webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 28

Rein sudah rapih malam ini karena sesuai yang sudah direncanakan tadi siang jika malam ini dia dan teman-temannya akan kumpul di rumah Sheril.

"Mih, Rein ke rumah Sheril, ya." Rein berpamitan pada ibunya yang kala itu sedang duduk bersama kakaknya di ruang tamu.

"Jangan pulang terlalu malam, ya?" Rein mengangguk mengiyakan pesan dari ibunya itu.

"Mau Kakak anterin, gak?" Rendi yang kala itu sedang berkutik dengan laptopnya pun ikut menimpali.

"Rein naik taxi aja, Kak. Ya udah, Rein pergi dulu ya."

"Hati-hati, Sayang." Rein berjalan ke luar dari rumah dan berniat untuk memberhentikan taxi di depan. Tapi saat dia keluar dari gerbangnya, dia melihat ada seseorang yang sedang duduk di atas motornya tanpa melepas helm miliknya.

"Sakti, kok lo di sini." Ya, meskipun pria itu tidak melepaskan helm miliknya itu, Rein tetap bisa mengenalinya dari motornya dan juga postur tubuhnya.

"Gue jemput lo." Sakti menyerahkan sebuah helm pada Rein dan Rein pun langsung menerimanya dengan sedikit ragu.

"Lo gak perlu jemput gue padahal."

"Gak papa, ayo naik!" Gadis itu segera menaiki motor dan mereka memulai perjalanannya.

Saat mereka sudah memulai perjalanan mereka, tiba-tiba saja Sakti menarik tangan kiri Rein dan menggenggamnya. Rein yang merasakan itu hanya bisa terdiam dengan perasaan bingungnya. Sempat ia mencoba menarik tangannya, hanya saja ia tak berhasil.

"Rein, lo bisa denger gue?"

"Bisa."

"Gue tau gue gak bisa milikin lo karena lo cewek dari sahabat gue sendiri. Tapi gue mohon izinin gue buat perlakuin lo selayaknya lo milik gue, Rein. Gue tau ini gila tapi gue gak bisa nyalahin perasaan gue sendiri terhadap lo."

Rein menatap sedih punggung Sakti. Ia berpikir mengapa semua ini harus terjadi di dalam hidupnya, mengapa semuanya harus terjadi ketika Haris pergi? Ia berpikir semua ini tidak akan terjadi jika Haris tidak pernah pergi meninggalkannya.

"Rein …!" Dara berlari ke arah Rein dan langsung memeluknya. "Pasti lo yang terakhir datang mulu."

"Iya iya sorry, deh."

"Langsung ke taman belakang yuk!" Mereka semua pun langsung pergi ke taman belakang rumah Sheril. Bagi Rein dan mereka semua, inilah kumpul pertama tanpa Haris.

"Gila sih, berasa kek udah lama aja kita gak kumpul bareng kek gini. Si Haris VC kek woy!" Mendengar ucapan Jian, Rein pun langsung mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Haris. Tapi setelah beberapa kali Rein menghubunginya juga ponsel Haris sama sekali tidak aktif.

"Kok gak aktif terus, Rein?" Tanya Bastian.

"Emang gini Haris sekarang, gaes. Hp-nya jadi jarang aktif kaya gini. Gue selalu khawatir kalo misalnya dia gak aktifin Hp-nya kek gini." Rein kembali menunjukkan wajah sedihnya. Dara yang saat itu duduk di sampingnya langsung mengusap lembut punggung Rein.

"Udah posthink aja dia lagi sibuk." Erin mencoba untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba saja berubah menjadi kurang nyaman.

"Oh iya, Rein. Belakangan ini gue sering liat lo barengan sama anak sekolah sebelah itu. Lo berdua deket banget, ya," tanya Dara tiba-tiba.

"Oh, iya gue deket sama dia. Karena rumah kita deketan jadi dia sering main ke rumah, gitu." Melihat mereka terdiam membuat Rein menatap mereka satu persatu dengan bingung. "Kok pada diem? Gue ada salah ngomong, ya?"

"Enggak juga sih, Rein. Tapi saran dari gue sih iya lo gak papa deket sama yang lain asal lo tetep bisa jaga hati lo buat Haris."

Haris tersenyum dan kembali menatap mereka. "Iya, Bas. Kalian tenang aja, gue sama dia cuma temen kok gak lebih. Gue juga gak lupa kali sama Haris."

