webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 18

"Lo berdua udah pernah lakuin apa?"

"Ma-maksud Kakak apa, ya?" Tanya Rein heran karena tiba-tiba saja kakaknya itu bertanya demikian dengan air muka yang sangat serius.

Rendi mengeluarkan sesuatu di dalam saku jaketnya dan menyimpannya di atas meja. Rein yang melihat itu langsung membulatkan matanya tidak percaya, ia berpikir bagaimana bisa benda itu ada pada kakaknya.

"Lo beli ini buat apa? Lo mau cek kehamilan, iya? Siapa yang dicurigai hamil? Lo berdua udah macem-macem?" Rein langsung menggelengkan kepalanya untuk menolak semua yang dipertanyakan oleh kakaknya itu.

"K-kak itu itu bukan buat Rein."

"BUAT SIAPA KALO BUKAN BUAT LO?! Ha? Buat Mamih, gitu?" Rein langsung menciut setelah kakaknya mengeluarkan bentakannya. Rein trauma dengan semua ini, Rendi sangat seram ketika dia sedang emosi. Rein ingin menjelaskannya tapi ia melihat ada Haris di sini dan dia juga takut kakaknya dan ibunya tidak akan mempercayainya.

Haris menatap Rein tidak percaya, ia berpikir apakah Rein memiliki pria lain selain dirinya? Haris tidak pernah berbuat macam-macam pada Rein selama ini. "Rein, gue beneran gak tau. L-lo udah lakuin sama siapa? Lo punya cowok selain gue?"

"Enggak Haris, enggak!" mata Rein mulai berkaca-kaca. Ia sedih, setelah tadi ia dibentak oleh kakaknya dan sekarang Haris pun mengira yang tidak-tidak padanya.

"Rein, ayo kamu jawab pertanyaan Kakak yang tadi!"

Rein kembali menatap ibunya dan juga kakaknya. "Mih, Kak. Itu bukan buat Rein."

"Ya lo jawab! Kalo bukan buat lo, terus itu buat siapa? Udah gue bilangin berkali-kali lo jangan bandel jadi anak cewek! Lo mau malu-maluin keluarga?! Lo mau cemarin nama baik keluarga kita, iya? Seumur-umur gue gak pernah ngajarin lo buat kaya gitu. Kalo sampai itu terjadi, jangan pernah lo panggil gue Kakak lo lagi!"

"UDAH, CUKUP!" Rein berdiri dari duduknya dan langsung mengambil test pack tersebut. Dalam hatinya Rein meminta maaf pada Sheril karena dia telah gagal menjaga rahasianya. Rein sedang berada di dalam situasi yang sulit sekarang ini, jadi tidak mungkin ia terus-menerus menyembunyikan hal ini ketika ia berada dalam bahaya.

Rein mengelap air matanya sebelum ia berbicara. "Test pack ini emang Rein yang beli. Tapi Rein berani sumpah kalo ini bukan buat Rein. Ini buat Sheril, dia kecelakaan sama Jian 1 bulan yang lalu. Sheril mual-mual saat berada di kantin pas jam pulang sekolah tadi. Jadi Rein beliin ini buat dia, kalian semua puas?!"

Rein kembali duduk dan ia menutupi wajahnya dengan tangannya. Perlahan isakkan Rein mulai terdengar dan mereka semua langsung terdiam. Haris mengusap pelan punggung Rein agar gadis itu bisa segera tenang. Rein hanya sakit hati karena mereka telah menuduh Rein padahal dia belum menjelaskan apa-apa.

"Bang, dengan ini gue bisa belajar. Gue bersumpah sama lo gue gak bakal sakiti Rein, gue gak bakal pernah bikin hidup dia hancur. Gue bakal selalu jaga dia dan bakal gue pastiin, masalah ini tidak akan pernah dialami oleh kita berdua." Haris menatap Rendi tak kalah serius saat dia mengucapkan hal itu. Rendi hanya menghela napasnya lalu ia pun pergi ke kamarnya.

"Tante bakalan pegang janji kamu." Ibunya Rein juga langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

Haris memeluk Rein dan mengusap kepalanya sayang. "Gue minta maaf udah nuduh lo yang enggak-enggak. Gue percaya sama lo kok, Rein. Gue tau lo itu sahabat yang setia makannya lo sembunyiin ini dari semua orang demi sahabat lo. Dan lo rela harus dituduh seperti ini dulu buat nolongin dia. Karena gue udah terlanjur tau, jadi gue juga bakal rahasiain ini semua."

"Makasih udah ngerti, Haris." Rein membalas pelukan Haris dan ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang itu.

"Iya. Udah jangan nangis, ya." Haris mengelap air mata Rein dengan kedua ibu jarinya.

Haris mengantarkan Rein ke rumah Sheril. Ia sempat berpikir untuk pergi ke rumah Bastian setelah ia mengantarkan Rein. Tapi, ia membatalkan niatnya itu ketika ia melihat Jian juga ada di sana.

Rumah Sheril sepi saat itu karena ayahnya sedang bekerja seperti biasa sedangkan ibunya pergi untuk menghadiri arisan bersama teman-temannya.

