webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 30

"RE-in?" Gadis itu terus berjalan tanpa menghiraukan sahabatnya yang kini mencoba untuk menyamakan langkah mereka.

"Kok lo murung gitu, sih?"

"Gak papa."

Ting!

Rein berhenti dan ia mengecek ponsel miliknya yang tiba-tiba saja berbunyi.

Sakti

|Rein, pulang sekolah temenin gue ya.

Setelah membaca pesan itu, Rein kembali mengantungi ponselnya dan menatap ke arah Sheril yang masih berdiri di sampingnya. "Sher, lo duluan ke kelas, ya. Gue mau ke toilet dulu."

"Oh? Gak mau gue anter?"

"Gak usah gak papa, lo duluan aja entar gue nyusul." Sheril mengangguk paham dan ia pun lebih dulu melangkahkan kakinya menuju kelas. setelah Sheril mulai menaiki tangga, Rein langsung pergi ke toilet. Ia sebenarnya tidak benar-benar ingin pergi ke sana, hanya saja dia sedang ingin bercermin saja.

Rein menatap pantulan wajahnya di cermin dan menatap bagiannya satu persatu. Dalam hatinya ia terus menggumamkan ucapan-ucapan tentang wajahnya. Ia berpikir mungkin saja Haris sudah bosan dengannya karena wajahnya sudah tidak terlalu cantik.

Rein menatap malang layar ponsel miliknya itu sedikit retak setelah ia melemparnya ke lantai kemarin pagi. Sampai saat ini Haris benar-benar belum kembali menghubunginya padahal Rein sangat mengharapkan itu. Ia butuh penjelasan dari pria itu yang telah berhasil membuat hatinya sama sekali tidak tenang dan harinya menjadi suram.

"Haris, fiks lo udah gak sayang sama gue. Iya, lo tenang aja. Gue kasih waktu sampe tengah malam, kalo lo belum juga hubungin gue buat ngasih penjelasan … gue bakalan anggap kita bener-bener udah selesai."

• • •

"Rein, duluan ya." Rein mengangguk seraya tersenyum ke arah Jian dan Sheril. Gadis itu menghela napasnya lalu ia mengaitkan tasnya pada pundak dan ia bermaksud untuk pergi ke kelas Sakti.

'Duk'

Rein mengangkat kepalanya setelah ia tidak sengaja menabrak dada seseorang. "Sakti?"

"Mikirin apa, sih? Sampe jalan gak liat gitu?" Tanyanya pada gadis itu yang dibalas oleh gelengan kepala saja. "Enggak lupa, kan?"

"Iya enggak, kok. Ini gue tadinya mau nyamperin lo tapi lo udah duluan yang ke sini. Emang lo mau gue anter ke mana, sih?"

T O K O  S E P A T U

"Menurut lo bagusan yang mana?" Sakti mengangkat 2 buah sepatu yang berbeda. Rein nampak memperhatikan keduanya sampai akhirnya ia menunjuk sepatu yang berada di tangan kanan Sakti.

"Yang ini?" Tanya Sakti memastikan yang dibalas anggukan kecil oleh Rein. "Ok. Setelah dari sini kita ke kafe dulu, yu!"

Sakti terus memperhatikan wajah Rein yang tampak berbeda hari ini. Ia menjadi pendiam dan wajahnya juga tidak memancarkan kebahagiaan sama sekali.

"Rein, lagi sedih, ya? Cerita sama gue sini!"

"Gue gak papa." Rein masih terus memutar-mutar sedotan minumannya tanpa menatap ke arah Sakti.

"Gak papa dalam kamus cewek itu artinya gak baik-baik aja. Udahlah cerita aja, gue dengerin kok." Rein menghela napasnya, haruskah ia menceritakan ini pada Sakti? Ia berpikir sepertinya tidak masalah juga jika ia menceritakannya. Lagi pula, Sakti adalah sahabat Haris dan dirinya juga.

"Sakti, gue ngerasa Haris jadi beda sama gue."

"Beda gimana?" Tanya Sakti dengan rasa penasarannya.

"Ya beda aja, pokoknya gak kek biasanya. Dia jadi sering matiin HP-nya terus sekalinya telponan pasti bentaran aja."

Sakti menatap Rein dengan senyum lembutnya. "Posthink aja dia sibuk."

"Ya seenggaknya bilang dong kalo misalnya dia emang beneran sibuk. Tapi Sakti … kemarin pagi dia telponan sama gue. Tapi tiba-tiba aja gue denger ada suara cewek yang ngajakin Haris buat sarapan. Gue denger gaya bicara si ceweknya itu kek manja manja gitulah, mana mereka ngomongnya pakek aku-kamu lagi. Bisa gak sih biasa aja? Bahkan dia sama gue aja yang statusnya pacaran, gak tuh kaya gitu. Udah ah pokoknya gue kesel banget sama Haris."

