webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 26

"Rein …?"

Ditatapnya ruangan kosong yang entah di mana sang pemiliknya berada saat ini. Di luar sana hujan turun dengan begitu lebatnya, berangin namun tidak berpetir. Rendi menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya memasuki kamar adiknya yang sedang kosong tersebut.

Ia berkacak pinggang saat ia menyadari pintu balkon kamar sang adik sedikit terbuka. Saat ia hendak menutupnya dengan rapat, matanya menangkap adiknya sedang duduk menyendiri di sebuah kursi yang ada di balkon. Tanpa banyak berpikir, ia pun menghampiri adiknya dan duduk di sampingnya.

"Dek?" Menyadari kakaknya tiba-tiba ada di sampingnya, gadis itu langsung mengusap air matanya. "Lah, lo nangis? Kenapa?"

"Enggak papa, Kak."

"Jangan boong, ayo cerita sama gue! Lo kenapa, lagi marahan sama Haris, ya?" Yang lebih muda itu menggeleng pelan untuk menolak pertanyaan kakanya.

"Haris pergi, Kak," Lirih Rein. Rendi menunjukkan wajah penasarannya setelah ia mendengarnya. Ia tak mengerti dengan maksud dari pergi itu di sini.

"Maksudnya pergi?"

"Haris pindah ke Hong Kong, Kak. Dia juga belum kasih gue kabar sama sekali, gue kangen banget sama dia." Air mata Rein kembali jatuh setelah dia mengatakan hal itu. "Gue coba hubungin dia lebih dulu juga, handphone-nya masih gak aktif. Gue khawatir banget sama dia," tambahnya.

Rendi menarik adik semata wayangnya itu untuk bersandar pada bahunya dan diusapnya sayang surai hitam panjangnya. "Dia pasti baik-baik aja, kok. Lo harus yakin, ya mungkin dia belum ada waktu buat hubungin lo. Lo tunggu aja."

"Tapi kalo emang iya dia belum ada waktu buat hubungin gue, apa sih yang dia lakuin sampe dia sama sekali gak ngabarin gue?"

Rendi tersenyum dan ia menghapus air mata Rein yang berhasil jatuh dan membasahi wajah cantiknya itu.

"Kalo lo yakin sama Haris, lo pasti bakal terus berpikiran positif tentang dia. Dia pasti baik-baik aja, dia juga pasti inget sama lo, dan dia juga pasti kangen sama lo. Pasti ada sesuatu hal yang menyebabkan dia hilang kabar hari ini. Lo yakin, deh. Tengah malam ini, besok pagi, besok malam, lusa, atau kapan pun itu, dia pasti bakal segera ngabarin lo kalo emang gak ada halangan."

"Tapi gue paling gak bisa nunggu, Kak."

"Sabar dong, kan semuanya juga butuh proses. Masuk, yu! Hujannya gede banget, lo bisa masuk angin entar." Rein akhirnya menuruti apa yang dikatakan oleh kakaknya itu dan ia pun langsung kembali masuk ke dalam.

• • •

"Rein …?"

"Rein? Kamu ada di rumah, Sayang?" Rein yang saat itu sedang berada di kamarnya langsung menyahut ibunya ketika ia mendengar ibunya itu memanggilnya dengan sedikit berteriak di bawah sana.

Rein sedikit membereskan buku-buku novelnya yang sedang ia baca itu dan ia bergegas turun ke bawah. "Kenapa, Mih?"

"Tolong kamu beli bumbu dapur, ya. Udah pada habis soalnya." Nayra memberikan beberapa lembar uang pada putrinya itu. "Ini Mamih udah tulisin apa yang harus kamu beli, ya."

"Ok, Mih." Rein mulai meninggalkan rumahnya untuk pergi ke minimarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.

"REIN!" Rein langsung menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Terlihat seorang pria tengah melambaikan tangan ke arahnya.

"Barra?"

Pria itu memakai sandalnya dan langsung keluar dari pekarangan rumahnya untuk menghampiri gadis yang tadi dipanggilnya itu. "Mau ke mana?" Tanyanya sumringah.

"Disuruh mamih buat beli bumbu, nih."

"Oh. Ikut, dong?"

"Ikut?" Barra menganggukkan kepalanya seraya mengeluarkan senyum manisnya. Rein menggidikan bahunya tak peduli dan ia membiarkan pria itu ikut bersamanya.

