webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 25

Helaan napas terus terdengar dari seorang gadis cantik yang tengah duduk sendiri di pojok kantin. Tidak ada hal lain yang ia lakukan, ia hanya sedang menunggu kabar dari seseorang.

"Haris … kangen ihhh kok lo jadi ilang kabar kek gini? Khawatir gue tuh sama lo. Gak bisa gitu lo bikin gue tenang?"

"Rein,"

"Sakti?" Sakti menyodorkan salad buah pada Rein yang saat itu sedang menekuk wajahnya sedih. "Udah nangis aja kalo emang mau. Jangan ditahan!"

"Gak. Gue gak boleh nangis gue pasti bisa."

"Ya udah mending lo makan, gue sengaja beliin itu buat lo." Rein menatap salad buah yang telah diletakkan oleh Haris di hadapannya. Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya pada pria itu, ia benar-benar tidak mengerti akan sikapnya belakangan ini.

"Sakti. Gue boleh nanya sesuatu, gak?"

"Tanya aja." Rein mengulum bibirnya seraya mempertimbangkan pertanyaannya itu. "Rein, nanya apa?"

"Iya bentar. Gue cuma mau tanya aja karena gue kek ngerasa sikap lo jadi beda ke gue. Jujur, lo yang gue anggap paling kaku terhadap gue di antara yang lainnya. Dengan sikap lo yang tiba-tiba berubah kek gini ya gue kek jadi heran aja gitu."

Mendengar itu Sakti hanya sedikit tersenyum saja sebelum dia menjawab apa yang dibicarakan Rein padanya. "Rein, lo mau tau?" Rein mengangguk mengiyakan. "Gue suka sama lo."

"What? Uhuk uhuk." Rein yang saat itu sedang makan langsung tersedak salad buahnya. "Astaga Sakti, inget Haris tuh masih sahabat lo. Masa iya lo mau nikung?"

"Gue udah suka sama lo dari awal. Dari sebelum lo sama Haris juga gue udah cinta sama lo sebenernya. Tapi, karena gue sadar akan diri gue yang berandalan kek gini, gue jadi gak berani buat nyatain perasaan gue sama lo. Gue seneng banget pas tau kalo waktu itu juga lo suka sama gue. Tapi sayangnya, gue tau hal itu ketika lo udah bener-bener jatuh ke pelukan Haris." Rein memperhatikan Sakti dengan serius ketika pria itu mengatakan segalanya.

"Jadi, ternyata di waktu itu kita sebenernya udah saling suka tapi kita sama-sama dibodohin sama ketidakpercayaan diri kita masing-masing, gitu?" Sakti mengangguk pelan untuk mengiyakan. "Ini gue bukan nembak lo, ya. Gue cuma pengen lo tau aja," tambah Sakti.

"Iya, Sak. Gue ngerti, kok. Kita kan cees." Rein memberikan senyumnya di penghujung ucapannya. Ia hanya menginginkan suasananya tidak berubah menjadi serius.

"Oh iya, Rein. Gue anterin lo pulang, ya?"

"Jangan, Sak," tolak Rein dengan cepat.

"Kok jangan?"

"G-gue dijemput kak Rendi. Bentar lagi juga dia bakal jemput gue." Rein berbohong pada Sakti. Rendi belum mengetahui jika Haris sudah tidak ada lagi bersama Rein, jadi ia tidak akan menjemput Rein karena yang dia tahu Rein akan pulang bersama Haris. Tadi pagi juga Rein pergi ke sekolah dengan menggunakan taxi kembali.

"Yakin? Ini udah lumayan sore dari biasanya tapi kakak lo belum dateng juga."

"Dia ada urusan dulu katanya. Kalo lo mau duluan gak papa."

"Gue temenin lo deh sampe kakak lo dateng." Rein berpikir bagaimana caranya agar Sakti tidak melakukan niatnya itu. Jika begitu akan sampai kapan mereka berada di sana sedangkan Rendi tidak akan pernah datang.

Saat tiba-tiba ponsel Rein berbunyi dan menampilkan sebuah notif, Rein menjadikan itu alasan untuk meyakinkan Sakti. "Kakak gue udah ada di depan."

"Gitu? Ya udah kita bareng aja ke depannya." Rein langsung menggelengkan kepalanya untuk menolaknya. "Lo duluan aja, Sakti. Gue mau ke toilet dulu bentar."

"Gitu? Ya udah, gue duluan ya, Rein."

"Ok." Rein tersenyum lega ketika Sakti pergi meninggalkannya lebih dulu. Rein berniat untuk naik bus hari ini. Dia memang belum pernah naik bus sendirian sebenarnya tapi dia ingin merasakan sesuatu yang berbeda saja hari ini.

Gadis itu mengambil tas sekolahnya yang ia letakkan di atas meja kantin lalu ia bergegas meninggalkan kantin dan berjalan menuju halte bus yang tak jauh dari sekolahnya.

Sepanjang di perjalanan menuju halte, Rein terus menendang-nendang batu kerikil yang ia temukan di hadapannya. Saat ia sudah sampai, ia melihat ada seorang pria yang sedang duduk sendiri di halte dengan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Pria itu memakai almamater sekolah yang berbeda dengannya. Cukup Rein melihatnya saja ia sudah tahu jika pria itu merupakan salah satu siswa dari sekolah tetangga yang juga merupakan rival dari sekolahnya.

