webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 17

"Sebenernya …," Rein menggantungkan ucapannya yang membuat Haris menatapnya malas.

"Apa, si? Jangan sok misterius deh!" Rein tertawa dan ia memukul keras paha Haris yang ada di hadapannya.

"Ih ngegas mulu deh hari ini, sabar dong aduh … cuma Rein aja yang suka ngegas, Haris jangan ikut-ikutan!"

"Cuma Rein doang yang suka ngegas, Haris jangan ikut-ikutan!" Haris menirukan apa yang tadi dikatakan oleh Rein. "Ayo cepetan bilang! Kalo enggak, gue gak mau nih potong rambut."

"Ih iya deh iya. Sebenernya tadi di sekolah gue emang mau nyosor lo, tapi berhubung mang Eko dateng dan ngegagalin semuanya jadi ya udah." Haris langsung menatap Rein tidak percaya.

"Kan! Jangan Rein! Bibir gue masih perjaka. Tapi ngeselin juga ya, kenapa mang Eko harus dateng, si? Kan gagal jadinya." Rein menatap Haris datar dan ia kembali memukul keras paha pria itu.

"Bacot! Pas mang Eko dateng juga gue udah sadar kok, gue emang bakal gagalin rencana kotor itu karena gue sadar … lo bau kambing." Rein langsung tertawa sedangkan Haris menatapnya tanpa ekspresi.

"Fiks, gue gak mau cukur." Haris beranjak dari duduknya dan ia berjalan untuk kembali masuk ke dalam rumah.

"Ih Haris kan udah janji!!!"

• • •

Haris dan yang lainnya masih berada di sekolah saat hujan turun dengan begitu lebat setelah jam pulang tiba. Mereka memutuskan untuk diam di kantin sambil menikmati minuman yang bisa menghangatkan tubuh mereka.

Sheril terus menepis tangan Jian yang selalu mencoba menyentuhnya. Pria itu menghela napasnya pasrah, walau sudah 1 bulan lamanya kejadian buruk itu berlalu, tapi Sheril masih terlihat marah padanya.

"Ris, pengen ice cream dong." Haris menghiraukan permintaan Rein dan dia memilih untuk terus fokus pada lawan bicaranya–Sakti.

"Ya udah gue beli sendiri." Dengan segera Haris menarik Rein untuk duduk kembali.

"Denger ya, Cantik. Gue bukannya gak mau beliin tapi ini tuh lagi hujan gede banget terus dingin juga. Lo bisa flu ntar kalo makan ice cream lagi hujan kaya gini. Jajan yang lain aja ya asal jangan ice cream."

"Ahh Haris perhatian banget sama Rein." Dara memekik gemas ketika melihat Haris melarang Rein seperti itu. Ini langka, jadi wajar saja seperti terkesan aneh. "Haris belajar dari aku itu, Yang."

"Gak ada sejarahnya gue belajar buat romantis-romantisan sama lo." Haris menolak pernyataan dari Bastian yang begitu percaya diri itu. "Ya udah, mau apa?" Tanya Haris pada Rein.

"Ice cream."

"Jangan ice cream terus dong! Heran deh kalo ditanya mau apa pasti jawabannya ice cream mulu. Kali-kali yang lain kek."

"Ih ya udah sih terserah." Rein kembali beranjak dari duduknya dan Haris pun segera menahannya kembali. "Ih apa, sih? Mau ke toilet kok bukan beli ice cream. Kenapa, mau ikut?"

"Ayo!"

"Ehhhh!" Sakti langsung menarik Haris untuk duduk kembali. "Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan, lo!" Tambahnya.

"Ini dari tadi Erin sama Jifran kok pada diem, sih? Lagi marahan juga?" Tanya Dara sedangkan mereka berdua hanya menggelengkan kepala untuk meresponnya.

"Terus?" Mereka berdua kembali menggelengkan kepalanya.

"Sariawan berjamaah kali mereka, Dar. Biar romantis gitu," celetuk Haris.

"Sembarangan ya lo!" Erin berdiri dan ia menunjuk ke arah Haris.

"Nah, kalah!" Jifran menunjuk Erin dan tertawa puas. "Gara-gara lo, sih." Gadis itu mendelik tidak suka ke arah Haris.

"Lah, jadi gue yang salah."

"Udah, Rin. Karena kamu kalah, jadi kamu yang harus berani nanyain lagi jalan MP yang tadi pagi sama bu Welin jelasin." Erin menekuk wajahnya kesal. Bu Welin itu guru Matematika Peminatan yang dikenal killer. Mulutnya yang pedas selalu membuat anak-anak enggan bertanya padanya. Walau suka dimarahi terlebih dahulu karena dibilang tidak memperhatikan saat pembelajaran, tapi guru tersebut pasti akan menjelaskannya kembali.

"Hilih, cuma karena gak ngerti rumus terus kalian ngadain tantangan siapa yang ngomong lebih dulu artinya dia kalah, jadi dia orang yang harus nanyain, gitu? Gak asik." Haris kembali mengangkat minumannya dan perlahan ia meminumnya.

"Ini cowoknya si Rein nyinyir mulu ya dari tadi. Heran." Haris membulatkan matanya dan ia menatap ke arah Erin. "Nyinyir lo bilang? Ini tuh bukan nyinyir tapi ini tuh namanya mengutarakan opini."

