webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 08

"Woy!!!"

'preng!'

Semua mata langsung tertuju pada ibu kantin yang tiba-tiba saja tidak sengaja menjatuhkan mangkuknya. Haris kaget, ia kira yang menjatuhkan mangkuknya adalah Rein karena ia telah mengagetkannya. Jika memang benar seperti itu kejadiannya, ia tak dapat membayangkan bagaimana kondisi wajah tampannya setelah Rein menghajarnya nanti.

"Ihhh! Ngagetin lu ah!" Rein yang sudah tak memperhatikan si ibu kantin yang tak sengaja menjatuhkan mangkuknya pun langsung memukul Haris untuk membalas kekesalannya setelah pria itu berhasil membuatnya terkejut tadi walau harus teralihkan dulu oleh insiden pecahnya mangkuk ibu kantin.

"Lagi jadi babu ya, Mba?"

"Kasar banget ya lo mulutnya. Daripada banyak ngomong mending lo bantuin bawa ini semua, biar gue gak bulak-balik entar."

"Ya udah sini!" Rein memberikan beberapa pesanan pada Haris dan mereka berduapun membawa pesanan itu ke arah meja yang mereka tempati.

"Loh, Sakti tangan lo kenapa?" Tanya Rein saat dia melihat tangan Sakti yang dibalut perban.

"Gue gak papa kok, ini cuma kena beling doang," sahut Sakti seraya ia kembali melihat kondisi tangannya yang terluka itu.

"Hati-hati dong lain kali," pesan Rein yang diangguki oleh Sakti. "Gue bakal lebih hati-hati nanti."

"Udah duduk lo ah!" Haris menarik Rein untuk duduk di sampingnya. "Gak capek lo berdiri terus?" Tambahnya yang membuat Rein mendelik kesal ke arahnya.

"Yeuu … santai dong!"

"Ini kalian gak pada mau pesen?" Tanya Dara pada kelima pria itu karena mereka dari tadi seperti tidak ada tanda-tanda pergerakan untuk memesan makanan.

"Lagi males kita, udah lo pada aja yang makan. Kita mah nonton juga udah kenyang," ujar Haris.

"Ngesok! Aww …! Sakit ihhh!" Rein menggeplak punggung Haris kasar karena pria itu telah mencubit lengannya.

"Peace, gak sengaja." Haris menunjukkan V Sign ke arah Rein yang sedang meminum jus di sampingnya.

"HALAH! Kapan sih seorang Renaldi Haris Aditya gak sengaja ngelakuin apapun sama gue? Lo mah pasti sengaja mulu. Lagian mana ada nyubit tapi gak sengaja!" Ketus Rein.

"Yok berantem yok! Biar gue yang jadi pengadilnya." Jian langsung berdiri di belakang mereka berdua yang sedang duduk bersebelahan itu. Tangan kanannya ia letakkan di antara keduanya sebagai penghalang. "Setelah gue hitung sampe 3, kalian harus berantem gitu adu tinju," tambahnya.

"Cowok lo kompor ya, Sher?" Haris menunjuk Jian yang berada di belakang. "Udah kompor, gak jelas lagi."

"Heem, kompor banget dia emang. Udah ah gue mau nyari cowok baru aja. Yang ini udah rusak." Jian langsung menatap nanar ke arah Sheril seraya memegang dadanya mendramatis. Bastian yang melihat itu hanya tertawa, dia berpikir jika Jian sudah terinfeksi virus dramanya Haris.

"Dikira aku robot, Yang? Tega banget kamu. Unpacar kita ayo!"

"Ayok!" Jawab Sheril mantap yang membuat Jian langsung kembali duduk di sampingnya. "Eh kagak kagak! Becanda doang, By. Jangan ngambek mulu dong, nanti aku beliin skincare kamu yang udah pada abis deh, janji." Jian mencoba untuk membujuk Sheril.

"Halah takut diputusin doang. Kek gue dong, diputusin satu di belakang masih ada 20." Sakti menyilangkan tangannya di dada dengan kakinya yang ia angkat ke atas meja, dan jangan lupa dengan tatapannya yang terlihat seperti begitu membanggakan dirinya sendiri.

"Kotor, weh! Gue aduin si bibi kantin loh." Erin mengancam dan dengan segera Sakti turunkan kembali kakinya ke bawah. "Ogah gue ngikutin jejak lo, Sak. Sesat!" Sakti hanya terkekeh mendengar penuturan Jian.

