webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 29

"Dia suka sama lo." Rein menatap Barra yang masih ada di hadapannya sekarang ini. Rein mengerti ke mana akan jalannya ucapan Barra.

"Rein, lo tau? Ketika perasaan berulah, gak ada pihak mana pun yang bisa disalahkan. Perasaan emang jahat, dia selalu datang tanpa permisi. Bener-bener gak sopan. Tapi itulah dia, sifatnya emang kaya gitu. Kita gak bisa marah. Lo gak bisa salahin perasaan dia tapi coba lo tanya sama diri sendiri, bagaimana bisa lo sebegitu memikat hati tiga orang sekaligus?"

"Tiga orang?" Rein menatap mata Barra dengan tatapan penasarannya.

"Haris, Sakti, dan gue."

• • •

Pukul sembilan pagi di hari minggu. Rein terlihat masih menggulung tubuhnya dengan selimut tebal miliknya. Dia sudah bangun dari pukul tujuh pagi sebenarnya, tapi hingga sampai saat ini ia benar-benar malas untuk melakukan apapun. Ia terus terpikirkan ucapan Barra semalam.

Drrrtt … Drrrtt …

"Hallo."

"Hallo, selamat pagi. Rein, kok suaranya kaya bete gitu, kenapa, hm? Ayo cerita sini!" Rein mengubah posisinya menjadi duduk dan ia menyimpan sebuah bantal di atas pangkuannya.

"Lo penyebabnya."

"Lah, kok gue, Rein? Kita baru bicara lagi tapi kok gue udah lo sebut sebagai oknum penyebab lo bete?"

"Hhh … udah ya, gue males." Rein memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak dan ia kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. "Karena lo pergi, gue jadi terjebak di dalam masalah ini, Ris."

Haris kembali menghubungi Rein secara terus menerus namun Rein tetap saja mengabaikannya.

Karena Haris terus meneleponnya seakan tak lelah meski sudah diabaikan beberapa kali, akhirnya Rein merasa risih dengan ponselnya yang terus berbunyi. Kemudian ia memutuskan untuk mengangkatnya.

"Rein, coba lo jelasin sama gue, lo kenapa? Kenapa lo marah sama gue? Di mana letak kesalahan gue? Ngomong dong, jangan diem aja! Kalo gini caranya kita gak bisa ngelurusin semuanya." Suara Haris terdengar sedikit lelah dan memelas.

"Ris, lo emang cowok yang gak peka, ya. Setelah belakangan ini lo jarang aktifin HP-lo dan lo masih bisa-bisanya nanyain apa kesalahan lo. Setiap gue tanya jawaban lo pasti bakalan sama 'gapapa' wajar gak sih gue curiga? …,

… Lo tau? Semalem gue kumpul sama anak-anak dan gue berusaha banget buat hubungin lo tapi semuanya percuma, lo sama sekali gak bisa aktifin HP-lo walau cuma bentar doang. Kita berharap lo bisa hadir di antara kita walau lo jauh di sana. Jangan matiin HP-lo, Ris! Jangan bikin gue khawatir atau mikir yang macem-macem tentang lo. Kalo emang iya sibuk, lo tinggal bilang aja, gue bakal ngerti dan gue bakal nunggu sampe kesibukan lo itu habis, Ris. Lo masih sayang sama gue, kan?"

Rein sedikit menitikkan air matanya karena memang pada dasarnya jika ia sudah merasakan kesal yang teramat sangat, maka mudah baginya untuk menangis.

"Gue sayang sama lo, Re-"

"Haris … Haris? Ayo kita sarapan! Makanannya udah siap. Kamu pasti udah lapar, ayo!"

Rein terdiam ketika dia mendengar suara wanita di seberang sana. Ia sudah tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, seketika hatinya terasa sakit setelah ia mendengar ada wanita lain yang berbicara manja pada Haris.

"Kamu duluan, aku bakal nyusul."

"Jangan, ayo kita bareng aja!"

Rein memutuskan sambungannya dan melempar ponselnya ke lantai. Ia menenggelamkan wajahnya pada bantal dan perlahan isak tangisnya mulai terdengar.

"Lo jahat sama gue, Ris. Lo jahat banget." Saat ia masih setia dengan isak tangisnya, tiba-tiba ia mendengar ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ia berpikir jika itu adalah kakaknya atau ibunya yang datang ke kamarnya pagi ini.

