webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 23

Belakangan ini ayah dan ibunya Haris sering bertengkar dan selalu terlihat membicarakan hal yang serius. Setiap Haris menanyakannya, tidak ada satupun yang berani menjawab pertanyaan darinya. Dan karena masalah itu, Haris pun menjadi sedikit frustasi dengan suasana rumahnya yang sedang memburuk. Bahkan Haris jarang pulang ke rumahnya dan lebih memilih untuk menginap di rumah Sakti. Kepalanya sangat pusing ketika ia harus melihat pertengkaran kedua orangtuanya itu.

Karena ia tak mau jika Haikal menjadi anak yang buruk karena melihat pertengkaran orangtua mereka, Haris pun selalu membawa adiknya itu ke manapun ia pergi. Termasuk ia juga membawanya untuk ikut menginap di rumah Sakti. Sakti tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, lagi pula ia hanya tinggal sendirian di rumahnya. Jadi, ia senang memiliki teman di rumahnya.

Suatu malam ayahnya menghubungi Haris untuk menyuruhnya dan juga Haikal pulang ke rumah. Ia mengatakan bahwa ia berjanji akan menceritakan semuanya pada kedua anaknya itu.

Setelah Haris dan Haikal sampai di rumah, ayah mereka pun langsung menceritakan apa masalah sebenarnya yang sedang terjadi di dalam keluarga mereka.

Setelah mendengar penjelasan ayah mereka, Haris menatap serius kedua mata ayahnya yang kini duduk tepat di hadapannya. Ia benar-benar kecewa atas apa yang telah ia dengar.

"Pah, Papa kok baru ngomong sekarang? Kenapa gak dari lama aja?" Haris menatap serius ke arah Satya yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya. Satya memijat pelipisnya sebelum ia menjawab pertanyaan putra sulungnya itu.

"Papa gak mau kedua putra Papa ikut kepikiran. Kita gak punya pilihan lain sekarang. Kalian berdua juga harus ikut."

"Pah, mau dulu ataupun sekarang, tetep aja bakal sama, Pah. Haris bakal ikut kepikiran. Malahan dengan cara Papa ngasih tau Haris dengan begini caranya, secara mendadak. Haris kecewa banget sama Papa."

• • •

Haris merenung di kamarnya. Ia kecewa dengan semuanya, kenapa semuanya harus terjadi? Sebenarnya dia sama sekali tidak ingin melakukannya. Hanya saja, orangtuanya terus memaksa dan dia tidak mungkin menolaknya. 

Haris menatap lamat poto Rein di ponselnya. Ia bingung, apa yang harus ia katakan pada Rein nantinya?

"Bang, kata mama makan." Haikal memasuki kamar kakaknya karena ibunya menyuruhnya untuk memanggilkan sang kakak.

"Entar gue nyusul."

Haris memakai jaketnya dan mengambil kunci motornya. Dia akan pergi ke rumah Rein, siap ataupun tidak, dia harus segera memberitahukannya pada Rein karena waktu yang dimilikinya hanya sedikit.

Setelah ia melewatkan waktu setengah jam di perjalanan menuju rumah Rein. Haris tidak langsung menekan bel melainkan dia terus memandang pintu rumah yang ada di hadapannya. Dia berharap Rein akan mengerti.

Perlahan Haris mulai menekan belnya dan tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh orang dalam.

"Haris?" Haris menatap kedua mata Rein setelah gadis itu membukakan pintu untuknya. Rein yang merasa heran karena tatapan Haris terlihat sangat lesu, ia pun menanyakannya. "Lo kenapa lesu? Lo sakit?"

Haris hanya menggeleng pelan. "Kita keluar malam ini, yu! Gue mau ngomong serius sama lo."

Tanpa banyak bertanya Rein pun langsung siap-siap dan setelah ia selesai Haris pun mulai membawa Rein pergi. Rein tidak tahu Haris akan membawanya ke mana, ia juga sangat heran karena malam ini Haris beda dari biasanya. Rein merasa takut sendiri jadinya.

Haris membawa Rein ke sebuah taman yang cukup sepi. Ia sengaja membawanya ke tempat sepi agar tidak ada yang mengganggu mereka. Haris pun mengajak Rein untuk duduk di kursi taman tersebut.

