webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 33

"GAES …, BESOK HARIS PULANG!"

"Serius lo, Rein?"

"Gue serius, ah gue seneng banget sumpah."

"Dek, mau ke mana?"

"Ke bandara, Haris pulang hari ini."

'Tap … Tap … Tap ….'

"HARIS …!"

'Grep.'

"Kangen …."

"Gue juga kangen sama lo, Rein."

"Jangan pergi ninggalin gue lagi, ya?"

"Gak bakal lagi, janji."

````````````````````````````````````

'Byurrr …!'

"Hahh! KAK RENDIII!!!" Seketika burung yang berada di dekat rumah terbang pergi menjauh sejauh-jauhnya. "Berisik! Katanya ada kelas pagi. Barra dah nungguin lo tuh di bawah."

"Aduh gue lupa huweee …."

Rein siap-siap untuk pergi ke kampus dengan sangat terburu-buru. Ia menyisir sambil menuruni tangga, memakan sarapan sambil memakai kaos kaki, dan bahkan ia terlihat frustasi saat melihat sepatu yang akan dikenakannya hari ini belum dipasangkan talinya. Ia memasangnya dengan sangat cepat. Barra yang melihat itu menjadi lelah sendiri rasanya.

'Sret'

Barra menarik lembut kaki kiri Rein dan membantu memakaikan sepatunya. "Gak usah terlalu buru-buru kaya gitu, santai aja masih ada waktu, kok. Kalo lo buru-buru kek gitu ntar jadinya gak rapih. Nah, selesai deh." Barra bangkit dan berdiri di hadapan Rein setelah ia selesai dengan kaki dan sepatu Rein yang sebelah kiri itu.

"Ayo berangkat!" Barra mengulurkan tangannya yang langsung Rein gapai uluran tangan itu. Mereka pun pergi ke kampus pagi ini.

"Hhh … rambut gue masih rapih, gak?" Rein hendak bercermin di kaca spion setelah ia melepaskan helmnya. Tapi, itu semua terhenti begitu saja ketika Barra tiba-tiba saja menariknya untuk menghadap ke arahnya. Tangan kekar itu terulur untuk merapikan surai hitam panjang milik gadis cantik tersebut. Jantung Rein berdebar-debar saat ia melihat wajah Barra yang berjarak cukup dekat dengannya.

"Ah, gue bisa gila lama-lama," batinnya. Setelah mereka memasuki dunia perkuliahan, sifat Barra menjadi sangat berubah. Ia menjadi lebih dewasa dan cool dan tentu saja sangat berbeda dengan Barra yang masih di SMA dulu.

"Sttt … gue bisa denger, loh. Langsung aja, gih!"

"Gak bareng?" Tanya Rein yang dibalas gelengan kecil dari Barra.

"Ada urusan dulu sebentar." Rein mengangguk mengerti dan ia pun pergi lebih dulu ke kelas.

Rein dan Barra berada dalam jurusan yang sama, sedangkan Sakti berada dalam jurusan yang sama dengan Bastian dan Jian. Rein satu-satunya wanita yang satu kampus dengan teman-teman SMA-nya. Sedangkan Dara, dan Sheril mengambil kampus yang berbeda dengannya. Awalnya Rein ingin bersama mereka kembali, hanya saja orangtuanya dan Rendi lebih menyetujui jika Rein satu kampus dengan Barra.

Lalu bagaimana dengan Jifran dan Erin? Mereka berdua mendapatkan beasiswa dan sekarang mereka sedang menjalani kuliahnya di negeri ginseng, Korea.

Saat kelas telah dimulai, Rein teringat akan mimpinya tadi pagi. Ia senang tapi rasa sedihnya lebih berkuasa. Ia berpikir mengapa harus di dalam mimpi, mengapa tidak dalam kenyataan saja? Padahal ia sangat berharap jika itu adalah nyata.

• • •

Barra nampak terus memperhatikan Rein yang sedari tadi terus melamun dan mengabaikan makananya yang sedari tadi belum ia sentuh. "Rein, lo keliatan gak fokus tadi pas di kelas."

"Emang," jawab Rein tanpa mengalihkan pandangannya pada Barra.

"Kenapa?"

"Eumm mau tau, ya?" Rein mulai meninggalkan satu titik itu dan ia melihat ke arah Barra dengan senyum jahilnya.

"Kalo ada masalah cerita! Jangan dipendem kek gitu, kuliah lo jangan sampe keganggu!" Barra menatap intens pada Rein yang membuat gadis itu kembali mengalihkan perhatiannya.

"Iya, enggak ada masalah kok, asli. Cuma lagi males aja sebenernya. Eh, itu mereka. Bastian!" Rein melambaikan tangannya kepada tiga orang pria yang sangat ia kenal itu.

"Si Rein, tuh." Bastian, Jian, dan Sakti langsung menghampiri mereka dan duduk bersama.

"Baru keluar?" Tanya Rein yang langsung diangguki oleh mereka bertiga.

"Rein, Sheril sama Dara ngajak ngumpul di cafe malam ini. Lo free gak?" Tanya Bastian karena memang Dara dan Sheril mengajak mereka untuk berkumpul di cafe. Sengaja, mereka semua memang sudah cukup lama tidak bertemu.

"Gue free, kok!" Jawab Rein semangat. Kesempatan ini tidak selalu datang dengan mudah. Jadi, berhubung mereka semuanya memiliki waktu luang, tentu saja mereka akan memanfaatkannya untuk saling bertemu dan melepaskan kerinduan yang telah tertampung itu.

"Oke, jadi malem ini jadi ya kita ngumpul. Gue mau kabarin mereka dulu." Bastian membuka ponselnya lalu ia mengabari mereka berdua jika Rein sudah menerima ajakan mereka.

