webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 31

"Wih, Bro. Akhirnya datang lagi lo."

"Udah lama juga ya gue gak gabung?"

"Santai ae santai. Nih, minum gak?"

"Entar deh, baru juga gue nyampe."

Seorang pria menyunggingkan senyumnya ketika inderanya menangkap seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Ah rupanya, gue kira dia anak baik-baik. Rupanya 11 12 sama gue." Pria itu kembali meneguk wine-nya dengan matanya yang terus memperhatikan seorang pria yang tengah bercanda dengan teman-temannya.

"Jadi, dia juga masuk gengnya si Yoel, ya? Cih, si bajingan itu bikin gue muak tiap kali gue liat muka dodolnya." Sakti mengalihkan pandangannya ke samping kanannya dan ia sedikit terkejut saat ia melihat ada wanita yang duduk di sampingnya.

"Wah, ada apa nih? Ketemu sama musuh, ya?" Sakti berniat untuk meninggalkan wanita itu tapi saat dia baru saja beranjak wanita itu langsung menahannya dan menariknya untuk duduk kembali.

"Eh, gak usah buru-buru gitu dong! Mending nyantai aja."

"Lo siapa, sih?" Sakti menepis tangan wanita itu yang memegang pergelangan tangannya.

"Ow, lupa? Becanda aja." Wanita itu memberikan senyum liciknya. Ya, wanita itu merupakan mantannya Sakti yang meninggalkan pria itu karena ia diharuskan menikah setelah ia dinyatakan hamil anak dari selingkuhannya. Jadi intinya, dari sekian banyaknya wanita yang pernah menjadi pacar Sakti di masalalu, terdapat dua orang wanita yang meninggalkannya karena masalah yang serupa.

"Lo ngapain masih ke sini? Gak liat perut lo udah gede kek gitu?" Wanita itu melihat ke arah perutnya yang memang sudah membesar karena memang kandungannya sudah berusia 6 bulan.

"Ya gak papa, orang gue ke sini gak sendirian, kok. Gue bareng suami gue." Sakti membulatkan matanya tak percaya. Memang pernah ada terceritakan seorang suami membawa istrinya yang sedang hamil ke club?

"Suami sejenis apa yang berani bawa istrinya yang lagi hamil ke club? Gila," umpatnya.

"Ssttt … jangan kenceng-kenceng gitu dong ngomongnya." Sakti tidak menghiraukannya lalu ia beranjak untuk pergi ke toilet. Karena Sakti harus melewati Yoel dan teman-temannya untuk pergi ke toilet jadi mata mereka sempat bertemu.

"El, si cecunguk tuh." Temannya yang bernama Suvan itu sedikit menyenggol Yoel yang ada di sampingnya. Barra yang melihat itu adalah Sakti, ia langsung menatap heran ke arah teman-temannya yang sepertinya sudah mengenalinya.

"Itu si Sakti, kan?"

"Yoi. Kok lo tau?" Tanya Yoel karena mereka berpikir memang seharusnya Barra tidak mengenalinya karena dia anak baru di lingkungan itu.

"Ya, gue cuma sekedar tau namanya doang, sih." Keempat pria yang lainnya hanya menganggukkan kepalanya mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Barra.

"Barr, lo tau? Si Yoel pernah masuk rumah sakit gara-gara duel sama dia hahah." Suvan sedikit menepuk bahu Yoel yang ada di sampingnya.

"Bacot lo, waktu itu kondisi gue lagi kurang bagus aja." Ya, Yoel mengelak untuk mempertahankan harga dirinya.

"Gue ke toilet dulu ya, Bro." Barra pergi meninggalkan mereka dan berjalan ke arah toilet dan tentu saja ia akan bertemu dengan Sakti nantinya.

Saat mereka bertemu, mereka sempat bertatapan beberapa detik sebelum Sakti lebih dulu keluar dari sana.

"Tunggu dulu!" Sakti menghentikan langkahnya tapi ia sama sekali tidak membalikan tubuhnya.

"Rein gak tau gue kek gini, lo mau kan rahasiain ini dari dia?" Sakti menyunggingkan senyumnya dan ia kembali membalikan tubuhnya dan menatap Barra.

"Cih, pencitraan. Bejat ya bejat aja, cewek itu lebih suka orang yang apa adanya, kok. Dia tau gue kek gini tapi tetep aja dia pernah suka sama gue."