"Mungkin dia temennya atau gak saudaranya. Dia belum jelasin apa-apa emang?" Tanyanya lagi.

"Boro-boro, aktif juga nggak."

Sakti kembali tersenyum. Ia berpikir ada baiknya ia menghentikan pembicaraan ini ketika ia dapat melihat kekesalan yang semakin memuncak pada raut wajah Rein yang ia pancarkan. "Ya udah sabar aja, masih ada gue di sini yang sayang sama lo."

Tepat pada pukul empat sore Sakti mengantar Rein pulang ke rumahnya. Saat ia baru saja sampai, ia melihat Barra yang sedang duduk di teras rumah.

"Cie yang habis jalan sama dia."

"Apaan sih, orang gue cuma anterin dia doang. Lo ngapain malah deprokan di sini?" Barra bangun dari duduknya dan ia langsung berdiri tepat di depan Rein.

"Ya gue nungguin gebetan gue pulanglah, apa lagi?" Jawab Barra dengan cengengesannya.

"Dih. Udah masuk yu!" Mereka berdua memasuki rumah Rein yang nampak sepi sore ini. Rein pun kebingungan sendiri, mengapa tiba-tiba saja rumahnya sepi seperti ini?

"Barra, mamih ke mana?" Tanya Rein pada Barra karena ia mengira bisa saja Barra mengetahuinya.

"Gue juga gak tau. Oh iya, Rein. Ke rumah gue yu! Gue mau nunjukin sesuatu." Rein menyatukan kedua halisnya heran. "Gak usah heran kek gitu! Entar lo juga tau."

"Gue mau mandi dulu."

"Ya udah lo mandi dulu aja, gue tungguin di sini." Rein meninggalkan Barra selama satu jam lamanya. Setelah itu Rein kembali turun dan menemui Barra yang menunggunya di bawah sana.

"Sekarang?"

"Ayo!" Mereka berdua mulai meninggalkan rumah Rein dan berjalan menuju ke rumah Barra yang letaknya memang tak terlalu jauh dari sana.

Mata Rein berbinar ketika ia melihat apa yang telah ditunjukkan Barra padanya. Rein begitu senang dan ia memekik gemas seraya mengusap bulu kucing persia yang ada di gendongan Barra.

"Nih, coba gendong." Rein mengambil alih kucing persia berbulu abu itu dari Barra.

"Barra, lo sejak kapan punya kucing?"

"Gue baru beli kemarin, sih. Karena gue liat lo suka banget sama kucing yang kita temuin di taman, jadi gue beli kucing, deh. Anggap aja dia milik lo dan gue, kita bisa rawat dia bareng-bareng." Rein tersenyum senang mendengarnya. "Lo suka, gak?"

"Suka banget, lucu." Barra tersenyum senang mendengarnya. Tangannya terulur untuk mengusap bulu kucing yang kini ada di pangkuan Rein.

"Btw, Rein. Kita kasih nama kucingnya apa?"

"Eum apa, ya?" Rein tampak berpikir. Di dalam otaknya iya terus menyusun huruf untuk menjadikan sebuah nama yang cocok, tapi ia tidak menemukan yang pas. "Ih, gak tau ah. Lo aja coba."

"Arbi? Ar for Rein, Bi for Barra."

"Eak nama kita dong. Eum boleh deh, lucu juga dipanggil Arbi. Eh, dia betina apa jantan?" Tanya Rein karena dari tadi ia belum mengetahui hal itu.

"Jantan, sih. Hehe."

"Gapapa deh, tetep lucu kok walau namanya Arbi."

"Mau bawa dia jalan-jalan ke taman, gak?"

"Ayo!"

• • •

'Trek'

"Hhh …." helaan napas itu terus terdengar berulang-ulang. Gadis itu terus memperhatikan waktu dan ponselnya. Ia tidak sendiri, ada secangkir kopi yang menemaninya malam ini.

Malam ini ia baru kembali menikmati secangkir kopi setelah beberapa bulan terakhir ia menikmatinya. Ya, dia memang tidak terlalu menyukainya, oleh karena itu dia sangat-sangat terhitung jarang meminumnya.

"Dek?"

"Hm?"

Tiba-tiba saja Rendi datang menghampiri Rein di kamarnya. "Lo minum kopi? Sebelum tidur jangan lupa minum air putih dulu kalo gak mau tenggorokan lo gak nyaman entar pas bangun pagi."

"Iya, Kak."

"Gue pinjem gunting lo, ya." Gadis itu meresponnya dengan anggukan kecil saja lalu setelah itu ia kembali mengecek ponselnya.

