webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 19

Haris melihat ada seseorang yang sedang tidur di ruang tengah. Dengan rasa penasaran Haris langsung menghampiri orang yang sedang tidur memunggunginya itu.

Perlahan Haris membalikkan tubuh orang yang sedang tertidur itu untuk melihat wajahnya. Karena merasa tidurnya terganggu, orang itupun langsung membuka matanya dan menatap Haris.

"Ganggu lo, Bang."

"Lah, kapan lo balik?" Haris menarik paksa orang itu untuk duduk. "Gue baru bangun dan lo seenak jidat narik gue. Pusing pala gue tau gak?!" Haris hanya tertawa mendengarnya.

"Lo kok gak kasih tau gue dulu mau balik?"

"Lo gak penting, makannya gue gak ngasih tau lo." Haris memukul kepala anak itu dengan remot tv yang kebetulan ada di dekatnya saat itu. "Kualat lo jadi adek."

"Lo habis dari mana, Bang?" Pria yang lebih muda itu sedikit mengucek matanya yang baru ia buka itu setelah beberapa lama ia pejamkan.

"Ngapel dong."

"Kek ada yang mau aja sama lo."

"Ada, lah! Mama ke mana?" Tanya Haris karena ia menyadari jika rumahnya saat ini nampak begitu sepi.

"Gak tau, gue tidur."

Gibran Jivano Haikal namanya. Ia merupakan adik kandung dari Haris yang sejak kecil tinggal bersama kakek dan neneknya di Bali. Usianya berbeda 4 tahun dengan Haris dan sekarang ia baru menduduki kelas 1 SMP. Haikal sudah memutuskan untuk kembali tinggal bersama orangtuanya setelah 7 tahun lamanya ia tinggal di Bali dengan kakek dan neneknya.

Haris senang dengan kembalinya adiknya itu. Itu tandanya ia akan memiliki teman bermain di rumahnya. Semenjak Haikal tinggal di Bali, Haris merasa jika dirinya seperti anak tunggal yang selalu kesepian di rumahnya.

Haikal menyusul kakaknya itu ke kamar, tapi ia lihat kamarnya kosong karena sang pemiliknya sedang ada di dalam kamar mandi. Anak itu membaringkan tubuhnya di atas kasur Haris sambil memainkan ponselnya.

Saat ia sedang bermain game di ponselnya, tiba-tiba dia mendengar ada suara ponsel yang berbunyi di atas nakas.

"Bang, HP lo bunyi!"

"Angkat dulu, Kal!" Haikal langsung mengambil ponsel kakaknya itu dan mengangkat teleponnya.

"Hallo."

"Ya, hallo?" Rein merasa asing dengan suara orang yang mengangkat telepon darinya itu. Suara Haris tidak seperti itu, pikirnya.

"Ini sama siapa, ya?" Tanya Rein untuk menghilangkan rasa penasarannya.

"Lah, nanya. Situ yang nelpon situ yang nanya. Gimana, sih?"

"Eh, gue telpon Haris, ya. Kok lo yang angkat? Lo siapa, terus Harisnya mana?" Tanya Rein lagi. Rein rasa orang yang sedang berbicara dengannya di telepon itu lumayan menyebalkan juga.

"Bang Haris lagi mandi."

Rein mengerutkan dahinya, ia pikir Haris sudah selesai sekarang. "Lah, belum beres juga? Eh lo belum jawab. Lo siapanya Haris?"

"Gak usah kepo ya lo jadi cewek!" Setelah itu Haikal langsung memutuskan sambungannya sepihak dan ia kembali melanjutkan permainannya yang sempat terhenti.

Setelah beberapa lama Haris pun keluar dari kamar mandi dengan handuk yang ia lilitkan di pinggangnya. "Siapa yang nelpon?"

"Gak tau, nama kontaknya si sensi terus belakangnya ada emot love." Haris yang sedang mencari-cari pakaiannya di dalam lemari langsung menghentikan kegiatannya itu dan menatap Haikal.

"Cewek gue itu, njir." Haikal tidak memperdulikan hal itu dan ia masih fokus dengan game-nya. "Dia ngomong apa aja?"

"Gak tau, gak jelas."

• • •

Haris baru turun lagi ke bawah pada pukul 7 malam. Ia sudah rapih karena ia akan pergi ke rumah Rein malam ini. Di belakang sana terlihat Haikal yang terus mengikuti Haris saat kakaknya itu menuruni tangga.

"Bang, gue ikut, ya." Haikal menarik baju Haris saat pria itu hendak keluar dari rumah.

"Gak boleh! Gue mau ngapel masa iya lo mau ikut. Gak seru dong, entar lo jadi nyamuk."

"Gue gapapa, kok." Yang lebih muda itu masih terus memaksa kakaknya agar dia mau membawanya.

Haris melepaskan tangan Haikal yang masih menahannya itu. "Mah …! Haikal, nih!"

"Kamu bawa aja kenapa sih, Ris!" Teriak ibunya dari arah kamar. Haikal yang mendengar itu langsung tersenyum menang.