"Maksud pernah suka?" Sakti tidak menghiraukan pertanyaan dari Barra dan ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan Barra tanpa mengatakan sepatah katapun. Sedangkan itu dengan Barra, ia langsung memikirkan ucapan Sakti yang tadi tentang Rein yang disebutkan pernah menyukainya.

"Bro, gue duluan ya," pamit Barra kepada teman-temannya yang membuat mereka menatapnya heran. Ia bahkan baru datang beberapa saat yang lalu dan sekarang dia malah akan pergi lagi.

"Buru-buru amat," ucap Yoel

"Gue ada urusan." Barra kembali memakai jaketnya lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Di sini ia berakhir, di depan sebuah rumah yang tampak sepi dari luar. Pria itu melihat ke arah arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Ting!

Sebuah tangan meraba-raba mengitari atas nakas untuk mencari sebuah benda yang tiba-tiba berbunyi.

Barra: Rein, udah tidur?

Rein: Belum, kenapa?

Barra: Bisa turun sebentar? Gue ada di depan

'Ceklek'

"Lo habis dari mana?" Tanya Rein setelah mereka berdua duduk bersampingan di atas sofa yang ada di teras rumah Rein.

"Rein, menurut lo gue gimana?" Rein memberikan mengernyitkan dahinya heran. Mengapa tiba-tiba saja Barra Bertanya seperti itu padanya? Melihat Rein yang masih menatapnya heran, Barra pun kembali mengeluarkan suaranya. "Kalo gue nakal lo bakalan tetep mau kenal sama gue, kan?"

"Nakalnya kek gimana dulu?" Tanya Rein.

Barra terdiam sejenak sebelum ia kembali berbicara. "Eumm … misalnya pergi ke club sama anak-anak?"

Wajah Rein yang tadinya terlihat keheranan kini telah kembali seperti biasanya setelah mendengar Barra mengatakan itu. "Oh, kalo masalah itu sih, si Sakti juga anak club tuh tapi tetep gue anggap temen gue kok."

"Gitu, ya?" Barra sedikit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kenapa si tiba-tiba nanya kek gitu?"

"Enggak." Rein menatap Barra penuh selidik dan tersenyum meragukan karena ia melihat tiba-tiba saja Barra berlaga aneh di hadapannya. "K-kenapa natep gue kek gitu?"

"Hayolo ngaku!" Rein menunjuk Barra yang membuat pria itu semakin menunjukkan sisi mencurigakannya.

"Nga-ngaku apa?"

"Lo rapih kek gini …," Rein menjeda ucapannya lalu sedikit menarik jaket yang dikenakan oleh Barra. "Mau pergi ke club, ya?"

"Nggak bener itu." Barra membela dirinya sendiri.

"Halah, ngaku lo!"

"Eggak bener asli, kalo lo jawabnya 'baru pulang' itu baru bener." Barra mengeluarkan kekehannya.

"Halah."

'Plak!'

"Ahk! Kok ngegeplak si?" Barra mengusap bahunya yang Rein tampar tadi. "Emang lo mau ngapain ke sana? Minum minum?"

Barra menggelengkan kepalanya cepat karena tadi ia memang belum sempat meminum apapun di club. "Tadi gue gak ngapa-ngapain, kok. Cuma numpang duduk doang."

"Boong pasti nih," ucap Rein tak percaya.

"Beneran, sebenernya tadi itu gue …," Barra menceritakan semuanya pada Rein tentang bertemunya dia dengan Sakti di sana. Rein tertawa saat dia mendengar jika Barra memutuskan untuk segera pulang saja setelah ia bertemu dengan Sakti karena dia takut jika Sakti membicarakan ini pada Rein lebih dulu. Sebenarnya itu hanyalah sebuah ketakutan Barra saja karena dia takut Rein tidak akan pernah mau lagi dekat dengannya.

'Ceklek'

"Heh, gue kira suara siapa tadi. Lo berdua ngapain sih malem-malem gini?" Rendi tiba-tiba saja keluar setelah dari tadi ia mendengar ada suara orang yang sedang berbincang dari luar.

"Ngobrol, lah," jawab Rein.

"Jangan sampe malem banget! Besok sekolah."

"Iya, Kak." Setelah Rendi kembali masuk ke dalam mereka berdua langsung fokus pada satu sama lain untuk melanjutkan obrolan mereka.

