheril adalah pelakunya.

"Ish gaboleh gitu, ah! Rein cuma kadang belum terbiasa aja sama keadaannya yang sekarang."

Ketika gadis itu sedang berjalan di koridor, tiba-tiba ada seseorang yang menahannya dari belakang.

"Lo mau ke mana?" Rein membalikkan tubuhnya dan ia melihat Sakti berada di belakangnya.

"Gue juga gak tau, mood gue lagi gak baik." Gadis itu menyandarkan punggungnya pada dinding kelas yang ada di belakangnya.

"Tapi ini belum istirahat, lo mau cabut? Tumbenan banget." Sakti sedikit melirik ke kanan dan ke kirinya untuk memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua.

"Gue jamkos 2 jam. Lo sendiri ngapain ada di sini?" Sakti hanya terkekeh untuk menanggapi perkataan Rein. "Wah cabut kelas lagi nih bocah rupanya. Sendiri?"

"Heem, si Bastian sama Jian lagi pada tobat makanya gak mau ikut."

"Cih, mereka kan emang udah janji sama cewek mereka waktu itu gak bakal bolos lagi."

"Iya, sih. Mau ke rooftop gak?"

Angin menerpa tubuh mereka di atas sana. Suasana hati Rein sudah mulai membaik ketika dia melihat pemandangan sekolah dari atas. Rein tidak betah berada di kelas belakangan ini karena dia selalu melihat bayangan Haris di setiap sudutnya, itu semuanya berhasil membuatnya muak. Bukan karena benci pada orangnya melainkan ia benci akan rasa rindu yang teramat sangat yang sudah begitu jelas akan susah untuk mengobatinya.

"Jika dulu kalian anggap gue dan Haris sebagai air dan api yang gak bisa nyatu, gue rasa kalian salah. Haris adalah api dan gue adalah kayu. Api cuma butuh waktu buat membakar seluruh batang kayu. Dan kalau api berhasil membakar seluruh batang kayu itu, maka api akan padam dan jadilah arang. Itulah keadaan gue sekarang, hitam dan suram seperti arang setelah dia hilang." Sakti tersenyum pada gadis yang masih fokus menatap ke depan. Tangannya terulur pada kepala gadis itu dan mengusapnya lembut.

"Lo bakal kembali nemuin kebahagiaan lo lagi, kok. Tapi mungkin bukan sekarang, lo tunggu aja karena lambat laun hari di mana lo bakal bahagia pasti bakal datang. Jangan sedih terus, ya? Lo harus baik-baik aja, gue gak mau liat lo terpuruk seperti ini. Sebenernya gue sedih karena lo udah gak seceria dulu lagi setelah Haris pergi."

"Itu semua karena gue gak bisa berpikir positif tentang dia dan gue yang jauhan kek gini, Sakti."

Rein menatap Sakti intens sedangkan pria itu tersenyum lembut ke arahnya.  "Ya, itu emang godaan yang namanya LDR. Lo bisa apa emangnya? Setiap orang yang ngelakuin LDR pasti pernah ngerasain hal kek gitu, kok. Bawa santai aja, lo pasti bisa."

• • •

"Rein, Arbi pengen ketemu!" Barra datang dengan Arbi yang ia angkat-angkat ke udara sambil berjalan ke arah Rein yang kala itu sedang duduk di teras rumahnya. Setelah ia sampai pada gadis itu, ia memberikan kucing berbulu abu itu padanya.

"Ihh, makin gembrot!" Rein memekik gemas dan terus mencubit bulu di sekitar pipinya. "Iya ya, udah berapa hari gue gak ke rumah lo buat liat Arbi. Tambah lucu ih pengen gigit."

Barra tersenyum dan terus memandangi wajah indah Rein yang sangat terlihat senang saat ini setelah ia bertemu dengan Arbi. Semakin hari Rein terlihat semakin cantik di matanya.