"Kenapa?"

Haris membuang napasnya pelan lalu menggenggam tangan Rein seraya menatap kedua maniknya. "Rein, gue mau pergi." Rein terdiam sejenak sebelum ia menjawabnya.

"Pergi? Ke mana?"

"Gue bakalan pindah ke Hong Kong. Perusahaan bokap gue bangkrut karena udah ditipu habis-habisan. Rumah, mobil, dan bahkan motor gue sekalipun mungkin bakalan mereka jual juga. Semuanya dijual buat bekal kita nanti di sana. Gue punya 2 hari lagi buat bisa ada di samping lo."

Setelah mendengar itu, perlahan Rein menitikkan air matanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Haris. "Lo mau ninggalin gue?"

"Maaf, Rein." Gadis itu langsung menghapus air matanya sebelum tangan Haris yang menghapusnya.

"Ya udah lo pergi aja. Gue paham, gue gak boleh egois walau sebenernya gue gak mau lo pergi."

Haris menarik Rein ke dalam pelukannya. Isakan demi isakan tangis Rein mulai terdengar. Haris terus mengatakan kalimat-kalimat penenang untuknya.

"Kenapa harus mendadak kek gini, Ris? Gue gak ada persiapan sama sekali buat nerima kabar ini. Kok lo jahat banget sih sama gue? Lo tuh jahat tau gak. Sumpah jahat banget, lo gak sayang sama gue."

"Rein, gue sayang banget sama lo. Tapi posisi kita sama, bokap gue juga baru ngomong sama gue dan juga Haikal tadi. Gue juga kecewa sebenernya tapi apa yang bisa gue lakuin? Gak ada, Rein."

Haris mengusap sayang surai hitam Rein yang ada dalam pelukannya. Dengan mendengar tangisan Rein yang semakin kuat, ia menjadi merasa bersalah dan hatinya pun begitu teriris. Rein adalah wanita yang jarang sekali menangis, dia wanita yang sangat kuat. Haris merasa dirinya jahat karena telah membuat wanita yang kuat itu melemah.

"K-kalo lo pergi, g-gue sama siapa, Ris? Gue sama siapa?"

"Cuma gue yang bakal pergi, Rein. Tapi tidak dengan temen-temen kita. Lo masih punya mereka, gue bakal nitipin lo sama mereka agar mereka selalu nemenin lo. Rein, lo dengerin gue, ya. Gue janji sama lo, gue bakal balik lagi ke sini, gue bakal balik lagi buat lo. Dan gue janji, gue bakal bahagiain lo kalo kita udah bareng lagi. Gue emang gak tau kapan gue bisa ketemu sama lo lagi. Tapi gue yakin, hari di mana gue dan lo bisa ketemu lagi pasti ada, hari itu pasti akan datang. Lo mau nunggu gue balik kan, Rein? Tolong jaga hati lo cuma buat gue, karena gue juga bakal jaga hati gue buat lo. Gak akan ada yang lain."

Rein semakin kuat mengeratkan pelukannya pada Haris seakan-akan dia mengharamkan Haris untuk pergi meninggalkannya. "Gue gak rela lo pergi, gue mau lo terus ada di samping gue. Tapi gue harus maksain diri gue buat bisa ngelepasin lo. Berat bagi gue, Ris. Lo harus cepet balik lagi karena gue bakal rinduin lo tiap harinya. Lo harus janji sama gue lo harus cepet balik lagi kalo lo emang beneran sayang sama gue."

"Gue janji gue bakal balik lagi dengan keadaan hati gue utuh buat lo. Raga kita boleh berjauhan tapi hati kita harus selalu deket. Lo tunggu gue, ya." Rein mengangguk pelan. Perlahan mereka melepaskan pelukannya satu sama lain.

"Udah lo jangan nangis lagi, ya." Haris mengahapus air mata Rein dengan kedua ibu jarinya. "Gue bakalan semakin berat buat ninggalin lo nya."

"Janji lo bakal balik?" Rein menunjukkan jari kelingkingnya pada Haris yang langsung Haris balas dengan kelingkingnya yang kemudian mereka tautkan.

"Gue janji."

•To be Continued•