webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 24

2 hari yang tersisa itu Haris habiskan bersama Rein. Mereka mengunjungi banyak tempat untuk menghabiskan waktu berdua agar Rein bisa mengunjungi tempat itu jika ia merindukan Haris nantinya. Mereka juga meluangkan waktu dengan teman-teman mereka hanya untuk detik-detik pertemuan sebelum Haris pergi meninggalkan mereka.

Haris mengantarkan Rein pulang pada pukul 10 malam. Saat itu mereka baru saja pulang dari rumah Bastian setelah berkumpul dengan mereka semua. Haris menatap lamat Rein yang kala itu masih terdiam dengan pandangannya yang tertunduk.

"Hey." Rein mengangkat kepalanya ketika Haris menyentuh pipi kanannya.

"Jaga diri lo baik-baik ya, Ris." Haris mengangguk perlahan dan tersenyum. Perlahan ia pun turun dari motornya dan berdiri tepat di depan Rein.

Saat Haris memeluknya kembali, air mata Rein kembali mengalir. Hatinya terasa begitu sakit berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ia menyadari jika malam ini adalah malam terakhir ia dapat beresentuhan dengan pria ini secara nyata.

"Rein bakalan rindu sama Haris." Haris tersenyum nanar dalam pelukan Rein setelah ia mendengar kalimat itu.

"Haris juga bakal rindu sama Rein." Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya terhadap pria tersebut.

Mereka terdiam dengan posisi yang masih sama. Setelah kurang lebih sekitar 5 menit, mereka pun mulai melepaskan pelukannya. Haris menghapus air mata Rein dan masih terus memaksakan untuk tetap tersenyum. Ia harus terlihat kuat di hadapan Rein walau sebenernya ia juga sama-sama hancur.

"Jangan nangis lagi saat gue udah gak ada lagi di samping lo, ya. Gue gak mau ada orang lain yang hapus air mata lo selain gue."

Rein mengangguk mengerti. "Lo hati-hati, ya. Gue akan selalu berdoa buat keselamatan lo dan juga keluarga lo. Tolong sering hubungin gue di sini."

"Iya, Rein. Lo masuk sekarang ya, udah malem."

"Iya." Rein pun mulai berjalan ke dalam pakarangan rumahnya. Saat ia sudah sampai di depan pintu, ia melihat ke arah Haris yang saat itu masih tersenyum ke arahnya. Rein sangat membenci senyuman perpisahan itu. Benar-benar sangat membencinya.

"Rein ...!" Gadis itu mengurungkan niatnya yang kala itu hendak masuk ke dalam rumah dan ia melihat Haris berlari ke arahnya.

Setelah Haris ada di hadapan Rein, ia menangkup pipi Rein dan perlahan ia dekatkan wajahnya pada gadis itu lalu mencium lama keningnya.

"Sorry gue udah lancang. Gue berharap gue bisa lakuin hal yang sama bahkan lebih dari ini saat gue udah kembali. Jaga diri lo baik-baik, ya, gue mau lo selalu sehat. Gue cinta sama lo."

"Gue juga cinta sama lo."

Ya, begitulah malam ini berakhir. Malam ini berakhir dengan terlepasnya sebuah genggaman hangat yang dipaksa lepas oleh goresan takdir.

• • •

Haris tidak mengizinkan Rein dan teman-temannya mengantarkannya ke bandara. Ia tidak mau melihat Rein kembali menangis di saat waktu dia pergi telah datang.

Mulutnya sama sekali tidak bersuara tapi hatinya terus berisik menggumamkan bahwa ia tak tenang ketika harus meninggalkan Rein jauh dari sana. Ia berpikir akankah mereka sama-sama kuat menjaga hati mereka dengan jarak yang jauh dan waktu yang tak menentu kapan mereka akan bertemu kembali.

Ia berharap waktu berputar dengan cepat dan ia akan segera kembali untuk menemui gadis yang telah berhasil memikat hatinya dari lama tersebut. Gadis yang pemarah, yang tidak terlalu menyukai hal yang berbau romantis, dan terkadang ia terlihat seperti tidak peduli. Haris tersenyum mengingatnya, bagaimana bisa ia meninggalkan gadis itu?

Karena hal-hal itulah Haris sangat-sangat menyayanginya, dia sangat menyukai sikapnya yang selalu apa adanya dan tidak mengada-ngada. Ia tetap menjadi dirinya sendiri walaupun status mereka bukan lagi sahabat.

Haris menitipkannya pada Tuhan agar dia selalu menjaganya ketika ia jauh darinya. Haris yakin, Tuhan akan mengabulkan doanya dan ia pasti akan menjaga Rein melalui perantara makhluk-makhluknya.

Rein pergi sendiri ke kantin setelah pulang sekolah. Ia terus menghela napasnya dan terus membayangkan Haris masih ada bersamanya di sini. Mereka memang sering mengunjungi kantin berdua setelah pulang sekolah dan Haris selalu memesankan makanan juga minuman untuk mereka. Rein hanya tinggal duduk manis saja dan Haris yang membawakan semuanya. Tapi sayangnya, itu tidak akan terjadi lagi di sini. Rein harus lebih mandiri lagi sekarang karena Haris sudah tak ada lagi di sampingnya.

Rein belum ada niatan untuk memesan apapun, dari tadi dia masih duduk terdiam di sana sambil melamun sampai pada akhirnya ia tersadar ketika ada seseorang yang meletakkan 1 cup ice cream yang telah dibuka di depannya.