"Halah, opini opini."

Rein berjalan ke arah mereka setelah ia kembali dari toilet. "Kok lama?" Tanya Haris.

"Kepo." Haris nampak memperhatikan wajah Rein. Ia melihat ada sedikit noda cokelat di bibir Rein dan Haris tau apa penyebabnya.

"Rein, bandel banget sih. Bisa gak sih lo dengerin gue sekali aja? Ya udah, mulai sekarang terserah lo deh mau apa juga. Gue bakalan diem." Rein mengelap noda cokelat di bibirnya itu dengan tisu yang ada di atas meja.

"Haris jangan marah gitu, dong. Gue lagi pengen banget jadi ya udah gue beli ice cream-nya terus makan diem-diem." Haris sama sekali tidak memedulikannya dan ia malah mengaktifkan ponselnya lalu bermain game.

"Hoex …." Haris terkejut dan dia langsung menatap ke arah Rein. Tidak, Rein baik-baik saja. Hanya saja …,

"Sher?" Sheril langsung berlari ke arah toilet dan Jian langsung mengejarnya. Mereka bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba Sheril mual seperti itu? Bastian dan Rein saling menatap satu sama lain karena mereka memiliki pemikiran yang sama. Bastian menggelengkan kepalanya pada Rein mengisyaratkan untuk tetap tenang agar teman-temannya tidak curiga.

Setelah beberapa lama, Sheril dan Jian pun kembali dari toilet tapi dengan kondisi Sheril yang memucat. "Sher, lo gak papa?" Tanya mereka.

"Gue gak papa. Rein, anter gue ke UKS, yu! Sama Jian juga." Akhirnya mereka bertiga langsung pergi ke UKS. Sesampainya di sana, Sheril langsung menangis seraya memeluk erat tubuh Rein.

"Rein, gue hamil … apa yang gue takutin akhirnya terjadi."

"Lo belum cek, Sher. Lo belum bisa nyimpulin semuanya." Rein mencoba untuk menenangkan Sheril agar dia tidak mengambil kesimpulan sebelum diadakannya tindakan

"Gue yakin gue hamil, Rein." Rein mengusap pelan punggung Sheril. Jian nampak frustasi, ia mengacak rambutnya kasar. Ia sungguh menyesali perbuatannya yang telah berlalu itu.

Perlahan Jian bangkit dan meminta Rein untuk memberikan Sheril padanya. Rein melepaskan Sheril dan membiarkan Jian untuk berbicara dengan Sheril.

"Sher, aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf, sumpah aku nyesel karena udah lakuin semuanya sama kamu. Aku janji aku akan tanggung jawab, kamu gak usah khawatir, ya. Tolong jangan nangis lagi, aku gak bisa liatnya." Jian menyeka air mata Sheril dengan kedua ibu jarinya. Ia pun mendekap tubuh gadis itu dan membiarkan ia menguras air matanya di pelukannya agar dia bisa segera tenang.

Rein yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam dan tak tau harus berbuat apa lagi.

• • •

Rein membeli test pack pada saat perjalanan pulang. Rein berbicara pada Haris bahwa dia hanya ingin membeli obat gosok untuk ayahnya. Tidak mungkin juga Rein membicarakan yang sebenarnya pada Haris, itu adalah rahasia besar dan Haris tidak memiliki izin untuk mengetahuinya.

Setelah sampai rumah, Rein menyimpan test pack itu di dalam laci dan dia segera pergi untuk mandi karena dia akan menemui Sheril di rumahnya untuk memberikan itu.

Rendi memasuki kamar Rein saat sang pemilik kamar itu sedang mandi. Pria dewasa itu berniat untuk meminjam gunting milik adiknya karena dia lupa menaruh guntingnya sendiri. Karena pada dasarnya Rein maupun Rendi selalu memasuki kamar satu sama lain tanpa izin, Rendi pun langsung berjalan ke arah laci di mana adiknya itu selalu menyimpan gunting miliknya tersebut.

Saat ia membuka laci, ia terkejut saat menemukan 2 buah test pack di dalamnya. Ia langsung mengambilnya dan nampak memperhatikannya.

"Rein, habis mandi temuin Kakak di bawah!" Di dalam kamar mandi Rein mendengar kakaknya berteriak dari arah luar, dan ia pun segera menyahutnya.

Rendi sempat mengambil ponsel Rein sebelum dia pergi meninggalkan kamar adiknya itu.

Setelah Rein selesai, ia pun langsung turun ke bawah dan ia melihat kakaknya tengah duduk bersama ibunya dan juga … Haris?

Haris terlihat bingung, Rendi menyuruhnya datang dengan cara meneleponnya lewat ponsel milik Rein, tapi sampai saat ini Rendi belum berbicara apa-apa padanya selain terus menatapnya seperti sedang menahan marah.

"Loh, Haris? Ke sini kok gak bilang-bilang?" Rein langsung mengambil posisi duduk di samping Haris tepat di depan kakaknya. Haris tidak menjawab pertanyaan dari Rein, ia pun masih bingung kenapa tiba-tiba dia di suruh ke mari.

"Karena lo berdua udah ada di sini, gue mau nanya sesuatu yang serius sama lo berdua." Rein dan Haris saling menatap satu sama lain lalu kembali fokus pada Rendi.

"Lo berdua udah pernah lakuin apa?"

•To be Continued•