webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 15

"Permisi …." Haris memasukkan kepalanya ke dalam dan dia melihat ayah dan ibunya Bastian yang sedang menonton TV di ruang tengah.

"Haris? Sini masuk, Sayang! Bastiannya lagi di kamar tuh sama Jian. Kamu susul aja, ya." Haris tersenyum dan ia mulai masuk ke dalam.

"Oke makasih, Tante. Permisi, Om" Haris pun menaiki tangga yang menuju ke arah kamar Bastian. Setelah ia sampai, ia melihat Bastian dan Jian seperti sedang membicarakan hal yang serius.

Setelah mereka menyadari kehadiran Haris, mereka pun sudah tak membicarakan hal yang serius itu lagi. "Pada ngomongin apa, nih? Serius amat."

"Kagak juga, sih," jawab Bastian.

"Oh ya, Ji. Sheril lagi ada di rumah Rein, tuh. Katanya dia nangis pas datang ke rumah Rein. Lo berdua lagi berantem, ya?"

Jian menganggukkan kepalanya pertanda iya. "Biasalah," jawabnya.

Sedangkan itu di rumah Rein. Sheril kembali menangis setelah dia menceritakan masalahnya pada Rein. Ada kekesalan dan kekecewaan di benak Rein sebenarnya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang karena dia tidak mau Sheril semakin memikirkan semuanya.

"Gue harus bilang apa sama orangtua gue kalo hal itu sampe terjadi?"

"Sher, lo jangan mikir sejauh itu dulu. Emang bagus juga kalo lo sadar itu adalah dosa buat kalian tapi gak ada salahnya juga kalo lo berdua berharap gak bakal cukup satu kali. Lo bilang baru sebentar, kan? Lo berdoa aja semoga semuanya gak terjadi dengan sebegitu mudahnya. Lo harus jadiin ini sebagai pelajaran. Cewek itu mahal, Sher. Kita harus pinter jaga harga diri kita. Sebaik apapun Jian di mata lo, dia tetep cowok, Sher. Dia punya nafsu. Lo harus bisa jaga cara berpakaian lo di depan siapa pun itu. Apalagi di depan Jian, status kalian cuma pacaran dan pacaran itu artinya belum sah untuk melakukan hal-hal yang serius. Gue harap lo ngerti omongan gue ya, Sher."

Sheril kembali mengeluarkan isak tangisnya dan ia menatap Rein dengan penuh harap dengan air matanya yang kembali turun.

"Gue mohon jangan kasih tau siapa-siapa ya, Rein. Termasuk Erin, Dara, dan yang lainnya. Gue takut kalian semua bakal jauhin gue sama Jian."

Rein menggelengkan kepalanya. "Gue janji gue bakal simpan rahasia ini selamanya. Dan andaipun mereka tahu, gue yakin kok mereka gak bakal ninggalin lo. Kita semua kan sahabat." Rein menghapus air mata Sheril yang kembali terjatuh itu dan ia mengusap-usap punggung Sheril agar sahabatnya itu dapat segera mendapatkan ketenangannya kembali.

"Dan satu lagi pesen dari gue. Lo jangan berduaan di tempat sepi sama Jian. Setan itu tugasnya ngegoda manusia, loh. Tadi siang itu lo berdua berhasil kehasut sama setan."

"Iya, Rein. Gue bakal selalu inget pesan lo. Makasih ya lo udah buat gue sadar dan nyemangatin. Tetep jadi sahabat gue ya, Rein. Lo jangan benci gue walau lo tahu gue udah gak suci lagi."

"Udah ah, jangan ngomong gitu! Gue akan tetep jadi sahabat lo, kok. Saling mengingatkan itu adalah kewajiban kita, lo juga sering kok nasehatin gue pas gue salah dan gue juga sangat berterimakasih buat soal itu." Rein tersenyum dan mereka pun saling memeluk satu sama lain.

"Sumpah gue lega, Rein."

• • •

Haris dan Bastian bermain PS berdua sedangkan Jian nampak terus melamun dan melamun dari tadi. "Udah, Ji. Jangan dipikirin terus! Bagus kalo lo sadar itu salah. Tapi jangan sampe bikin lo depresi! Karena lo udah sadar itu gak baik, berarti lo harus jauhin hal itu mulai dari sekarang! Lo jangan pernah lagi lakuin hal itu kalo belum resmi!"

