webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 16

1 bulan pun telah berlalu, hubungan Sheril dan Jian tak kunjung membaik juga. Teman-temannya heran kecuali Rein dan Bastian yang memang dasarnya telah mengetahui masalahnya apa. Mereka berdua menutup mulut rapat-rapat meski teman-temannya yang lain mendesak mereka untuk memberitahu pada mereka juga.

Persahabatan mereka sempat terpecah karena adanya rasa tak dianggap sebagai seorang sahabat. Namun karena adanya pemikiran dewasa dari Bastian, ia pun mampu meluluhkan yang lainnya dan mereka semua akhirnya dapat kembali menjadi seperti semula.

Sheril menjadi sangat pendiam dan pemarah sedangkan Jian menjadi seseorang yang sering menyendiri dan melamun. Jian kebingungan memikirkan cara bagaimana agar dia dan Sheril bisa seperti dulu lagi. Sheril selalu saja nampak menghindar darinya.

"Rein."

"Hm?" Haris membuka sebuah ice cream dan menyimpannya di hadapan Rein. Rein tersenyum dan perlahan ia mulai menyendokkan ice cream itu dan memasukkannya ke mulutnya.

"Jangan baca novel terus, dong! Kan guenya jadi didiemin." Haris memasang wajah tak sukanya ketika ia menyadari belakangan ini Rein selalu sibuk dengan buku novelnya.

Melihat tidak ada sedikit pun responan dari Rein, Haris pun merebut novel itu secara paksa dari Rein. Rein memutar bola matanya malas dan ia menopang dagunya lalu fokus pada Haris yang ada di depannya.

"Mau bicara apa, Sayang?" Haris membuang napas kasar lalu memasukan novel milik Rein ke dalam tas miliknya. "Kurbel tau gak gue tuh belakangan ini," ketus Haris.

Rein tertawa sebelum ia kembali memasukkan sesendok ice cream ke mulutnya. "Mmm … gitu?"

"Kurangin baca novelnya dong, Rein. Kalo mau ngebucin kan ada gue. Baper kok sama buku." Rein tersenyum seadanya. Jadi … Haris cemburu pada novel?

"Kan lo orangnya paling gak jago ngebucin. Lo itu pemegang prinsip pacaran datar tau gak? Absurd. Udah ah sini balikin novel gue!"

Bukannya mengembalikannya tapi Haris malah menarik kasar Rein ke arah ruang olahraga. Tentu saja tempat itu sangat sepi, apalagi setelah jam pulang seperti ini.

Haris mendorong Rein ke tembok dan mencengkram lengannya dengan sangat kuat sehingga membuat Rein meringis kesakitan.

"Ayo lakuin!" Rein menatap bingung kedua mata Haris di hadapannya. "Lakuin apa?"

Haris melepaskan tangan Rein dan ia merentangkan kedua tangannya di hadapan gadis itu. "Lakuin apapun yang lo mau, asalkan lo mau sedikit berhenti baca-baca novel yang bisa bikin perasaan lo melayang kaya gitu. Lo boleh lakuin adegan yang ada di novel romance yang lo baca itu sama gue asal lo mau perhatiin gue lagi. Ayo, Rein!"

Rein membuang mukanya seraya sedikit tertawa. Perlahan ia mendekati Haris dan menariknya untuk mendorongnya ke tembok. "Oke, awas aja kalo nolak." Haris bersusah payah menelan salivanya saat Rein semakin mendekatkan wajahnya padanya.

Karena Rein memiliki tubuh yang mungil, jadi ia harus menjinjitkan kakinya agar wajahnya bisa setara dengan wajah Haris.

Karena Haris terus menebak-nebak apa yang akan dilakukan Rein padanya, ia pun segera memejamkan matanya. Tapi saat mata itu telah terpejam …,

"Kalian sedang apa?" Mereka berdua terkejut saat tiba-tiba ada suara seseorang yang mengagetkan mereka.

"Euleuh euleuh … kalian teh mau ngapain? Jangan atuh masih kecil mah jangan main cium-ciuman dulu, pamali. Sekolah dulu yang bener! Kalo udah sah mah sok aja." Rein menatap malas ke arah OB sekolah mereka–Mang Eko.

"Mang Eko … kita tuh bukan mau ciuman ya, maaf," sangkal Rein.

"Lah, terus ai tadi apa?" Mang Eko masih dengan logat bahasa daerahnya. Tidak mau menanggapi mang Eko, Rein pun lebih memilih untuk mengabaikannya dengan cara menatap apapun yang ada di sekitarnya saat ini.

