webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 14

Jian dan Sheril berlari ke arah teras rumah. Saat mereka masih berada di jalan yang sebentar lagi sampai di rumah Sheril, tiba-tiba saja hujan turun dengan begitu deras. Dan akhirnya seragam mereka berduapun basah.

"Masuk aja dulu, yu!" Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam rumah. Sheril memanggil-manggil ibunya tapi tidak ada sedikitpun suara ibunya itu menyahut.

"Mama ke mana, ya?"

"Mana aku tau."

Sheril merogoh ponselnya dan menghubungi ibunya. Setelah sang ibu mengangkatnya, Sheril pun menanyakan ke mana ibunya itu pergi. Sheril menutup teleponnya setelah ia puas dengan jawaban ibunya di telepon tadi.

"Mama pergi ke Bandung, katanya bibi aku kecelakaan dan sekarang dia lagi koma." Sheril membuka almameternya yang basah. "Ke atas, yu! Handuk aku di atas."

Jian hanya mengangguk menyetujuinya, setelah itu mereka pun langsung naik ke lantai 2. Sheril memberikan sebuah handuk ke Jian.

"Kamu ganti baju juga, ya. Nanti kamu bisa masuk angin gara-gara bajunya basah." Jian menerima handuk itu ragu-ragu karena ia pikir, jika ia melepaskan seragamnya, ia akan memakai apa nantinya?

"Aku ganti pakek apa?"

"Pakek hoodie aku aja yang oversize, pasti muat kok."

"Ya udah." Sheril memberikan hoodienya dan menyuruh Jian untuk mengganti bajunya di kamar mandi. Setelah dia selesai dengan kegiatannya, Jian pun segera keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan celana pendek selutut ke bawahnya karena memang itu bagian yang tidak terbasahi oleh air hujan.

Jian melihat Sheril yang tengah mengikat rambutnya yang panjang itu di depan cermin.

"Sher." Sheril langsung melihat ke arah sumber suara. "Ya?"

"Berarti kamu juga bakal pergi ke Bandung."

Sheril menyimpan sisirnya lalu duduk di samping Jian yang kala itu sedang duduk di sofa kamarnya. "Aku berangkat sama papa paling, nanti malem. Papa kan pulangnya malem."

"Ohh, gitu."

Hening beberapa saat dan hanya ada suara hujan dan petir yang saling bersusulan di atas langit sana. "Kok makin gede, sih, hujannya?" Tanya Sheril seraya ia melihat ke arah jendela besar di kamarnya.

Jian menatap Sheril dari atas sampai bawah. "Kamu dingin gak, sih? Bajunya tipis gitu." Sheril langsung melihat ke arah baju yang sedang ia kenakan.

"Emang keliatan dalemnya?"

"Dikit."

Sedangkan itu di lain tempat, Haris dan Rein tengah berteduh di depan minimarket karena hujan turun saat mereka baru setengah perjalanan.

"Gara-gara lo sih, kan hujan jadinya. Kalo kita gak ke perpustakaan dulu, kita pasti udah sampe rumah sekarang."

"Lah, kok gue sih? Lo tadi pagi mandi sih, makannya hujan." Rein mendelik kesal ke arah Haris.

"Apa hubungannya antara hujan dan gue mandi tadi pagi, ha?"

"Ih! Au dah." Rein menggidikan bahunya dan ia kembali melipat tangannya di dada untuk mengurangi rasa dingin di tubuhnya.

"Gak jelas banget jadi cewek."

"Lo kira gue blur, gitu?!"

Karena Rein merasa tidak nyaman dengan luarannya yang basah, ia pun melepaskan almameternya yang sudah basah itu.

"Eh eh ngapain itu buka-bukaan?" Haris langsung menghalangi tubuh Rein dan terlihat sedikit panik saat gadis itu membuka almamaternya.

"Ihhh …! Apa, sih? Jangan deket-deket!" Rein mendorong Haris agar pria itu sedikit menjauh darinya.

"Gue tuh mau ngelindungin lo tau gak? Seragam lo basah jadi tali lo keliatan. Ngapain dibuka almameternya?" Haris masih terus saja menutupi area punggung Rein dengan tubuhnya agar tidak ada orang lain melihat sesuatu yang seharusnya Rein sembunyikan.

"Tali apa?" Rein mengerjapkan matanya heran sedangkan Haris hanya membuang napasnya.

"Tali pocong lo keliatan. Ahk!" Haris memekik saat Rein menjewer kasar telinganya.

"Sembarangan ya, lo!"

"Sok polos sih lo jadi cewek. Tali surga lo keterawang tau gak?!" Haris mengeluarkan almameter miliknya yang ia simpan di tasnya kemudian ia pakaikan almameter itu pada pundak Rein.

"Jangan buka-bukaan di depan umun, Rein. Kalo di depan gue doang gak papa."

"Otak lo ya! Gue tampol nih baru tau rasa." Rein mengambil ancang-ancang ingin menampar Haris dengan tangan kanannya.

"Becanda, Cantik. Dingin gak? Kalo dingin cogan peluk deh sini!"