"Rein, emang bener ya lo pernah suka sama Sakti?" Tanya Barra tiba-tiba.

"Gue-"

'Drrrttt … Drrrttt'

Ucapan Rein terpotong ketika tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Dengan segera ia mengeceknya dan ternyata itu adalah panggilan dari Haris. "Haris nelpon."

"Angkat aja." Rein mengangguk lalu ia mengangkat telpon dari Haris.

"Gue pulang, ya." Barra berbicara dengan sedikit berbisik pada Rein agar tidak sampai terdengar oleh Haris.

"O-oke." Setelah Barra pergi, Rein baru memfokuskan dirinya pada Haris karena dia belum mengatakan apapapun setelah ia mengangkatnya.

"Hallo, Haris?"

"Tungggu, gue denger ada suara cowok sama suara motor. Itu siapa Rein?" Tanya Haris di seberang sana karena memang dia mendengar adanya suara yang terdengar asing di telinganya. Rein tiba-tiba gugup, dia mengira Haris tidak akan mendengarnya karena dia dan Barra sudah berbicara dengan suara yang pelan. "Rein?"

"I-iya?"

"Kok diem, sih? Tadi suara siapa?" Tanya Haris kembali.

"I-itu suara temennya kak Rendi, pamitan mau pulang." Rein menggigit bibir bawahnya takut. Ia berharap Haris akan percaya saja, Rein tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena dia takut Haris menduga yang tidak-tidak tentang Barra. Ia sedang malas untuk bertengkar dan bermasalah.

"Bener? Kok kaya gugup gitu?" Tanya Haris karena sebenarnya ia merasa ragu dengan ucapan Rein.

"Iya bener, kok."

"Awas aja ya kalo boong," ancamnya.

"Iya, enggak kok tenang aja." Rein memutuskan untuk kembali ke kamarnya tanpa memutuskan sambungannya dengan Haris.

"Si Barra dah balik?" Rendi yang saat itu sedang duduk di ruang tengah tiba-tiba bertanya seperti itu yang membuat Rein langsung menatap tajam pada kakaknya.

"Barra? Barra siapa?" Rein memutar bola matanya malas lalu ia menaiki tangga menuju kamarnya.

"Gak tau, temennya kak Rendi mungkin. Dia juga lagi telponan sama temennya soalnya." Lagi-lagi Rein berbohong pada Haris, ingin rasanya Rein mencakar mulut kakaknya saja karena dia telah bertanya seperti itu, ia harus kembali mengatakan hal yang bukan sebenarnya pada Haris.

"Gitu? Udah malem nih, belum ngantuk?" Rein mulai dapat bernapas lega karena kini Haris telah mengalihkan pembicaraan mereka.

"Eumm dikit, sih."

"Ya udah, tidur gih! Gue juga lagi bantuin Haikal ngerjain PR."

"Jam segini?" Tanya Rein tak percaya.

"Iya, nih anak main game mulu kalo siang," jelas Haris.

"Oh ya udah, gak papa terusin aja. Gue juga mau tidur."

"Iya, mimpi indah ya, Cantik."

"Hmm."

"Selamat malam."

"Malam."

• • •

'Duk'

Gadis itu mengangkat pandangannya lalu sedikit menepuk dada seseorang yang ia tabrak di ambang pintu kelas.

"Hhh sejak kapan lo jadi satpam kelas, sih? Minggir ah!" Rein mencoba menyingkirkan seorang pria yang tengah menghalangi jalannya.

"No. Kok lo lesu gitu, sih?"

"Gue gak papa. Udah ah minggir!" Melihat gadis itu menerobos masuk, pria itu tersenyum lalu mengikutinya ke bangkunya.

"Selamat pagi, Cantik." Rein menatap Sakti sekilas lalu ia menenggelamkan wajahnya pada tumpuan tangannya.

"Gue ngantuk, lo jangan ganggu!" Rein sedikit mendorong tubuh Sakti agar menjauh darinya.

"Masih pagi padahal." Sakti melepas lalu melipat almamater yang sedang dikenakannya untuk dijadikan bantal untuk Rein.

"Gue ke kelas, ya," pamitnya.

"Hm." setelah Sakti pergi, Rein tersenyum ke arah pria itu dan menatap punggungnya yang semakin menjauh.

"Ris, liat deh kelakuan Sakti. Marahin, gih! Makin hari dia makin aneh."

•To be Continued•