"Jangan ngelamun mulu, entar lo kesambet." Rein tersenyum menanggapinya.

"Kok lo belum pulang?" Tanya Rein pada orang yang kini sedang duduk di hadapannya itu.

"Gue liat lo pergi ke sini, ya udah gue ikutin." Sebenernya bukan itu alasan sebenernya. Pria itu memang sering melihat Rein dan Haris selalu pergi ke kantin setelah pulang sekolah. Jadi, ia pergi ke sini untuk memastikan bahwa Rein ada di sana walau Haris sudah tidak ada lagi bersamanya.

"Makan dong, Rein. Gue sengaja beliin itu buat lo." Rein menatap ice cream di depannya. Ia semakin ingat pada Haris ketika ia menatap ice cream tersebut.

"Iya. Thanks, ya, Sakti. Sebenernya lo gak perlu repot-repot beliin ini buat gue."

"Gak papa santai aja, kek ke siapa aja lo. Lo pulang bakal dijemput lagi sama kakak lo, gak?" Rein menggeleng pelan sebelum ia menjawabnya.

"Kak Rendi belum tau kalo Haris pergi. Gue bakal naik taxi aja entar pulangnya. Tadi pagi juga gitu."

Sakti mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. "Gue anterin, ya."

"Enggak deh, lo gak searah sama gue. Entar lo bakal jauh lagi buat sampe rumah." Rein mencoba menolaknya. Tentu saja ia tidak ingin merepotkan Sakti, lagi pula ia masih bisa pulang sendiri.

"Rein. Lo inget? Haris udah nitipin lo sama kita. Kita di sini dalam artian berarti gue juga termasuk orang yang dia kasih amanat buat jagain lo. Gue mau jagain lo buat dia." Rein menatap Sakti sekilas kemudian ia mengarahkan pandangannya ke arah lain.

"Lo biasa jemput Cesi di sekolahnya, kan? Udah gue pulang sendiri aja gak papa." Rein kembali menolaknya. Selain ia tidak ingin merepotkan, ia juga ingat bahwasanya Sakti selalu menjemput Cesi di sekolahnya. Jika Sakti mengantarkannya pulang, lalu bagaimana dengan Cesi nantinya?

"Rein. Lo gak perlu mikirin hal itu, udah tenang aja." Rein mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Memangnya Cesi tidak akan marah? Tanyanya dalam hati. "Gak usah heran kek gitu. Gue udah putus sama dia 1 bulan yang lalu."

Rein tersedak ice cream setelah mendengarnya. "Putus? Kok bisa?"

"Heem, udah jalannya harus udahan. Gimana, lo mau gak gue anterin pulang?" Rein nampak berpikir dulu untuk menerimanya atau menolaknya.

"Iya deh kalo lo maksa. Tapi sorry ngerepotin."

"Sans aja kali, kek sama siapa aja."

• • •

Hujan turun dengan begitu lebat ketika Rein baru sampai di rumahnya. Karena memang tidak memungkinkan untuk pulang, akhirnya Sakti memilih untuk tinggal di rumah Rein sambil menunggu hujannya reda.

Rein membuat cokelat panas untuk sekedar mengurangi rasa dingin terhadap tubuh mereka. "Sorry ya, Sakti. Gara-gara lo anterin gue pulang ... lo jadinya malah kejebak hujan kaya gini."

"Gak papa, Rein. Kan gue yang mau, lo gak usah minta maaf." Rein hanya menanggapinya dengan senyumannya saja.

"Lo pasti laper. Kita makan aja dulu, yu!" Ajak Rein pada Sakti.

"Gak juga sih. Gue jarang langsung makan pas pulang sekolah. Tapi kalo lo mau makan ya gak papa lo aja." Rein menggeleng pelan.

"Gue juga belum lapar, kok."

"Yakin? Jangan karena ada gue lo jadi nahan lapar."

"Gue belum lapar kok, Sakti. Asli deh."

"Yakin?"

"Iya."

Hening beberapa saat. Sakti mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruang tamu dan ia baru sadar dari tadi hanya ada mereka bedua saja di sini. "Rein, kita cuma berdua aja di sini? Keluarga lo mana?"

"Mamih paling juga lagi tidur di kamarnya, papih masih di kantor, kalo kak Rendi paling lagi ngumpul sama temen-temen kampusnya."

"Gitu?"

"Heem."

Rein membuka ponselnya hanya untuk sekedar memastikan apa Haris sudah memberinya kabar atau belum. Rein memasang wajah lesu, setelah itu ia pun mencoba untuk menghubungi Haris. Tapi, sayangnya Haris sama sekali tidak bisa dihubungi.

Melihat air muka Rein yang terlihat sedih, Sakti pun kembali mengangkat suaranya. "Haris belum ngasih kabar?"

"Belum, Sak. Kok gue khawatir ya sama dia?" Rein kembali memasang wajah cemasnya tanpa mengalihkan pandangannya pada Sakti.

"Tetep berpikir positif, mungkin aja dia belum punya waktu yang tepat buat ngabarin lo."

"Sakti ... menurut lo, kapan Haris bakal balik?"

"Sampai lo mulai ngerasa bosen nungguin dia."

"Ha? Maksud lo? Gue gak bakal pernah bosen buat nungguin dia, kok."

"Ya, semoga aja emang begitu, Rein."

•To be Continued•