"Iya, Rein. Lo mau apa sama gue tadi kalo bukan mau nyium?"

"I-idih, pemikiran lo sama ya, sama Mang Eko." Rein merebut paksa tas Haris dan membawa novel miliknya yang tadi Haris rebut darinya. Ia nampak membuka halamannya dan menunjukan halaman itu pada Haris agar dia membacanya.

Haris tercengang saat membacanya. Jadi, tadi Rein hanya ingin meniup rambut Haris saja seperti yang dilakukan tokoh utamanya dalam novel.

"Di sini dituliskan bahwa si cewek niup rambut cowoknya yang udah gondrong. Lo juga gondrong, kan? Yaudah gue juga mau lo potong rambut, dan lo harus nurut aja sama permintaan gue kek pemeran cowoknya di sini. Bandel banget udah dibilangin beberapa kali juga."

"Tapi ya gak usah ditiup juga dong, Rein. Lo kira gue kesurupan, apa?" Rein hanya terkekeh dan membuat Haris kesal padanya. Sebenarnya bukan itu yang tadinya akan dilakukan oleh Rein. Ya, dugaan Haris dan mang Eko memang benar. Tapi berhubung mereka telah tertangkap basah, jadi Rein membatalkan niatnya itu dan mencari alasan yang lain.

"Iya ya udah becanda kali, jangan ngambek gitu dong, Masnya."

"Putus kita, Rein."

"Ihhh … Haris …! Gara-gara Mang Eko, sih." Rein langsung menyusul Haris yang meninggalkannya.

"Kok jadi Mang Eko yang disalahin sih, Neng?"

• • •

Haris benar-benar kesal pada Rein. Tapi Rein sama sekali tidak takut dengan itu, malahan dia merasa sangat gemas melihatnya.

Saat sore harinya, Rein memberanikan dirinya untuk pergi mengunjungi rumah Haris walaupun ia tak siap sebenarnya jika harus bertemu dengan ibunya Haris nantinya.

Rein memencet ragu-ragu bel rumah Haris. Saat ia telah berhasil menekannya, perasaannya langsung tidak karuan saat dia mendengar ada orang dalam yang mendekat ke arah pintu utama.

Tak sampai 1 menit pintu itupun langsung terbuka dan menampakkan wanita paruh baya yang terlihat menatapnya sedikit heran. "Hallo, Tante." Rein menyalami ibu dari Haris.

"Hallo. Kamu siapa?"

"Perkenalkan nama saya Rein, Tante." Rein memberikan senyum ramahnya pada ibunya Haris.

"Oh, Rein. Pacarnya Haris?" Rein terkejut saat mendengarnya. Haruskah dia berkata jujur saja?

"I-iya, Tante." Rein seketika membeku ketika ia melihat raut wajah dari ibunya Haris yang tiba-tiba berubah. Dalam hati Rein ia bertanya-tanya apakah ibunya Haris tidak menyukai sehingga ia memberikan tatapan seperti itu?

"Kok mau sih sama dia?" Pertanyaan yang tak terduga keluar begitu saja dari mulut ibunya Haris. Bibir Rein tersenyum sedangkan hatinya sudah tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Siapa, Mah?" Suara pria dewasa tiba-tiba terdengar dari arah belakang ibunya Haris. "Ini, Pah. Pacarnya Haris."

Ayahnya Haris langsung keluar dan melihat Rein yang berdiri di depan. "Hallo, Om. Saya Rein."

"Haris kan ganteng, wajar aja pacarnya juga cantik." Rein hanya tersenyum kikuk menanggapinya. "Kamu mau ketemu sama Haris? Kamu gak malu? Masa cewek yang nyamperin cowok."

"Bu-bukan begitu, Om. Ini pertama kalinya Rein ke sini karena memang biasanya Haris yang datang ke rumah Rein. Tapi, Haris lagi ngambek sama Rein hari ini. Jadi ya udah, Rein yang nyamperin dia sekarang buat minta maaf."

"Oh, gitu. Ya udah bawa masuk aja, Mah!" Akhirnya Rein dibawa masuk ke dalam oleh orangtua Haris dan dipersilakan untuk duduk selama menunggu Haris datang.

"Rein tunggu sebentar, ya. Tante mau panggilin Haris dulu."

"Iya, Tante."

Tak beberapa lama kemudian Haris pun datang juga dan langsung duduk di samping Rein. "Mau ngapain sih ke sini?" Rein menatap Haris tak percaya dan ia sedikit menampar lengan Haris.