'Srrreeekkk'

"Kebo banget sih jadi cewek, gak liat sekarang udah jam berapa? Tirai belum dibuka, tubuh masih selimutan. Ckckck." Rein tidak mendengar suara kakaknya ataupun ibunya, melainkan …,

'Srett'

Selimut yang dikenakan Rein tiba-tiba tersingkap begitu saja "Rein, lo nangis? Kenapa? Ayo cerita sama gue!"

"Barra … Haris kok jahat banget sih sama gue?" Barra menarik Rein untuk duduk dan ia melihat wajah Rein yang sudah begitu basah dengan air matanya.

"Cerita pelan-pelan, ya?" Rein mengangguk dan ia langsung menceritakan apa yang telah terjadi pagi ini antara dia dan Haris.

Barra tersenyum dan menghapus air mata Rein dengan kedua ibu jarinya. "Udah, ya."

"Gue sama Haris gimana, Bar?" Tanya Rein dengan suaranya yang terdengar parau.

"Yang di atas lebih tau segalanya. Lo ikutin aja dulu alurnya, ya? Daripada nangis mending lo sarapan, yu!" Rein menggelengkan kepalanya untuk menolak.

"Gue males, Barra."

"Gue bawain ke sini, deh." Barra masih terus membujuk Rein agar gadis itu mau sarapan.

"Gak mau."

"Hhh … Rein." Barra memberikan tatapan datarnya pada gadis itu yang berhasil membuatnya sedikit takut.

"I-ih yaudah, deh."

"Gitu, dong. Gue ambilin dulu, ya. Lo tunggu dulu." Barra turun dari kamar Rein dan ia berpapasan dengan Rendi yang hendak naik untuk pergi ke kamarnya.

"Gimana? Udah bangun gak tuh si bocah?"

"Udah, Bang. Pas gue masuk juga dia udah bangun. Tapi dia lagi nangis, masih pagi udah galau aja."

"Serius, lo?" Tanya Rendi seakan tak mempercayainya.

"Heem."

"Harus gue samperin, nih." Rendi membawa langkahnya menuju kamar sang adik. Ia menyembulkan kepalanya ke dalam terlebih dahulu dan ia melihat Rein yang kala itu sedang duduk di atas kasur kesayangannya. Gadis itu nampak sedang melihat ke arah jendela besar kamarnya sehingga ia tidak menyadari akan kehadiran Rendi.

"Dek." Rein menyudahi tatapannya pada jendela kamarnya lalu ia melihat ke arah Rendi yang berjalan memasuki kamar.

"Lo kenapa?" Tanya Rendi ketika ia sudah duduk di samping adiknya itu. "Gak papa, Kak."

"Kenapa?" Tanya Rendi lagi karena ia belum mendapatkan jawaban masalahnya dari Rein.

"Gak mau cerita, deh. Kak Rendi nanti marahin Rein." Rein menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Rendi. Ya, ia takut jika Rendi akan terus memaksanya untuk berbicara.

"Kok gue marah?"

"Nih sarapannya, nih." Barra kembali dengan roti bakar dan segelas susu yang ia bawa di atas nampan.

"Udah mending sama Barra aja, dia lebih perhatian sama lo." Rein memukul Rendi dengan bantal setelah ia mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakaknya tersebut.

"Kak Rendi kok ngomongnya gitu, sih?" Tanya Rein tak suka.

"Udah, makan dulu nih!" Barra menyumpal mulut Rein dengan roti bakar yang ia bawa itu.

"Ihk!" Rein mencabut roti itu dari mulutnya dan menatap Barra dengan sengit. "Liat, Kak! Perhatian kagak ngeselin iya."

Barra yang mendengar itu hanya terkekeh. Rendi menggelengkan kepalanya lalu ia pergi ke kamarnya.  "Rein, keluar yuk!"

"Ke mana?" Tanya Rein dengan mulutnya yang penuh dengan roti.

"Taman deket komplek, jam segini enak loh rame. Banyak anak-anak juga."

"Gak ah, lagi males bersosialisasi." Rein memasukan rotinya yang masih tersisa itu ke dalam mulutnya. Barra yang melihat adanya selai cokelat di tepi bibir Rein langsung mengelapnya dengan ibu jarinya. Rein yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menatap pria yang kini ada di hadapannya. Ketika Barra menatapnya juga Rein langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jantung gue kenapa?"