Barra dan teman-teman Rein yang lain sudah cukup dekat dari tahun kemarin. Tapi, Barra dan Sakti terkadang terlihat tidak akur. Bagaimana tidak? Rupanya mereka sampai saat ini juga masih sama-sama menyukai gadis itu. Tidak ada satupun yang tahu masalah itu selain mereka berdua dan Rein.

"Ekhem, ini kucing sama anjing ngapain tatap-tatapan kek gitu, hm?" Barra dan Sakti menyudahi kontak mata mereka setelah mendengar Rein berbicara seperti itu.

"Daripada bengong, mending lo pesen gih, Sakti! Lo juga Jian, Bas." Rein mengusulkan kepada mereka bertiga yang baru datang itu untuk memesan makanan ataupun minuman.

"Gak ah, gue ke sini cuma numpang duduk doang," jawab Sakti enteng.

"Oh lagi bokek, ya? Haha." Rein menggoda Sakti yang membuat pria itu langsung menatapnya dan memperlihatkan dompetnya yang tebal. "Halah, pasti isinya struk Indomaret semua, makannya tebel," ejek Rein.

"Gak ya, maaf." Sakti berdiri dari duduknya yang otomatis membuat mereka semua langsung menatapnya.

"Lo, mau ke mana?" Tanya Jian.

"Beli kopi."

"Katanya numpang duduk doang?" Rein masih dengan nada mengejeknya. "Dih, terserah gue dong. Lo mau juga, gak?"

"Boleh, capuccino satu, ya." Sakti mengangguk mengerti lalu ia pun mulai berjalan menuju stand kopi.

"Si Rein doang yang ditraktir? Kita kagak, Bro?!" Seru Jian yang membuat Sakti berhenti dan kembali menoleh ke belakang hanya untuk merespon ucapan Jian.

"Ogah banget, manja. Beli ae sono sendiri!"

Karena Rein wanita satu-satunya yang ada di perkumpulan mereka di kampus, jadi ia sangat dilindungi oleh keempat pria itu selama ia ada di samping mereka dan tak jarang juga ia mendapatkan perlakuan spesial dari mereka.

• • •

Sore hari di Sungai Han.

Erin dan Jifran memang selalu pergi ke sana ketika sore hari jika jadwal mereka tidak terlalu padat. Tempat ini sangat cocok untuk mereka melepaskan rasa lelah yang ada. Pasangan yang satu ini serasa yang paling beruntung dibandingkan teman-teman mereka yang lain. Mereka bisa tetap sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama seperti masa-masa SMA karena berada dalam universitas yang sama.

"Uhh ngemplong banget. Kita udah 2 hari gak ke sini tapi serasa udah lama aja gitu gak ke sininya. Yang, kok aku jadi kangen temen-temen, ya? Huhuhu pengen balik." Erin mengeratkan pelukannya terhadap lengan Jifran yang berada di sampingnya. Erin terbilang sering berbicara seperti itu, tapi tetap saja mereka tidak akan semudah itu untuk pulang ke negara sendiri walau satu hari saja karena mereka selalu disibukan oleh kuliah mereka di sini.

Mereka berdua tidak memiliki keluarga di sini. Jadi, oleh karena itu mereka berdua harus saling menjaga dan menitipkan hidup mereka satu sama lain.

"By, malam ini ke Myeongdong, yu!" Mata Erin langsung berbinar dan ia mengangguk untuk menyetujuinya. "Ayo! Kita terakhir kali jalan-jalan di sana pas satu bulan yang lalu, kan?"

"Heem."

"Oke, ayo kita pergi malam ini!" Seru Erin dengan satu tangannya yang ia angkat ke udara.

"Ya udah, mending pulang dulu yu!"

Mereka berdua memutuskan untuk pulang ke asrama mereka dan malam ini mereka akan pergi ke Myeongdong untuk menghabiskan waktu bersama.

Jifran dan Erin terus bercanda selama di perjalanan. Ketika mereka sedang asik bercanda, tiba-tiba Erin bertabrakan dengan seorang wanita di jalan dan dompet dari keduanya sama-sama jatuh.

"Ah, joesonghamnida." Erin meminta maaf pada gadis yang tidak sengaja ia tabrak itu. Gadis itu nampak tersenyum ramah pada Erin.

"Hai, nama saya Shuhua." Gadis itu mengajak Erin untuk berjabat tangan. Erin yang sebenarnya sedikit kaget langsung menerima jabatan tangan itu ragu-ragu.

"Saya Erin, dan ini pacar saya, Jifran." Gadis itu kembali tersenyum. "Ternyata saya benar, kamu adalah gadis Indonesia. Sepertinya bahasa koreamu sangat lancar."

Erin tersenyum dan sedikit merasa aneh karena gadis itu berbicara menggunakan bahasa Indonesia tapi dengan nada bicara bahasa Mandarin. "Ya, lumayan. Kami berdua kuliah di sini. Kalau boleh tahu, kamu berasal dari mana?" Tanya Erin pada gadis itu.

"Saya berasal dari Hong Kong, saya sedang berlibur di Korea saat ini." Erin kembali tersenyum menanggapinya. Gadis itu memberikan kesan pertama yang sangat baik pada Shuhua. Ia merupakan wanita yang sangat cantik dan murah senyum. Erin dapat melihat senyum manis Shuhua setiap kali ia berbicara dengannya.

"Sendirian?"

"Tidak, saya pergi deng-"

"Hey, kenapa kamu pergi lebih dul-" seketika pandangan mereka teralihkan pada seorang pria yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.

"Loh, Haris?"

"Kalian?"

•To be Continued•