"Ya udah, awas aja kalo lo nakal!"

"Gak nakal kok, janji deh."

Akhirnya Haris mengalah dan dia pun membawa Haikal untuk ikut ke rumah Rein. Haris pikir itu bukan masalah, tidak ada salahnya juga jika ia mengenalkan adiknya itu pada Rein.

Sesampainya di sana, Haris melihat Rein sedang duduk di depan rumah dan itu tandanya ia tidak perlu memencet bel terlebih dahulu untuk memanggilnya.

Rein melihat ada orang asing yang datang bersama Haris, hingga pada saat Haris sudah ada di depannya, ia langsung menanyakan siapa anak yang dia bawa itu.

"Ris, ini siapa?"

"Kenalin, ini Haikal adek gue." Haris sedikit mengusak rambut hitam Haikal.

"Adek?" Rein langsung memperhatikan seorang anak yang dibawa oleh Haris malam ini. Ia gemas pada adiknya Haris karena pipinya yang terlihat bulat sehingga ingin rasanya Rein mencubit pipinya. "Kok gue baru tau lo punya adek?"

"Ya emang dia dibesarin di Bali."

"Eumm … gitu. Jadi dia yang angkat telpon gue tadi sore?" Haris hanya mengangguk mengiyakan. Tadinya Rein ingin memarahinya karena telah berbicara tidak sopan pada yang lebih tua. Tapi, saat ia melihat langsung, ia seakan terhipnotis oleh anak ini. Rein sangat menyukainya.

"Jadi ini si sensi?" Haris dan Rein langsung melihat ke arah Haikal. "Ha? Kok si sensi, sih?" Tanya Rein.

"Iya, Kak. Bang Haris namain kontak Kakak si sensi." Rein mendengus sebal dan langsung menatap tajam ke arah Haris.

"Ohh … si sensi, ya? Gada bagus-bagusnya ya ngasih nama kontaknya. Oke fiks gue juga bakal ganti nama kontak lo!" Saat Rein hendak menggantinya, Haris langsung merebut ponsel Rein.

"Biar gue aja yang ganti." Haris langsung mengganti nama kontaknya dan memberikan kembali ponsel itu kepada pemiliknya.

My Husband <3

"Euww! Gak banget. Gue ganti, ah."

"Jangan! Gue juga mau ganti, nih." Haris langsung mengganti nama kontak Rein di ponselnya juga lalu menunjukannya pada Rein. "Adil, kan?" Tanyanya.

"Iya, sih. Tapi kaya ada geli-gelinya gitu loh, Ris."

"Belum gue apa-apain kok udah geli."

"Heh!"

"Becanda. Siapa tau jadi doa yekan?" Haris menaik turunkan halisnya sedangkan Rein hanya menatapnya aneh. "Ihh."

Haikal dari tadi hanya menyimak pasangan aneh di depannya itu. Ia terdiam antara paham dan tidak paham. "Oh iya, Rein. Tadi siang mau apa lo telpon?"

"Ya mau ngobrol aja. Kenapa? Gak boleh? Ya udah deh gue gak bakalan pernah nelpon lo lagi."

Haris menyenggol pundak Haikal yang ada di sampingnya. "Lo liatkan? Dia emang sensian ceweknya."

Rein mendengar apa yang dibisikkan Haris pada Haikal dan ia langsung menarik kuping Haris kasar. "Gue gak sensi, ya!!!"

"Ya udah jangan marah-marah mulu! Ngegas mulu dah perasaan." Rein langsung merapatkan duduknya dengan Haris dan tak lupa dengan senyuman manisnya yang ia keluarkan. "Iya deh. Maaf ya, Sayang. Aku marah-marah mulu sama kamu."

"Ngeri."

"Ihhh …!" Rein menjauhkan posisinya dari Haris dan mendorongnya kasar. "Ya udah, sih! Gak papa gue sensian, lo nya juga serba salah. Gue bicaranya lembut salah, gue marah-marah tambah salah. Pusing," ketus Rein.

"Itu tandanya kalian gak cocok. Kak Rein sama Haikal aja ayo sini! Haikal lebih ganteng dari bang Haris, kok." Anak itu terkekeh saat melihat ekspresi kakaknya yang mulai kesal karena ulahnya.

"Cakep ye mulut lo. Bocil gak boleh pacaran! Lo masih suka minum susu pakek dot bayi jangan sok keras! Ngesok mau nikung gue." Haikal menggidikan bahunya tidak peduli dan ia memberikan tatapan genitnya pada Rein.

"Kak Rein mau, kan?"

"Mau, dong. Kamu kan lucu banget. Aku gemes jadinya." Haikal memberikan wink pada Haris seakan dia berkata 'gue menang, lo kalah'.

Haris berdecih menanggapinya. "Mauan sama tante-tante." Haris tertawa setelah ia mengatakan itu yang membuat Rein dan Haikal saling menatap satu sama lain dengan senyum mereka yang tampak meremehkan.