"Waktu lo tinggal 3 jam lagi, Ris. Kalo lebih dari itu … sorry, gue gak bisa lanjutin semua ini sama lo," monolognya.

'Drrrttt … Drrrttt …'

Rein menatap pada benda pipih yang tiba-tiba bergetar di atas nakas. Biasanya wajah Rein akan terlihat senang ketika orang yang dinantinya itu menghubunginya. Tapi entahlah dengan sekarang ini, air mukanya begitu sulit untuk diartikan.

"Rein?"

"Ya." Hening beberapa saat dan Rein akan terus terdiam jika Haris belum berbicara duluan.

"Maafin gue," lirih Haris di seberang sana sedangkan Rein di sini memasang wajah tegasnya.

"Maaf buat kesalahan yang mana?"

"Maaf buat gue yang sering matiin HP gue." Rein menghela napasnya lalu sedikit meminum kopi miliknya yang sudah mendingin di atas nakas.

"Ya." Rein menjawabnya dengan sangat singkat yang membuat Haris merasa bingung.

"Kok jadi irit gitu sih ngomongnya? Gue bikin kesalahan apalagi selain itu?" Tanyanya.

"Suara cewek yang kemarin siapa?" Rein langsung menanyakan pada intinya karena memang itu yang membuatnya tidak bisa tenang. Bagaimanapun juga, hal yang paling ditakuti oleh pasangan yang melalukan long distance relationship itu ialah adanya hati yang lain yang ikut menemani dan ikut mengisi kekosongan tempat selama dipisahkannya oleh jarak dan waktu.

"Suara cewek yang mana?" Pertanyaan yang ini sukses membuat Rein merasa sangat kesal.

"Siapa?" Rein menekankan kalimat itu dengan tegas karena memang belakangan ini dia sangat sensitif dan mudah terpancing emosi.

"Rein di sini gak ada cewek selain mama. Yang lo denger itu pasti suara mama." Haris mencoba meyakinkan Rein bahwa tidak ada wanita lain selain ibunya. Rein yang mendengar pernyataan dari Haris tentu saja tidak akan mempercayainya dengan semudah itu karena ia sudah jelas-jelas mendengarnya sendiri kemarin pagi.

"Gak, Ris. Gue tau jelas suara nyokap lo kaya gimana. Mana mungkin nyokap lo ngomong dengan manja manja kek gitu sama lo." Rein masih tetap dengan pendiriannya karena ia yakin dengan semua yang ia ucapkan itu.

"Bentar, yang mana sih? Yang kemarin ngajak sarapan?" Tanya Haris akhirnya yang sejalan dengan kecurigaan Rein.

"Iya yang itu."

"Tenang, kok. Dia cuma anaknya temen bokap." Setelah mendengar itu Rein menjadi sedikit lega. Tapi, rasa cemburunya tak dapat padam begitu saja.

"Oh, deket banget kayanya. Sampe ngomong juga kek harus lembut gitu, ya."

Haris sedikit tertawa setelah mendengarnya. "Dia soft orangnya, masa gue kasarin? Karena dari kecil dia udah dimanja banget sama orangtuanya jadi dia tumbuh kek gitu."

"Hmm."

"Cemburu, ya? Cieee …." Haris berbicara dengan nada mengejeknya.

"Enggak, tuh." Rein mendelik sebal.

"Ngaku aja kali."

"Ya kali enggak! Kok nyebelin, sih?"

Haris kembali mengeluarkan suara tawanya sebelum ia kembali berbicara. "Iya iya Cantik maaf, ya. Gue cuma sayang sama lo, kok. Lo gak usah khawatir, gue bisa jaga hati gue di sini."

Rein menjadi tenang setelah mendengar penjelasan dari Haris. Kini wajahnya sudah kembali terlihat senang dan tidak murung seperti sebelumnya. Hati itu memang sudah seperti remote control bagi wajah, jika seseorang ingin menebak suasana hati seseorang maka yang pertama kali akan dilihat adalah ekspresi wajah dari objeknya, bukan?

"Haris, gue kangen, gue pengen ketemu." Karena suasana hatinya kini telah membaik, Rein pun kembali berbicara dengan nada yang hangat pada Haris.

"Sabar, ya. Nanti juga gue bakal balik kok buat nemuin lo. Lo tunggu aja, di sini gue lagi berusaha buat nyiapin sesuatu buat lo agar dengan perginya gue ini, seenggaknya gue punya sedikit hasil buat bahagiain lo nantinya."

"Maksudnya gimana?" Tanya Rein heran.

"Lo bakal ngerti kalo gue udah ada di samping lo lagi, Rein."

•To be Continued•