Barra mengambil posisi duduk di dekat kaki Rein dan tangannya ikut membelai kucing menggemaskan itu. Barra tidak sengaja menumpangkan tangannya pada tangan Rein ketika ia mengusap Arbi. Bukannya langsung menjauhkan, Barra malah menarik tangan Rein dan menggenggamnya.

Gadis itu menatap Barra yang terduduk di dekat kakinya. Keduanya terdiam beberapa saat hingga pada akhirnya …,

"Rein, lo mau ga-"

"Enggak." Barra mengangkat pandangannya dan melepaskan tangan Rein dari genggamannya.

"Enggak?" Tanya Barra Heran.

"Gue masih cinta sama Haris, Barra." Mendengar itu Barra semakin memasang wajah herannya. Ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan gadis itu.

"H-ha? Lo ngomong apa, sih?"

"L-lo mau ngomong apa emangnya?" Barra menghela napasnya lalu ia berdiri dari duduknya.

"Gue cuma mau nanya, lo mau gak kalo misalnya kita beliin Arbi baju?" Seketika pipi Rein memerah dan ia memalingkan wajahnya dan dalam hatinya ia mengumpat pada dirinya sendiri yang ternyata sudah salah paham. Tentu saja Barra dapat mendengarnya karena memang itu adalah kelebihan yang dimilikinya.

"Oh, lo mikir kalo gue mau nembak lo gitu? Haha pengen banget gue tembak." Rein otomatis kembali menatap Barra setelah pria itu berkata demikian.

"Ih apasih?! Gak gitu tau! Dahlah males, ngomong dalem hati di depan lo emang sebuah kesalahan yang besar. Kenapa sih gue harus ketemu dan kenal sama orang yang modelan kek lo?" Rein berdecak sebal.

"Cieee pengen gue tembak." Barra terus menggoda gadis itu hingga wajahnya benar-benar memerah.

"Gak gitu!!! Udah deh!"

"Aaaa masa, sih?"

"KAK RENDI, BARR-Mmpph!" Barra langsung membekap mulut Rein dengan tangannya. "Dih bisanya ngadu ah, gak seru."

"Ya lo si."

"Kenapa sih teriak teriak?" Rendi keluar dengan muka bantalnya. Tidur siangnya telah terganggu dan mereka adalah penyebabnya. "Gak papa, Bang. Gak ada apa-apa, kok."

"Hm? Itu kucing siapa?" Tanya Rendi karena ini adalah pertama kali baginya melihat kucing itu ada di sini.

"Ini kucing kita, dong," jawab Barra.

"Ohoamm …, anak kalian?"

"Heh! Tidur lagi sana! Ngaco." Rein menyeret Rendi ke dalam rumah lalu menutup pintunya. "Nyawanya belum kekumpul itu. Meresahkan." Rein kembali duduk di tempat semula.

"Ekhem, Rein. Lo mau gak?"

"Mau apa?"

"Jadi ibu dari anak-anak gue?"

"Eumm mau gak, ya? Enggak deh kayanya. Soalnya di sini udah ada anaknya Haris." Rein menepuk perut ratanya seraya menyeringai pada Barra. Barra yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan tangan mendramatis.

"Gue aduin bang Rendi, wajib!" Barra langsung bangkit dari duduknya dan ia berlari ke dalam rumah.

"Heh, Barra!" Rein mengejar Barra yang berlari itu dan ia berusaha keras untuk dapat mendapatkannya.

"GUE ADUIN MAMPUS LO HAHAHA!!! BANG, SI REIN UD-"

"GAK BOLEH, HEH! GUE CUMA BECANDA." Rein terus mengejar Barra dan mereka malah bermain kejar-kejaran di ruang tamu. Rendi yang masih mengumpulkan nyawanya di sana hanya bisa menatap malas ke arah mereka.