Selama di minimarket Barra terus mengikuti Rein dari belakang. "Barra, lo cuma ngikutin gue terus. Gak mau beli sesuatu gitu?"

"Kan judulnya juga gue ikut, ya berarti gue terus ikutin lo, lah." Rein mengangkat bahunya acuh dan ia pun kembali melanjutkan mengambil barang yang harus dibelinya hingga benar-benar tidak ada yang terlewat.

Setelah semuanya selesai …,

"Rein, tunggu dulu!" Rein yang hendak berjalan ke arah kasir langsung berhenti ketika Barra menghentikannya.

"Kenapa?"

Barra mengambil satu buah ice cream dan memasukkannya ke dalam keranjang yang ada di tangan Rein. "Lo yang bayar, ya."

"Ha? Kok jad-"

"Sttt …! Sebagai tanda terimakasih lo karena gue udah nemenin lo belanja." Barra terkekeh ketika melihat wajah Rein yang mulai kesal.

"Heh! Lagian gue gak minta lo buat nemenin gue, ya. Lo ngeselin juga ternyata, gak ada bedanya sama Har-" Rein langsung terdiam dan tidak menyelesaikan ucapannya.

"Haris? Cowok lo itu?"

"Ih udah ah, ambilin satu lagi sana! Gue juga mau." Barra mengambilkan satu ice cream untuk Rein dan Rein pun langsung membayar semua belanjaannya.

Mereka memakan ice cream dalam perjalanan pulang. Tanpa Rein sadari ternyata Barra terus memperhatikan wajahnya sedari tadi.

"Kasian, ya." Rein yang mendengar Barra tiba-tiba berbicara pun langsung menoleh ke arahnya.

"Siapa?" Tanyanya.

"Ya lo, siapa lagi?"

"Gue?" Rein menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.

"Iya, cantik-cantik malah ditinggal sama cowoknya hahahah…."

"BARRA!"

Barra langsung berlari masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan tawanya yang masih belum berhenti.

"Makasih ice cream-nya, Rein. Ice cream-nya manis kaya kamu," ucap Barra dengan sedikit berteriak dari sana. Rein yang melihat itu hanya menatapnya aneh lalu ia pun melanjutkan perjalanannya.

"Gue kira tuh cowok kalem banget. Tapi nyatanya euw jauh dari ekspetasi gue. Tapi gak papa juga sih, apa adanya itu lebih baik."

Saat malam sudah tiba, ketika Rein sedang menonton tv di ruang tengah tiba-tiba ada seseorang yang memencet bel rumahnya. "Bukain, Dek!"

"Kenapa gak Kak Rendi aja?" Rendi otomatis memberikan tatapan galaknya pada Rein yang membuatnya mau tak mau meninggalkan tempat duduknya yang nyaman itu untuk berjalan ke arah pintu dan membukakannya.

"Hai."

"What? Kok lo tau rumah gue?" Pria itu menunjuk ke arah rak sepatu yang ada di teras rumah Rein. "Gue liat ada sendal yang lo pakek tadi sore."

Rein membuka mulutnya tak percaya. Jadi … Barra mengetahui rumahnya itu jalur sandal miliknya?

"Siapa yang datang, Rein? Kok gak kamu bawa masuk?" Ya, karena melihat Rein belum masuk juga ke dalam, Nayra pun menghampirinya dan ia juga sedikit penasaran dengan orang yang datang ke rumah mereka malam ini.

"Hallo, Tante. Kenalin aku Barra penghuni baru rumah kosong yang udah 3 tahun itu." Barra sedikit memperkenalkan tentang dirinya pada ibunya Rein.

"Ohh begitu, kamu kenal sama Rein? Kalian satu sekolah?"

"Enggak, Mih. Waktu itu aku sama Barra gak sengaja ketemu pas pulang sekolah," jelas Rein pada ibunya itu.

"Iya begitu, Tante. Oh iya, ini ada sedikit makanan dari mama, mama juga titip salam buat Tante." Barra memberikan tupperware yang berisi makanan buatan ibunya kepada ibunya Rein.

"Aduh ya ampun Sayang makasih, ya. Salamin juga dari Tante buat mama kamu. Ya udah masuk dulu, yu!"

"Gak papa Tante di sini aja, Barra cuma mau main sama Rein aja di sini," tolak Barra dengan segera.

"Oh, ya udah kalian lanjut aja ya, Tante masuk dulu." Setelah itu Nayra pun kembali masuk ke dalam dan meninggalkan mereka berdua di sana.