"Haikal peduli, gak?" Tanya Rein dengan nada mengejek.

"Enggak, Kak. Bagi cinta, usia itu bukan masalah." Mereka berdua langsung tertawa dan Haris semakin kesal dibuatnya. Ia membuang napasnya kasar, adiknya ini benar-benar dewasa sebelum waktunya. Entah dengan siapa lah ia bergaul selama ia tinggal di Bali.

"Ya udah gue pulang."

"Ih jangan!" Rein menarik Haris untuk duduk kembali. "Gak boleh ngambekan gitu, gak baik. Becanda elah tadi kita."

'Ceklek.'

Mereka bertiga langsung melihat ke arah pintu depan yang terbuka tiba-tiba. "Lah, cowok lo ada 2?"

"Enak aja, Bang. Dia adek gue. Emang dasar nih bocah mau ikut aja."

"Ohh … gak baik lo berdua pacaran di depan anak-anak. Dek, mending ikut kak Rendi ke dalam, yu! Main PS." Haikal nampak ragu-ragu untuk menerimanya. Tapi akhirnya Haikal memutuskan untuk ikut bersama Rendi ke dalam, ia rasa cukup membosankan juga jika ia harus terus duduk bersama mereka berdua.

Setelah Haikal dan Rendi masuk, Rein semakin merapatkan tubuhnya dengan Haris. Perlahan ia lingkarkan tangannya pada pinggang Haris yang ada di sampingnya itu.

"Haris …."

"Iya?"

"Pengen manja-manjaan dong." Haris otomatis menatap wajah gadis itu. Ia dapat melihat senyum manis Rein kala ia memandangnya, dan itu semua berhasil membuatnya ikut tersenyum pula.

"Eh gak boleh, entar kebablasan loh kaya Jian sama Sheril."

"Haris ga boleh gitu, ah! Gak suka." Rein menjauhkan tubuhnya dari Haris. Pria itu terkekeh dan ia menarik Rein untuk bersandar di bahunya.

"Lo tuh cewek yang galak tapi sekalinya lo manja, lo gemesin, ya." Rein memukul pelan dada Haris. "Baru tau? Gue kan emang bikin gemes orangnya."

"Cakep ye PD kek gitu." Haris sedikit menyentil dahi Rein.

"Daripada minder. Haris, boleh minta sesuatu gak?" Haris hanya meresponnya dengan deheman. "Mau cium, dong."

Haris terkejut sebenarnya, tapi dia mencoba untuk bersikap biasa saja. "Cium di mana, hm?"

Rein menunjuk pada pipi kanannya. "Di sini." Haris mengangguk lalu perlahan ia mendekatkan bibirnya pada wajah Rein dan…,

'Chu'

Rein langsung menatap Haris sedangkan Haris hanya menggelengkan kepalanya.

Haris sengaja menangkupkan tangannya pada pipi Rein untuk menjadi penghalang. Jadi, sebenarnya Haris hanya mencium punggung tangannya sendiri dengan posisinya yang berada di pipi Rein. Gadis itu hanya tersenyum, ternyata senakal apapun Haris tapi dia tetap ingin menjaga kehormatan wanita yang belum pasti menjadi miliknya.

"Sabar dulu, ya? Kalo udah resmi bakal gue cium semuanya yang ada sama lo." Haris terkekeh sedangkan Rein terdiam mencoba untuk mencerna ucapan Haris. Setelah terlintas sesuatu yang berbau negatif dalam pikirannya, ia langsung memukul dada bidang Haris dan sedikit menjambak rambutnya.

"Kok gue jadi mikir kotor sih, anjir? Lo ngomongnya jangan gitu dong, ih! Jadi kan gue ngebayanginnya yang iya iya."

Rein melihat Haris menyeringai dengan tatapan yang benar-benar Rein tidak ketahui maksudnya apa. Tapi yang jelas, itu berhasil membuat Rein takut menatapnya. "J-jangan gitu, dong! Takut."

Haris semakin mendekatkan tubuhnya pada Rein yang semakin membuat gadis itu benar-benar was-was saat ini. "Haris jangan becanda, ah! Muka lo kek om om pedo tau, gak?! Ihhh gak suka sumpah."

Rein mencoba untuk mendorong tubuh Haris agar pria itu menjauh darinya. Tapi, itu semua gagal, usaha Rein seakan sia-sia saja. Haris sama sekali tak dapat dijauhkan.

Haris menyelipkan rambut Rein ke belakang telinganya dan ia mendekatkan bibirnya ke sana dan berbisik.

"Rein, takut ya? Hahahaha …." Haris menjauhkan tubuhnya dari Rein dan ia langsung tertawa terbahak-bahak ketika ia melihat wajah Rein yang benar-benar terlihat ketakutan. Sedangkan gadis itu hanya mencoba untuk mengatur napasnya agar emosinya tidak meledak saat ini. Tapi … sepertinya ia gagal, ia bermaksud untuk menelan Haris setelah ini.

"HARIS BEGO!!!"

•To Be Continued•