Rein duduk dengan jarak yang cukup jauh dari pria itu. Rein mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri untuk mencari orang lain yang hendak naik bus juga selain mereka berdua. Tapi sayangnya, tidak ada orang lain yang hendak naik bus selain mereka berdua.

Rein tidak terbiasa jika ia harus duduk berdua saja dengan orang asing. Maka dari itu dalam hatinya ia terus berharap akan ada orang lain yang datang ke halte tersebut.

"Gue bukan orang jahat, lo gak usah takut." Rein mengeryitkan dahinya heran, mengapa tiba-tiba dia berbicara seperti itu? Pikirnya. Dari tadi bibirnya diam dan hanya hatinya menggumamkan harapan-harapan agar ada orang lain lagi di sini.

Sebuah bus berhenti tepat di depan mereka dan pria tersebut menaiki bus lebih awal dan kemudian disusul oleh Rein dari belakang. Rein berharap ia akan mendapatkan tempat duduk di dekat jendela.

Gadis itu melewati deretan kursi penumpang yang telah terisi penuh, ia bahkan berpikir ia tidak akan mendapatkan tempat duduk di sini. Rein mencari keberadaan pria yang naik bersamanya tadi dan akhirnya matanya mendapatkan pria itu duduk di barisan 3 dari belakang kursi penumpang. Rein lihat dia duduk sendiri, ternyata dugaannya untuk tidak mendapatkan kursi itu salah.

Rein perlahan mulai mendekati kursi kosong di samping pria itu. Dia menghela napasnya pasrah, sebenarnya ia tidak mau duduk dengan pria itu karena dia merasa ada yang aneh ketika ia diam di dekatnya. Tapi Rein menepis semua pemikiran tentangnya dan ia menganggap itu hanya perasaannya saja.

"Ok, gak dapet deket jendela juga yang penting gue dapet tempat duduk," batinnya.

"Gue ikut duduk di sini, ya." Pria itu langsung berdiri setelah Rein tiba di hadapannya. "Kok lo berdiri? Lo gak mau duduk sama gue?"

"Bukannya kebalik?" Pria itu tersenyum menyungging dan mendekat ke arah Rein. Rein yang melihat itu menjadi sedikit ketakutan. "Lo duluan yang duduk. Bukannya lo mau duduk deket jendela?"

"Ok, makasih." Rein tidak mau memperpanjang dan banyak basa-basi dengan pria tersebut. Setelah ia duduk pria itupun duduk di kursi sebelahnya.

Sebuah lagu tiba-tiba diputar di dalam bus tersebut. Sebuah lagu yang menceritakan tentang sebuah kerinduan pada seseorang dan membuat Rein semakin merindukan Haris. Sudah terhitung sering ia memeriksa ponselnya hanya untuk menunggu kabar maupun menghubunginya lebih dulu tapi hasilnya tetap sama, dia tidak mendapatkan apa-apa.

Rein menyandarkan kepalanya pada jendela bus seraya menghayati lagu yang kini tengah diputar.

"Ris, kok lo sama sekali gak ngabarin gue, si? Gue kangen. Masa iya hubungan kita berakhir kek gini?" Batin Rein sedih.

"Emang cowok lo ke mana?" Lagi-lagi Rein keheranan dengan pria itu. Bagaimana bisa pria itu seakan mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. "Gak usah heran gitu natepnya, gue bukan satu-satunya orang di dunia ini yang bisa baca pikiran orang."

"Jadi dari tadi lo baca pikiran gue?"

"Gue gak ada maksud, cuma dari tadi gue denger lo berisik mulu." Rein mendengus sebal dan ia menatap tak suka pada pria itu. "Stop baca pikiran gue, cowok asing!"

"Ya udah kalo gak mau gue baca kita harus ngobrol biar lo gak banyak bergelut dengan pikiran lo sendiri. Kenalin, nama gue Barra. Nama lo siapa?"

"Gue Rein." Mereka berdua berjabat tangan selama beberapa detik.

"Gue denger sekolah kita rival, ya?"

"Emang," jawab Rein singkat.

"Gue baru liat lo. Lo pertama kali naik bus atau gimana? Emang sih gue juga baru pindah ke sini 2 bulan yang lalu."

"Iya, gue pertama kali naik bus buat pulang. Biasanya gue dijemput sama kakak gue, cuma dia lagi sibuk sekarang jadi dia gak bisa jemput."

"Oh gitu."

"Iya." Setelah beberapa lama perjalanan, akhirnya Rein sampai di halte tempat pemberhentiannya. Rein tidak menyangka ternyata Barra juga ikut turun bersamanya.

"Lo turun di sini juga?"

"Iya. Rumah gue deket kok dari sini."

"Oh, sama." Mereka berdua pun berjalan beriringan seraya sedikit berbincang-bincang sampai pada akhirnya Barra berhenti tepat di depan sebuah rumah besar di pinggir jalan.

"Lo mau mampir dulu, gak?"

"Enggak, deh, makasih. Jadi lo penghuni baru rumah ini? Rumah inikan …,"

Rein menatap rumah yang kini ditempati oleh Barra. Rumah ini awalnya sudah dikosongkan selama 3 tahun setelah satu keluarga pemilik rumah ini mati terbunuh pada saat terjadinya perampokan di rumah tersebut.

"Barra, lo gak takut?"

•To be Continued•