Rein dan Barra saling bertatapan sebentar sebelum Rein mengajaknya untuk duduk. "Sorry ya gue dateng tiba-tiba."

"Gak papa kali santai. Oh iya, ada yang penting mau lo omongin?" Tanya Rein pada Barra karena ia berpikir tidak mungkin juga tiba-tiba pria itu datang ke rumahnya malam-malam seperti ini jika tidak ada tujuan yang jelas.

"Rein, jadi temen deket gue yu!" Rein mengerutkan keningnya dan setelah itu ia mengalihkan perhatiannya dari Barra.

"Eumm gimana, ya?" Rein nampak berpikir seperti sedang mempertimbangkan. "Cuma temen kok lo mikir dulu? Ah fiks lo nolep banget nih pasti."

Rein berdecak sebal, Barra ini terlalu serius menganggapnya. "Iya iya gue becanda elah baperan amat. Anaknya siapa sih lo?"

"Anak mak bapak guelah, Ngaco!"

"Jeda dulu ya ngobrolnya, ini minumnya sama cemilannya. Biar apa? Biar tambah seru ngobrolnya." Nayra tiba-tiba datang kembali dan menata minuman dan cemilan di atas meja.

"Maaf jadi ngerepotin, Tante."

"Ah enggak kok, Sayang, santai aja. Ya udah, kalian lanjutin, ya." Setelah selesai Nayra pun kembali masuk ke dalam. Barra kembali menatap Rein setelah wanita paruh baya itu benar-benar menghilang dari hadapan mereka.

"Rein mama lo cantik, ya."

"Kenapa, lo suka?" Tanya Rein dengan maksud bercanda.

"Iya."

Rein otomatis sedikit menampar paha Barra setelah ia mendengarnya. "Weh gila sih selera lo emak emak."

"Becanda elah baperan amat."

Sebuah motor tiba-tiba memasuki pekarangan rumah dan langsung masuk ke dalam garasi yang berada di samping rumah. Ya, Rendi baru pulang dari kampus dan dia melihat ada seorang pria asing yang duduk bersama adiknya.

"Wah parah lo, Dek. Mentang-mentang Haris sama sekali gak ada kabar lo jadinya nyari cowok lain," celetuk Rendi yang membuat adiknya itu otomatis menatap tajam ke arahnya.

"Kak Rendi apaan sih? Ini temen Rein doang, kok."

"Temen?"

"Iya."

"Temen?"

Rein menghela napas pasrah dan memutar bola matanya malas. "Iya, Kak."

"Temen, yakin?"

"Iyalah!" Kali ini Rein menjawabnya dengan sedikit emosinya.

"Temen?"

"MAMIH KAK RENDI NGESELIN!!!" Rendi langsung masuk ke dalam rumah tapi dia sempat kembali lagi hanya untuk mengatakan, "Dasar bocah pengadu."

"Ihh! Lo aja yang ngeselin." Setelah itu Rendi benar-benar masuk ke dalam rumah.

"Lucu juga ya interaksi lo sama kakak lo," celetuk Barra yang membuat Rein kembali memberikan perhatiannya padanya.

"Lucu kagak bikin emosi iya kali."

Ting!

"Haris?" Rein langsung membuka ponselnya. Tapi, setelah itu wajahnya menjadi berubah seperti orang yang sedang kecewa.

"Cowok lo?" Tanya Barra.

Rein menggeleng pelan lalu kembali meletakkan ponselnya. "Bukan. Sampe kapan sih gue harus nunggu kabar dari lo, Ris? Dan kapan juga penantian gue ini bakalan berakhir?"

Barra tersenyum lalu ia sedikit mengusap pelan punggung Rein. "Saling berdoa kalian bakal baik-baik aja selama dipisahkan oleh jarak dan waktu."

"Entah kenapa, Barr. Hati gue gak bisa tenang kalau gue inget sama dia. Kita bakal ketemu lagi gak ya kira-kira?"

"Dia ada bilang gak, bakal balik kapan?" Rein menggeleng pelan untuk membalasnya. Barra kembali tersenyum ketika melihat wajah Rein semakin terlihat sedih. "Udah jangan sedih gitu, yakin aja bakal secepatnya."

"Tapi Barra, kalo dia balik nanti, apa hatinya bakal bener-bener masih buat gue seutuhnya?"

•To be Continued•