"Idih, ogah!" Tolak Rein seraya ia menepis tangan Haris yang menyentuh pundaknya.

"Bisa aja nolaknya. Padahal dalam hatinya mau banget itu." Rein menatap tajam ke arah Haris.

"Salah ngomongkan gue jadinya. Hadeuhh…."

• • •

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Saat Rein sedang menonton tv bersama keluarganya, tiba-tiba ada seseorang yang memencet bel rumahnya.

"Bukain sana, Dek!" Titah Rendi. Gadis itupun langsung berjalan menuju ke arah pintu depan untuk membukanya.

Saat pintu terbuka, nampaklah Sheril yang sedang berdiri di depan pintu. "Sher, lo kenapa?"

Rein memegang bahu Sheril karena dia melihat Sheril menangis. Bukannya menjawab tapi tangisan Sheril malah semakin kencang dan membuat ayah, ibu, dan kakaknya Rein langsung melihatnya keluar.

"Ada apa ini? Rein, temen lo kenapa?" Tanya Rendi dan Rein menggelengkan kepalanya menandakan bahwa tidak ada apa-apa. "Mending lo masuk dulu, yu!"

Rein mengajak Sheril untuk masuk dan membawanya ke kamarnya. Rein mengunci pintu kamar dan mengajak Sheril untuk duduk di sofa.

"Lo kenapa? Kok lo nangis, sih? Ayo cerita sama gue!" Dengan keadaanya yang masih terisak, Sheril pun berusaha untuk membuka suaranya.

"Rein, gu-gue malu, gue takut."

"Malu kenapa? Lo ceritanya pelan-pelan aja, ya. Gue dengerin lo kok," ucap Rein masih dengan wajah khawatirnya. Bagaimana tidak? Sheril tiba-tiba saja datang ke rumahnya malam-malam dalam keadaan menangis seperti ini.

"Rein, gue sama Jian."

"Kenapa dengan Jian? Kalian berdua berantem?"

"L-lo jangan be-benci gue ya kalo udah tau so-soal ini." Sheril menatap Rein dengan penuh harap dan masih dengan air matanya yang terus berurai.

"Iya, lo ngomong aja." Sheril berhenti berbicara dan masih meneruskan tangisannya. "Ya udah, lo nangis aja dulu. Kalo udah tenang, baru lo cerita." Rein menepuk-nepuk punggung Sheril untuk menenangkannya.

'Drrrtt … Drrrtt …'

Rein menatap ponselnya yang bergetar di atas nakas. Saat dia lihat ternyata Haris yang menelponnya tersebut.

Haris mengatakan bahwa dia ada di depan rumah Rein saat ini. Rein pun pergi menemuinya sebentar karena kasihan juga jika ia tidak menemuinya sama sekali. Rein meminta izin pada Sheril untuk meninggalkannya sebentar dan Sheril tidak mempermasalahkan hal itu.

"Rein,"

"Kok gak bilang-bilang kalo mau ke sini, sih?"

"Itu namanya gak surprise. Gue bawain martabak nih, lo makan ya." Rein tersenyum senang sambil menerima martabak itu dari Haris.

"Tau aja kalo gue lagi pengen. Oh ya, Ris. Di kamar gue ada Sheril tuh. Tadi dia datang ke sini tapi dengan kondisi dia yang lagi nangis. Dia masih nangis sampe sekarang, jadi dia belum cerita masalahnya sama gue. Tapi tadi bilang ada Jian-nya, apa mereka lagi berantem kali, ya?"

"Kali, gue mana tau."

"Ish!" Rein sedikit memukul lengan Haris. Benar juga, Haris tentu mana tahu masalah mereka. Jadi, Rein tentu saja tidak akan mendapatkan hasil apa-apa jika ia bertanya pada Haris.

"Ya udah, gue juga mau ke rumah Bastian. Jangan tidur kemalaman, ya. Gue pergi dulu."

"Oke, hati-hati ya. Makasih juga martabaknya."

"Heem."

Setelah Haris pergi, Rein kembali masuk ke dalam rumahnya. Tapi saat dia sampai di ruang utama, dia bertemu dengan Rendi.

"Widihh … ada yang ngirim martabak, nih?" Tanya Rendi dengan wajah gembiranya.

"Apa? Mau lo? Beli sendiri sana! Ini dari Haris." Rein menyembunyikan martabaknya di belakang tubuhnya.

"Justru itu, gue harus coba dulu. Aman gak buat lo?"

"Lo kira Haris mau racunin gue, gitu? Emang dasarnya lo yang mau ih. Ya udah, tolong lo bawa ke dapur ya, Kak. Lo juga boleh makan deh tapi jangan sampe ngabisin!" Rein memberikan martabak itu pada kakaknya dan mulai berjalan menaiki tangga.

"Kalo ini abis, berarti gue khilaf, ya."

"HALAH!" Rendi tertawa dan dia pun mulai berjalan menuju dapur.

Saat sampai di kamarnya, Rein melihat Sheril sudah tidak menangis lagi. Ia pun kembali duduk di sampingnya. "Udah tenang? Lo bisa cerita sekarang, kan?"

• To be Continued•