Haris yang posisinya tidak tahu apa-apa hanya bisa terdiam dan menyimak saja. Dia tidak bersikeras untuk mengetahuinya juga karena dia mengerti mungkin saja itu adalah sebuah privasi yang sangat besar dan dia adalah salah satu orang yang tidak memiliki izin untuk mengetahuinya juga.

"Gue emang gak tau apa masalah lo. Tapi gue cuma mau ngomong kalo lo harus tetep semangat. Apapun masalah lo dan sebesar apapun itu, gue harap itu gak akan jadi pelumpuh buat lo. Tuhan gak akan ngasih cobaan sama lo kalo lo gak bakal kuat ngadepinnya." Haris menimpalinya dengan nasihat yang ingin ia berikan pada Jian. Dia juga sahabatnya, meskipun dia tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak ada salahnya juga dia ikut menyemangati sahabatnya itu.

"Thanks ya, Bro."

Karena malam sudah larut, Sheril pun akhirnya menginap saja di rumah Rein. Andaipun dia pulang, di rumahnya tidak akan ada siapa-siapa karena ibu dan ayahnya pergi ke Bandung.

Ketika Sheril sudah tertidur, Rein menerima telepon dari Haris. Tidak ada pembicaraan yang serius, Rein dan Haris hanya bercanda selama melakukan panggilan. Karena Jian mengetahui jika Sheril sedang ada bersama Rein sekarang, Jian meminta tolong pada Rein untuk memotret Sheril yang sudah tertidur itu dan segera mengirimkannya pada Jian.

Jian tersenyum dengan tatapan sendu menatap poto Sheril di dalam ponselnya itu. Dia masih terus dihantui oleh rasa bersalahnya karena telah membuat 'gadisnya' itu tak lagi sama. Jian merindukan Sheril karena setelah kejadian tadi siang, mereka belum berbicara apa-apa lagi.

"Lo main juga sini! Si Haris bukan tandingan gue, kalah mulu dia dari tadi. Noob emang." Bastian mengajak Jian untuk ikut bermain juga. Ini adalah ke seberapa kalinya ia mengajaknya tapi Jian terus menolaknya.

"Bukan noob gue tuh." Haris melakukan pembelaan terhadap dirinya karena ia tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Bastian.

"Terus apa?"

"Mengalah."

"Halah, begayaan lu begitu."

"Udah malem, nih." Haris menyimpan joystick-nya. "Bobok yu, Om!" Bantal tengkorak mendarat tepat mengenai kepala Haris dan Bastian adalah pelakunya.

"Gak boleh gitu, Ris! Dosa."

"Tau jokes gak lo?" Haris membaringkan tubuhnya dan dia memastikan Rein sudah tidur atau belum dengan cara mengiriminya pesan. Jika Rein tidak membalas, berarti ia sudah pergi tidur. 

Keesokan paginya. Saat Rein membuka matanya, ia tidak melihat Sheril ada di sampingnya. Rein mencoba mencari ponselnya dan setelah ia temukan, ia melihat ada pesan dari Sheril.

Sheril: Rein. Gue pulang, ya. Gue gak akan sekolah dulu hari ini.

Rein melihat pesan itu dikirim oleh Sheril pada pukul 4 pagi. Itu berarti, Sheril sudah cukup lama meninggalkan rumah Rein. Rein sedikit memijat pelipisnya dan ia merasa khawatir pada Sheril saat ini.

• • •

Haris menatap Rein bingung karena dari tadi gadis itu malah melamun dan belum juga naik ke atas motor.

"Rein?"

"Ya?" Rein sedikit terkejut saat Haris memanggil namanya seraya menyentuh bahunya.

"Kok malah diem, sih? Sakit?" Rein menahan tangan Haris yang hendak menyentuh dahinya. "Gue gak sakit, kok. Yaudah, kita berangkat sekarang."

Mereka berdua langsung pergi menuju sekolah. Haris menjemput Rein lebih siang dari biasanya karena semalam dia menginap di rumah Bastian, jadi dia sedikit terlambat.

"Kalo ada masalah bilang aja ke gue, Rein," ucap Haris dengan suaranya yang sedikit ia keraskan karena memang mereka masih ada dalam perjalanan. "Gue gak papa, Ris. Lo tenang aja."

Setelah mereka sampai di sekolah, Jian meminta izin pada Haris untuk berbicara dengan Rein sebentar. Haris tidak mempermasalahkan itu, ia pun pergi ke kelas lebih dulu.

"Rein, Sheril bicara apa aja sama lo semalam?"

•To be Continued•