"BANG! SI REIN DAH NGIS-"

"BOHONG, KAK! JANGAN PERCAYA SAMA DIA! MUSYRIK! BARRA BERHENTI GAK LO?!"

"OGAH!" Lama-lama Rendi merasa jengah, ia pun beranjak dari duduknya lalu menghentikan mereka dengan cara menjewer telinga mereka satu persatu lalu menyuruhnya untuk duduk.

"Duduk! Kek bocah aja lo berdua. Ada apa terus libatin gue?"

"Bang, Rein ud-" Rein membekap mulut Barra dengan tangannya sebelum pria itu bicara yang macam-macam.

"Becanda, Barr, becanda! Tau jokes gak lo? Baperan amat."

"Udah? Awas aja lo manggil manggil gue lagi!" Rendi pergi ke kamarnya dan meninggalkan mereka berdua di sana. Setelah Rendi pergi, Rein menjauhkan tangannya dari mulut Barra.

"Tangan lo asin buset!" Barra mengusap bibirnya kasar setelah tangan Rein terlepas dari sana.

"Gue abis ngupil, makan tuh!"

"Eh, Arbi mana?" Mereka berdua baru tersadar jika Arbi tidak ada bersama mereka. Mereka berdua beranjak dan mulai mencari keberadaan kucing itu.

"Gara-gara lo, sih."

"Kok gue? Kan lo yang terakhir megang dia tadi pas ngejar gue." Rein menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya mengingat-ingat kapan dia melepaskan kucing itu dari tangannya.

"Halah kebanyakan mikir, cari di lantai 2 ayo!" Ajak Barra dan mereka pun menaiki tangga untuk pergi ke lantai 2.

"Kak Rendi liat kucing kit-" ucapan Rein terhenti ketika ia melihat kakaknya sedang bermain dengan Arbi di kamarnya.

"Wah, liat Barra! Arbi dicolong Kak Rendi." Rein menunjuk ke arah Arbi yang saat itu pada Rendi.

"Sembarangan! Ini kucing ngikut gue pas gue naik." Rein memasuki kamar kakaknya itu lalu mengambil Arbi yang kala itu sedang berbaring di atas kasur.

"Arbi jangan deket-deket sama yang lain selain sama Rein dan Barra!" Rein berbicara tepat di depan wajah Arbi yang sedang ia angkat.

"Dih, apaan banget? Mana ngerti dia," cibir Rendi yang membuat Rein dan Barra bertatapan dan tersenyum sinis.

"Mau dibuktiin? Liat nih ya, Kak. Arbi …, Rein mana?" Tanya Rein dan tiba-tiba saja kucing itu menepuk-nepuk pipi Rein dengan kaki kecil berbantalan empuk miliknya. "Tuh, Kak. Dia pinter, kan?"

"Halah, cuma kebetulan doang paling itu," ucap Rendi masih meremehkan.

"Ih! Masih kurang, ya? Liat nih! Arbi, Barra mana Barra?" Arbi langsung melompat pada Barra yang sedang berdiri di samping Rein. "Kak, ter-buk-ti!"

Rendi sedikit tercengang melihatnya. Ia tidak pernah menyangka jika Rein dan Barra telah berhasil melatih kucing itu. "Cih, iya deh terserah lo berdua aja. Keluar sono kalian!"

"Dih, ayo, Barr!" Mereka berdua keluar dari kamar Rendi dan kembali turun ke bawah. "Jadi gimana, Rein? Mau gak jadi ibu dari anak-anak gue?"

"Heh! Lo ngomong kek gitu seakan bukan apa-apa, ya." Rein berjalan lebih dulu dari Barra dan pria itupun berusaha untuk menyamakan langkah mereka.

"Kalo kita takdir gimana? Dan sebenernya pertemuan kita juga adalah takdir namanya."

"Jangan mikirin itu dulu, tahun depan kita bakal ngadepin banyak ujian. Ayo kita lulus dengan baik dan kuliah dulu!"

•To be Continued•