"Nah gitu dong sekali-kali kalian yang berantem, biar gue sama Haris yang nontonin. Bosen gue liat kalian bahagia terus sama couple kalian," celetuk Rein yang langsung direspon oleh nyinyiran dari mereka semua.

"Eh! Gak nyekolah banget ya tuh mulut. Gue jait rapet mulut lo mau?! Biar gak banyak bacot lo." Rein menutupi mulutnya dengan tangannya sambil membayangkan ancaman dari Sheril.

"Aduh gue kebelet. Gue ke toilet dulu, ya." Rein beranjak dari duduknya dan sedikit berlari ke arah toilet yang dekat dengan kantin.

Haris tersenyum jahil ke arah cuka yang ada di atas meja. "Serem gue liat muka lo, Ris. Senyum-senyum kek gitu lo mau apa?" Tanya Bastian heran ketika melihat Haris yang tiba-tiba saja tersenyum-senyum sendiri.

"This is cuka. If gue masukin this cuka ke dalam drink Rein, maka dia will keaseman, and that akan so funny. Hahaha …." Haris tertawa jahat seraya ia mengangkat botol cuka itu.

"Lo ngomong apa, ha? Campur-campur gitu kaya es!" Kesal Sakti sambil melempar bulatan koran yang dari tadi ia remas-remas. Perlahan Haris menuangkan cuka itu ke dalam gelas yang berisi minuman milik Rein.

"Ni anak sukanya nyari penyakit, ya. Entar si Rein ngamuk sama lo mampus dah."

"Bodoamat gue mah. Buat dia kesel adalah kewajiban gue," tukasnya yang tidak menghiraukan ucapan Jian.

"Heem gaess … siapkan telinga dan mata kalian karena bentar lagi akan ada keributan di sini." Dara mencoba untuk mengingatkan.

"Si Rein dah balik noh." Jifran menunjuk Rein yang sedang berjalan menuju ke arah mereka. Haris tersenyum jahil, dia memiliki rencana untuk kabur ketika Rein sudah kembali duduk di sini.

Saat Rein telah kembali duduk, Haris pun langsung berdiri. "Aduh, gue kebelet nikah. Gue ke toilet dulu, ya." Haris langsung bergegas pergi ke toilet. Tapi Haris terlihat seperti menepi dulu ke ibu kantin. Entah apa yang dilakukannya itu.

"Ha? Nikah? Maksudnya apa coba?" Tanya Rein heran.

"Halah! Dianggap serius aja lo. Si Haris kan orangnya aneh, gak jelas, ngomongnya suka ngawur. Gak tau ngidam apa maknya pas hamil dia," cetus Erin.

"Ngidam kecoak geprek," jawab Jian asal.

Tidak mau memperdulikan hal itu, Rein pun perlahan mengangkat minumannya dan meminumnya. Semua teman-temannya pun menatapnya was-was.

"Rein?"

Rein langsung terbatuk dan memuntahkan kembali minumannya. "Kok rasanya jadi gini sih?! Hoex."

"Kita semua angkat tangan," ujar Dara. Rein membuang napasnya kasar dan ia mengepalkan tangannya. Dia langsung berdiri dan bergegas menuju ke arah toilet pria. Rein sudah mengira jika hanya Haris yang berani berbuat seperti itu padanya.

"HEH!" Haris terkejut saat baru saja dia membuka pintu toilet tiba-tiba Rein sudah ada di depannya sambil berkacak pinggang.

"Lo ngapain masuk toilet cowok? Ihhh … cewek mesum ya lo? TOLONG ADA CEWEK MES-mph!" Rein langsung membungkam mulut Haris dengan tangan kanannya.

"Sembarangan! Lo kan yang masukin cuka ke minuman gue? Ngaku lo!!"

"Kagak kagak!" Haris menggerakkan kedua tangannya sebagai bentuk pengelakan.

"Ngaku gak?! Punya masalah apa sih lo sama gue, ha?!" Rein semakin mendekat ke arah Haris dan Haris pun semakin memundurkan posisinya hingga akhirnya mereka berdua ada di salah satu bilik toilet. Rein terlihat sangat seram saat ini di mata Haris.

"Kunci dulu pintunya, Rein!" Rein langsung menginjak kasar kaki Haris sampai pria itu meringis kesakitan. "Emang lo pikir gue mau ngapain, ha?! Ayo lo jawab, lo punya masalah apa sama gue?"

"Masalah sih enggak, cuma gue gabut aja." Rein mendengus kesal dan akhirnya dia menjewer telinga Haris sampai mereka sampai di kantin. Mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian sekarang, seluruh mata tertuju pada mereka berdua. Tapi setelah mereka melihat itu adalah Haris dan Rein, semua siswa yang ada di kantin langsung tak menghiraukannya lagi karena itu sudah biasa bagi mereka.