"Syukur deh kalo emang iya gitu, Rein. Btw dia namanya siapa?" Tanya Erin.

"Apa nanya nanya nama, hm?" Jifran yang duduk di samping Erin langsung mencubit pipi Erin gemas setelah dia menanyakan hal itu pada Rein.

"Ih aku nanya aja masa gak boleh sih, By?"

"Biar apa? Kalo udah tau namanya kamu mau apa?"

"Mau aku gebet, heheh." Jifran kembali mencubit pipi Erin tapi kali ini lebih keras hingga membuat Erin meringis kesakitan.

"Sakit tau ih!" Erin menampar keras punggung Jifran sebagai balasannya.

Rein hanya menghela napasnya ketika ia menyaksikan interaksi pasangan yang lainnya. Ia jadi merasa itu. "Haris cepet balik kek lo ih, masa lo tega bikin gue harus lebih lama lagi nyimak kealayan mereka."

"Halah, lo suka gak ngaca, ya. Padahal lo sama Haris juga sama bucinnya," sarkas Erin tak terima setelah ia mendengar monolog Rein.

"Bucin apanya? Tiap ketemu pasti baku hantam."

"Nah iya emang, mereka couple yang gak pernah adem buat dipandang haha couple jahanam emang." Mereka semua langsung ikut tertawa setelah Jian mengatakan itu sedangkan Rein hanya mendelik tak suka ke arah Jian.

"Oh iya, ini dari tadi si Sakti kok diem terus?" Mereka semua otomatis melihat ke arah Sakti setelah mendengar ucapan Bastian tadi.

"Lah, iya. Lo kenapa Bro? Sariawan apa lagi naber?" Tanya Jian.

"Sembarangan ya sungut lo, gue lagi males ngomong aja. Sayang banget kan suara merdu gue dipake buat ngebacot banyak." Mereka semua menunjukkan ekspresi ingin muntah mendengar Sakti yang begitu percaya diri itu.

"Halah ngesok banget, biasanya juga lo gak diem dieman kek gini."

Sakti menatap mata Rein ketika gadis itu melihat ke arahnya. Rein yang mendapat tatapan balik dari Sakti langsung memutuskan kontak mata itu. Demi apapun itu Rein benar-benar merasa canggung terhadap Sakti setelah pria itu sudah dua kali berterus terang dengan ucapannya yang mengatakan bahwa dia menyukainya.

Drrt … Drrt …

"Gaes, bentar, ya." Rein berdiri dari duduknya lalu menjauh dari teman-temannya untuk mengangkat telepon dari seseorang.

"Hallo, Barr-"

"Rein, gue ada di rumah lo nih. Tapi lo gak ada. Ke mana, sih? Pergi kok gak ngajak gue? Pergi kok gak bilang-bilang? Kalo lo kenapa-kenapa gimana?" Rein memutar bola matanya malas. Baru saja ia mengangkat telepon dari Barra tapi pria itu sudah menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaannya itu.

"Gue lagi ngumpul sama temen-temen gue," jawab Rein malas. Rein dapat mendengar jika Barra sedikit berdecak di seberang sana.

"Cewek apa cowok?"

"Dua duanya. Emangnya penting ya buat lo?" Rein mendudukkan bokongnya di atas sebuah kursi taman yang berada di tempat ia berdiri.

"Penting! Mau pulang jam berapa? Biar gue jemput." Rein kembali menghela napasnya lelah. Kenapa Barra menjadi sangat cerewet dan terdengar khawatir? Padahal dia sedang bahagia bersama teman-temannya.

"Gak usah deh, Barr. Gue pulang sendiri aja nanti," tolaknya.

"Gak ada penolakan pokoknya! Kalo gak mau bilang alamatnya di mana gue bisa kok nanya sama orangtua lo atau bang Rendi."

"Ih yaudah deh terserah." Rein memutuskan panggilannya secara sepihak lalu ia kembali duduk bersama yang lainnya.

"Siapa, Rein?" Tanya Sheril setelah gadis itu kembali duduk di tempat awalnya.

"Barra."

"Barra?" Tanya mereka semua secara serentak yang membuat Rein sedikit terkejut. "Temen gue itu, loh."

"Oh jadi namanya Barra?"

"Iya namanya Barra, sekali aja gak kedenger emang?"