"Ihh kok jutek gitu, sih? Jangan lama-lama dong ngambeknya." Rein memegang bahu Haris tapi setelah itu tangannya langsung diturunkan oleh Haris. "Kalo gak mau maafin, gue nangis nih."

"Ya udah nangis aja! Nangis sekenceng mungkin. Gue gak peduli," ucap Haris dingin dan ia juga sama sekali tidak menatap wajah gadis yang kini ada di sampingnya itu.

"Kok lo jahat sih, Ris?"

"Emang." Rein mengerucutkan bibirnya dan ia mulai menutupi wajahnya dengan tangan dan perlahan suara isakannya mulai terdengar. "Nangis aja, Rein! Nangis sekenceng-kencengnya! Gue beneran udah gak peduli."

Mendengar itu Rein langsung melakukan apa yang Haris minta. Ya, Rein mengencangkan suara tangisnya. Tapi ketika Rein menangis dengan suara kencangnya, Haris malah menjadi panik dibuatnya.

"Rein, jangan nangis dong." Haris merapatkan duduknya dengan Rein lalu menenangkannya. "Rein, udah dong nanti mama sama papa denger." Rein mendorong Haris agar menjauh darinya.

"Loh, kenapa nangis?" Tanya ibunya Haris yang saat itu sedang membawakan minum untuk Rein. "Enggak, Mah."

"Nggak apanya? Jelas-jelas Rein nangis. Kamu itu jangan kasar sama cewek, gak baik!" Haris menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia menjadi yang disalahkan di sini walau sebagiannya memang benar.

"Iya, masa jagoannya Papa nyakitin cewek. Malu dong sama yang di bawah, Ris," timpal ayahnya Haris yang baru keluar dari kamarnya. "Papa apaan, sih?"

Rein menyudahi tangisannya dan mengelap air matanya yang tersisa. "Ayo, Rein, bilang sama Tante! Haris ngapain kamu? Biar Tante pukul pakek rotan sekalian."

Haris langsung menutup mulut Rein dengan tangannya lalu membawa Rein ke luar. Jika sampai Rein mengatakan jika ia menangis karena Haris tidak mau memaafkannya karena masalah novel, ia akan malu sekali. Itu terdengar sangat konyol jadi Haris cepat-cepat membawa Rein ke depan.

"Ya udah, gue bakal maafin lo. Asal …?"

"Gak baca novel lagi kalo lagi sama lo," jawab Rein mantap. Haris tersenyum dan mengusak rambut Rein.

"Pinter. Udah dong jangan nangis lagi! Serius amat." Haris mengelap air mata Rein yang masih terlihat basah di pipinya.

"Ya udah sih, gue cuma akting doang kok tadi." Rein tertawa puas sedangkan Haris hanya bisa menghela napasnya pasrah saja. "Cukur rambut, yu! Gue anter deh sekarang."

"Aduh, Rein. Udah bagus kaya gini. Tuh, liat!" Haris memainkan rambut gondrongnya di depan Rein.

"Iya bagus banget. Kaya enak aja gitu buat dijambak." Haris was-was dan langsung memegang tangan Rein. "Jangan jambak dong, sakit."

"Ya udah cukur! Gak malu ditegur mulu sama pihak sekolah?"

"Halah, rambut gak ngaruh buat pembelajaran di sekolah." Haris menggidikan bahunya lalu ia mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang ada di teras rumah.

"Ya emang gak ngaruh. Tapi ya buat kedisiplinanlah, masa anak sekolah rambutnya kaya singa," ucap Rein seraya ia berjalan mendekat ke arah Haris dan langsung menjambak kasar rambut gondrong itu.

"Ahk! Sakit anjir. Jahat banget mulut lo, Rein. Kok singa, sih?" Haris kembali merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ulah tangan usil Rein tadi

"Ya terus apa? Kadalkan gak ada rambutnya. Udah yu cukur! Nanti gue kasih lo rahasia, deh." Haris mengernyitkan dahinya heran. Rein menyembunyikan sesuatu darinya?

"Apa?" Tanya Haris pada akhirnya.

"Tapi janji dulu habis ini lo mau cukur!" Haris nampak berpikir untuk mempertimbangkannya. Haris sangat menyayangi rambut gondrongnya itu, tapi ia juga penasaran dengan apa yang dimaksud Rein tentang rahasianya itu.

"Ya udah, deh. Ayo bilang apa rahasianya!" Rein menyunggingkan senyumnya dan ia mengambil posisi jongkok di depan Haris yang sedang duduk di atas kursi itu.

"Sebenernya …,"

•To be Continued•