Rein membawa Haris ke hadapan si ibu kantin dan bermaksud untuk mengadukan semuanya. "Bu, Haris buang-buang cuka nih sampai habis."

Si ibu kantin bukannya marah, tapi dia malah tersenyum ke arah mereka berdua. "Kok Ibu malah senyum-senyum, sih? Harusnya Ibu marah sama dia." Rein menunjuk Haris yang ada di samping kanannya.

"Buat apa Ibu marah? Cukanya udah dia bayar, kok." mendengar itu Rein langsung menatap Haris sengit dan pergi begitu saja menuju ke meja kantin yang terdapat teman-temannya. Haris tersenyum menang.

"Kesel!!! Kenapa sih Haris harus hidup? Meresahkan tau gak?!!"

"Iya deh iya, maafin cogan ya, Cantik. Cogan gabut tadi," ucap Haris setelah ia kembali duduk di samping Rein.

"Gak usah lo deket-deket sama gue lagi! Pergi jauh-jauh!" Rein menarik Haris untuk berdiri dan mendorongnya hingga Haris pun terjatuh di pangkuan Sakti. "Cieee …." Seru mereka kecuali Rein yang masih marah pada Haris.

"Gila lo pada, ha?! Gue jatuh ke Sakti kok cie? Kita berdua laki, Nyet!" Ketus Haris seraya ia kembali duduk di samping Rein. "Jangan marah dong, Cantik," bujuknya.

"Jauh-jauh sana! Uncees aja kita, capek gue tuh!" Rein mengacak rambutnya frustasi dan matanya terlihat semakin memerah.

"Ya udah gak papa uncees tapi kita jadinya pacaran, ya."

"Cieee …."

"Pacaran mata lo. Pacaran sama lo yang ada malah pusing pala gue tiap hari harus liat kelakuan lo yang gila itu. Udahlah, jauh-jauh sana lo! Gue masih sabar loh ini, beneran. Gue yang pergi atau lo yang pergi?"

"Kalo kita pacaran, aku insaf deh, Yang." Rein sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi dari sana. Tapi dengan segera Haris menahannya dan membuatnya kembali duduk. "Mau ke mana? Udah di sini aja."

"Cieee …."

"Ini lo pada ngapa dari tadi cie cie mulu, dah? Heran gue tuh. Emangnya dia nembak gue?!" Mereka semua langsung terdiam. Akhirnya mereka terkena juga dengan kemarahan Rein.

"Ris, ini lo lagi percobaan buat nembak atau apa?" tanya Jian.

"Kagak sih, gue cuma lagi gabut," jawab Haris sambil terkekeh. Rein yang melihat itu langsung menginjak kasar kaki Haris sampai sang empu memekik kesakitan.

"Sakit, Cintaku!"

"Marah dia, Ris. Si Rein maunya ditembak beneran," celetuk Sheril yang langsung ditatap sinis oleh Rein.

"Gak baik lo baperin cewek kek gitu. Kalo cinta ya tembak, kalo enggak ya jangan. Kasian si Rein entar dia baper. Kalo itu sampe terjadi lo harus tanggung jawab. Jangan kek gue, gue banyak cewek karena gue suka bikin mereka baper. Gue terpaksa harus tanggung jawab karena emang gue yang salah." Mereka menatap ke arah Sakti setelah mendengar penuturannya tadi. Sebuah hal yang langka ketika Sakti membicarakan tentang dirinya sendiri.

"Terharu gue denger si Sakti jujur kek gitu," ucap Jian seraya pura-pura  menyeka air mata bayangannya.

"Yeuuu … ngasih nasehat gue tuh." Sakti mengambil ancang-ancang ingin melempar Jian dengan gelas.

Dalam hatinya Haris bergumam. Dia tidak bermain-main pada Rein, dia hanya ingin mengalihkan hati Rein dari Sakti. Dia hanya tidak ingin menjadi orang lain untuk mendapatkan hati seseorang. Dia tidak ingin berbubah menjadi sangat puitis, dan dia tidak ingin menjadi bertingkah manis hanya untuk mendapatkan hati gadis tersebut. Itu sama sekali bukan sikap aslinya. Lagi pula, jika dia merubah sikapnya dengan yang lebih manis secara tiba-tiba, teman-temannya pasti akan sangat heran melihat perubahannya. Dia benci sesuatu yang terlalu memperlihatkan.

•To be Continued•