"Ih sakit tau!" Protes Erin setelah hidungnya ditarik oleh Jifran. "Jifran jadi cemburuan belakangan ini gaes. Saya, Kayla Erina Permata merasa heran dengan semua ini."

Mereka semua mendengarkan keluh kesah Erin, gadis itu menunjukkan raut wajah seakan-akan ia benar-benar merasa paling lelah di sini.

"Dih, emang cuma kamu doang yang bisa. Aku kerkom sama Pinka aja ampe diblok sebulan." Jifran melakukan pembelaan terhadap dirinya yang otomatis membuat seluruh atensi langsung terarah padanya.

"Serius, Fran? Sebulan dibloknya?" Tanya Bastian percaya tak percaya. "Serius gue, Bas."

"Wah Rin bisa-bisanya ampe sebulan gitu. Gila ya, lo gak kangen sama Jifran emang selama lo ngeblok dia?" Tanya Sheril.

"Kangen sih, Ril. Cuma ya pokoknya gue ngambek, gitu-gitu juga Pinka kan mantannya." Erin mengerucutkan bibirnya yang langsung dicubit gemas oleh Jifran.

"Udah-udah jangan dibahas, aku gak bakal liat ke belakang kok karena ada kamu di depan." Pipi Erin merona mendengarnya. Rein yang melihat interaksi antara Jifran dan Erin hanya bisa tersenyum lalu memalingkan wajahnya dengan senyumannya yang perlahan luntur.

Sakti yang sedari tadi memperhatikan Rein hanya bisa menatapnya dengan senyum samarnya. Sakti mengerti akan perasaan Rein, ia sangat paham jika sebenarnya Rein berusaha biasa saja ketika harus melihat teman-temannya yang saling mengumbar kemesraan di hadapannya. Sebenarnya hati gadis itu benar-benar terluka karena di saat yang lainnya masih bisa berbahagia dengan pasangannya tapi tidak dengan dirinya.

Setelah pukul 10 malam telah tiba, mereka memutuskan untuk pulang. "Rein, gue anterin lo pulang, ya."

Rein menggelengkan kepalanya sebagai tanda penolakan. "Gue pulang sendiri aja ya, Sakti. Lo bakal telat banget pulang ke rumah lo entar kalo nganterin gue dulu. Lo pasti capek."

"Tapi Rein, kita juga khawatir kalo misalnya lo pulang sendiri." Rein tersenyum pada Erin dan lagi-lagi ia menggelengkan kepalanya untuk kembali menolak.

"Gue bakal baik-baik aja, lo semua jangan khawatir, ya?"

"Ya udah kalo lo gak mau gue anter, gue bakal nemenin lo sampe ada taxi lewat, deh." Rein menyetujuinya kali ini. Akhirnya mereka semua pulang dan tersisalah Sakti dan juga Rein yang berada tak jauh dari rumah Sheril untuk menunggu taxi.

Ting!

Rein membuka handphone-nya ketika ia mendengar adanya notifikasi.

Barra: Rein, lo udah pulang? Ini gue ada di depan rumah temen lo itu.

Setelah membaca pesan dari Barra, Rein langsung melihat ke arah rumah Sheril yang memang tak jauh letaknya dari tempat ia dan Sakti menunggu taxi.

"BARRA!!!" Rein langsung berteriak ketika matanya menangkap adanya Barra di depan gerbang rumah Sheril. Barra yang mendengar suara dan melihat Rein pun langsung menghidupkan motornya untuk menghampiri Rein. Setelah Barra sudah berada tepat di depan mereka, Rein melihat ke arah Sakti yang sedang duduk di atas motornya tepat di sebelah kanan ia berdiri.

"Sakti, gue pulang sama Barra, ya. Thanks udah nemenin gue. Gue bukannya gak mau lo anterin pulang, gue cuma gak enak aja kalo lo harus muter balik dan jauh lagi buat sampe rumah lo. Lo hati-hati di jalan, ya." Rein memberikan senyumnya pada Sakti.

"Ga papa Rein gue ngerti. Lo juga hati-hati, ya."

"Oke."

Sakti menatap Rein yang mulai menjauh darinya. Setelah ia tak lagi nampak, Sakti membuang napasnya kasar dan sedikit meremas rambutnya.

"Ingin rasanya gue ubah ceritanya, Rein. Andai gak kaya gini jalannya, mungkin hari-hari dan perasaan gak nyaman kek gini gak bakal pernah ada selamanya juga."

•To be Continued•