Barra yang mendengar gumaman hati Rein langsung tersenyum. "Jantung lo? Jantung lo bengek."

"Ihhk! Ngaco."

"Udah, nih minum susunya juga!" Rein menerima segelas susu itu dan langsung meneguknya sampai habis.

"Lo gak mau mandi?"

"Ya mau dong, awas minggir!" Rein turun dari kasurnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Setengah jam lamanya Rein menghabiskan waktunya di kamar mandi. Saat ia baru saja keluar, ia melihat Barra sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur Rein yang sudah rapih. Ya, Barra yang merapihkannya.

"Ih udah rapih dong." Rein memberikan tanggapan terhadap kamarnya yang sudah rapi itu.

"Ih udah rapih dong." Barra mengikuti ucapan Rein dengan maksud untuk mengejeknya.

"Tolong keluar dulu, dong! Gue mau pakek baju." Perintah Rein pada Barra seraya ia berjalan ke arah lemarinya untuk mengambil pakaiannya.

"Ah, Rein. Gue lagi PW. Di sini aja, ya?" Mendengar itu Rein otomatis menatap ke arah Barra dengan tatapan galak.

"Heh! Mau gue banting?!" Ancamnya.

"Iya iya gue keluar." Barra keluar dari kamar Rein dan Rein pun langsung mengunci pintunya agar tidak ada orang yang masuk selama ia memakai pakaiannya.

"Bang."

"Hm?" Barra duduk di samping Rendi yang kala itu sedang memainkan gitar di kamarnya. "Si Rein lagi ngapain dia?"

"Dia lagi pake baju." Rendi meresponnya dengan anggukan pelan.

"Barr, lo suka ya ama adek gue?"

"Emang." Rendi menghentikan jari-jarinya yang tengah berkutik dengan senar gitar itu dan menatap Barra yang tengah duduk di sampingnya.

"Bro, segampang itu?" Ya, Rendi hanya bermaksud bercanda saja menanyakan hal itu dan ia tidak pernah menyangka Barra akan menjawabnya seperti itu.

"Dia sendiri juga udah tau kok, Bang."

"Terus?" Tanya Rendi seakan ia meminta penjelasan yang lebih.

"Ya gak terus terus, entar nabrak." Barra terkekeh pelan ketika ia melihat raut wajah Rendi yang terlihat seakan ingin melemparnya.

"Yeuu ni bocah gue nanya serius juga."

"Barra ….!" Terdengar Rein berteriak dari dalam kamarnya. Barra yang mendengar itupun langsung menhampirinya.

"Kenapa?" Tanyanya dengan wajah cemasnya setelah ia mendengar Rein berteriak seperti itu tadi.

"Ayok!"

"Ha?" Kali ini Barra memasang wajah kebingungannya.

"Katanya mau jalan ke taman," ucap Rein dengan wajah datarnya.

"Lah, tadi gak mau."

"Gue berubah pikiran."

"Dih."

• • •

Saat mereka berdua berjalan di taman pagi ini, mereka bertemu seekor kucing liar berbulu candramawa yang tiba-tiba berputar mengitari kaki Rein.

Rein langsung mengambil posisi jongkok dan mengusap bulu kucing liar tersebut yang langsung diikuti oleh Barra.

"Ini kucing kalo dirawat pasti cantik banget," ucap Rein seraya terus mengusap-usap kucing tersebut.

"Ya lo bawa pulang aja, rawat."

"Yang ada juga entar mamih marah. Kayanya dia lapar, deh. Barra, kita beliin makanan kucing, yuk!"

"Ya udah lo tunggu di sini, biar gue yang beli." Barra pergi ke sebuah minimarket yang tak jauh dari sana. Ketika Barra pergi, Rein kembali mengingat kejadian tadi pagi. Rein tidak bisa berpikir positif mengenai Haris, bahkan sampai saat ini juga Haris tidak kembali menghubunginya walau hanya sekedar untuk menjelaskan jika mungkin saja sebenarnya Rein telah salah paham terhadapnya.

setelah beberapa lama akhirnya Barra kembali dengan kantong plastik di tangannya. Ia melihat Rein nampak sedih dengan tangannya yang masih saja mengusap bulu kucing itu.

"Rein."

"Hm?"

"Kok lo jadi keliatan sedih gitu?"

"Barra … Haris selingkuh gak, ya?"

•To be Continued•