Rein melihat Sheril sedang menyendiri di kamarnya sedangkan Jian duduk di sofa yang ada di luar kamar Sheril.

"Sher."

"Rein?"

"Lo cek ya. Gue sengaja beliin ini buat lo. Jangan putus asa dulu, oke?" Sheril melihat 2 buah test pack yang ada di tangan Rein lalu mengambilnya.

"Lo perhatian banget sama gue, Rein. Gue aja gak pernah mikir buat ngetes kaya gini. Sebenernya gue takut buat tes, gue takut kalo hasilnya emang iya."

Rein tersenyum lembut dan ia menggelengkan kepalanya pelan, ia memberikan tatapan dalamnya seakan-akan ia menyuruh Sheril untuk tetap bersama pikiran positifnya.

"Ya udah lo cek sekarang, lo pakek dulu yang satu terus yang keduanya entar buat mastiin bakal sama atau enggak sama yang pertama." Sheril mengangguk, lalu ia pun berjalan ke kamar mandi untuk mulai mengetesnya.

Setelah 5 menit kemudian, Sheril pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Rein. "Gimana?"

"Yang pertama gue negatif, Rein." Mereka berdua mulai merasa sedikit tenang. Tapi masih ada satu test pack lagi yang harus Sheril pakai untuk memastikan akan sama atau tidak dengan yang pertama.

Haris memperhatikan wajah Jian yang nampak tak baik-baik saja. Haris sempat mengajaknya berbicara, hanya saja ia harus terus mengulang perkataanya karena Jian tidak fokus menanggapinya. Haris masih terlihat damai dan berpura-pura seakan dia masih tidak tahu apa-apa saat di depan Jian.

Rein dan Sheril keluar dari kamar dan mereka langsung duduk bersama Haris dan juga Jian. Rein telah mengatakan pada Sheril jika Haris sudah mengetahuinya sekarang. Sheril mengerti dengan apa yang diceritakan oleh Rein jadi dia tidak mempermasalahkannya. Lagi pula, bagaimanapun juga Rein berhak menyelamatkan dirinya sendiri.

"Jian, kamu mau tanggung jawab, kan?"

"Aku janji sama kamu. Aku bakalan tanggung jawab." Mendengar itu Sheril langsung menunjukkan hasilnya pada Jian.

"Aku negatif. Karena kamu udah janji, kamu harus tetep tepatin walau ini hasilnya negatif. Aku udah berikan semuanya sama kamu, aku harap kamu bakal nikahin aku nanti."

"Iya, Sher. Aku janji bakal nikahin kamu."

"Nah, udah, kan? Udah deh jangan ada yang ngehindar lagi! Kan udah baikan," ucap Rein yang membuat Sheril dan Jian saling melontarkan senyum lega mereka satu sama lain.

Haris yang dari tadi hanya menyimak, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara kekehannya yang membuat Jian membulatkan matanya dan langsung menatap ke arahnya.

"Sher, ada Haris." Ya, Jian baru sadar kembali jika Haris ada di sana bersama mereka saat ini. "Ya bodo amat orang gue udah tau."

"Kok lo bisa tau?" Tanya Jian Heran.

"Panjang deh ceritanya. Udah lo tenang ajalah, gue bakal jaga rahasia lo berdua, kok." Haris merangkul Jian yang duduk bersebelahan dengannya.

"Thanks ya, Bro."

"Santuy."

Tepat pada pukul 5 sore, Haris mengantar Rein pulang ke rumahnya. "Mampir, yu!"

Haris menggelengkan kepalanya pelan dan ia sedikit mencubit pipi Rein. "Belum mandi. Entar malam deh gue ke sini."

"Ihhh … jadi belum mandi?" Rein memukul pelan punggung Haris yang membuat pria itu tertawa renyah.

"Belum. Ya gara-gara kakak lo sih gue lagi enak-enak nyebat tiba-tiba nelpon terus nyuruh ke sini," ocehnya

"Iya deh iya. Hati-hati di jalan, ya."

"Heem."

Saat Rein masuk ke dalam, ia melihat Rendi yang sedang memainkan ponselnya di ruang tengah. Saat ia menyadari adiknya itu sudah pulang, ia pun memanggilnya untuk duduk bersamanya. Rein berjalan malas ke arah kakaknya itu dan duduk di hadapannya.

"Apasih, Kak?" Tanyanya langsung.

"Gue minta maaf atas kejadian tadi." Rein memutar bola matanya malas dan ia mendengus pelan.

"Udah selesai, lupain aja!" Rein beranjak dari duduknya dan hendak pergi ke kamarnya. "Tapi lo maafin gue, gak?"

Rein kembali menghentikan langkahnya ketika ia kembali mendengar suara kakaknya. "Penuhin kulkas sama ice cream dulu, baru gue maafin."

"ICE CREAM TEROOOOOS!!!" Rein menggidikkan bahunya tidak peduli, ia pun langsung melangkahkan kakinya menuju kamar.

Rein berpikir, jika Sheril tidak hamil lalu kenapa sewaktu pulang sekolah ia mual-mual dan muntah?

Rein menepis jauh pertanyaannya itu. Ia berpikir positif saja Sheril masuk angin waktu itu karena cuacanya yang hujan lebat juga.

•To Be Continued•