webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 09

"Hallo, Rein." Rein menatap sekilas orang yang menyapanya itu. "Lagi nungguin kakak lo, ya?"

Rein sama sekali tidak merespon pria tersebut. Dalam waktu seminggu ini Rein memang terlihat seperti menjauh dari Haris. Entah dia marah atau apa, yang jelas Rein tidak seperti biasanya.

Haris masih duduk di atas motornya yang terparkir di samping Rein yang masih menunggu kakaknya menjemputnya.

"Ngapain sih lo diem di sana? Ngalangin jalan tau." Akhirnya Rein membuka suaranya walau hanya sekedar meminta Haris untuk tidak menghalangi jalan orang lain. Ia pun sedikit menyingkirkan motornya ke samping agar tidak menghalangi jalan.

"Rein, lo marah ya sama gue?" Rein sama sekali tidak meresponnya kembali. Haris membuang napasnya kasar lalu ia menarik tangan Rein untuk mendekatinya.

"Apa sih, Ris?" Tanya Rein kesal seraya ia menatap Haris tak kalah kesal juga.

"Gue mau ngomong sama lo." Haris menatap dalam kedua mata Rein yang berada tepat di hadapannya.

"Dari tadi juga lo ngomong, kan?" Rein kembali memundurkan posisinya agar ia menjauh dari Haris. Tapi, Haris tak membiarkan hal itu, ia pun kembali menarik Rein untuk mendekat ke arahnya.

"Rein, gue serius."

"Gue juga serius." Mereka terdiam seraya saling melemparkan tatapan yang sulit diartikan dari sorotannya masing-masing.

"Lo boleh benci gue, lo juga boleh kalo lo mau nolak gue. Tapi gue mohon, menjauh dari gue itu bukan cara yang bener. Gue gak akan maksa kalo misalnya lo gak mau sama gue. Lo harus terus terang sama gue biar gue berusaha buat berhenti ngejar lo. Jangan jauhin gue, dan ayo kita kaya biasanya. Jangan ada yang berubah di antara kita!"

Rein masih terdiam dengan tangannya yang masih ada dalam genggaman pria itu. Perlahan Haris melepaskan tangan Rein dan mulai menyalakan kembali motornya, dia berniat untuk pergi karena Rein tidak memperdulikannya sama sekali.

"Haris." Haris mengurungkan niatnya untuk pergi ketika namanya terpanggil. "Gue cinta sama lo. Tolong jangan berhenti buat gue!"

Haris kembali menatap mata Rein dan dia melihat seperti tidak ada kebohongan di matanya.

"Gue gak pernah pacaran sebelumnya, gue gak tau bagaimana cara menolak ataupun menerima yang bener. Gue bingung sama perasan gue sendiri. Terkadang gue sangat-sangat benci sama lo, dan terkadang juga gue sangat-sangat suka sama lo. Jadi sekarang gue harus apa? Harus gue apain perasaan gue ini, Ris? Selalu ada keraguan dan gue sangat benci itu …,

… hati gue masih ada setengah di Sakti, makannya gue diem aja, gue gak akan nolak ataupun nerima lo, gue gak mau lo mendapatkan setengah hati dari gue. Tapi kalo lo mau nyerah, ya udah lo nyerah aja! Gue beneran gapapa. Lebih baik gue buang semuanya daripada gue suka 2 cowok sekaligus. Kesannya jadi kurang baik buat gue."

"Kalo gue udah punya setengah hati dari lo, kenapa kita gak bersatu aja? Dengan lo belajar mencintai gue, gue yakin lo bisa lupain dia, Rein." Haris memegang kedua bahu Rein dan menatapnya penuh harap.

"Gue takut gak bisa, gue takut lo gak bisa bahagia sama gue." Haris menggelengkan kepalanya setelah ia mendengar hal itu. Dia rasa ini adalah saat yang tepat untuk meyakinkan gadis itu.

"Lo tau? Botol penuh karena diisi. Jika botol itu baru terisi setengah, maka gue akan isi botol itu sampai penuh. Gue akan bikin hati lo cuma penuh sama gue hingga gak ada sisa ruang buat orang lain. Lo mau nerima gue? Tolong jangan buat gue nunggu lebih lama lagi setelah ini, ayo kita berjuang bareng-bareng! Gue gak akan mempersulit semua ini, kita gak akan menjadi orang lain untuk menjalani semuanya. Gue gak akan ngekang lo nantinya, lo bakal tetep bebas ngelakuin apa aja yang lo mau. Selagi lo setia, gue gak akan larang."

Rein terdiam beberapa saat dan mencerna semua ucapan Haris. Berkali-kali dia menghela napasnya dan berpikir, haruskah dia melakukannya?

"Oke, g-gue mau nerima lo." Senyuman tersirat di bibir Haris. Ia tidak menyangka jika ternyata di depan gerbang sekolah lah akhirnya ia mendapatkan seseorang yang telah lama dikejarnya.

"Makasih lo udah ngasih jawaban yang selama ini gue harapin. Gue anterin lo pulang, ya." Rein dengan segera menggelengkan kepalanya. Ia takut ketika kakaknya menjemputnya, ia sudah tidak ada di sekolah.

"Enggak ah. Kakak gue entar jemput, kasian kalo pas dia dateng guenya udah gak ada."

"Yaudah, gue tungguin lo sampe kakak lo dateng." Haris menarik Rein untuk membiarkannya duduk di motornya selagi Rein menunggu kakaknya menjemput.

"Gak usah deh, mending lo pulang duluan aja." Rein mencoba menolaknya.

"Jangan ah."

"Kenapa?"

"Nanti ada yang godain lo." Rein tertawa seraya memukul lengan Haris. "Jangan ngaco deh lo! Mana ada yang berani godain cewek galak kaya gue."

"Ada."

"Siapa?"

"Gue." Rein mencubit pinggang Haris hingga sang empu mengaduh. "Ya berarti lo penggodanya ada di sini. Pergi sono lo penggoda!"

"Kalo gue yang godain ya gak masalah." Haris menyeringai tanpa dosa yang membuat Rein bergidik ngeri.

"Itu kakak gue." Rein menunjuk seseorang yang sedang menuju ke arah mereka berdua. Hingga setelah kakaknya Rein sampai di hadapan mereka, Rein pun segera naik ke motor kakaknya itu.

"Gue duluan, ya."

"Hati-hati." Setelah kakaknya mulai menjalankan motornya, Rein sempat menoleh ke belakang untuk melihat Haris yang ternyata masih tersenyum ke arahnya.

"Tadi siapa, Dek? Pacar lo?" Tanya Rendi pada adiknya itu seraya melihat wajahnya lewat kaca spion. "Bukan kok, dia temen gue."

"Temen apa temen?"

"Cees," jawab Rein sambil tertawa renyah.

"Halah, ceesan kok sama cowok."

"Emangnya kenapa? Kan bagus ada yang jagain."

• • •

Rein tengah sibuk berkutik dengan maskernya malam ini sambil sesekali memantau ponselnya yang ia letakkan di atas nakas.

Saat Rein baru saja membaringkan tubuhnya, tiba-tiba ada notifikasi dari handphonenya yang menerakan pesan masuk dari seseorang.

Gadis itu menghela napasnya. Mau tak mau ia langsung melepaskan maskernya dan pergi untuk bersiap-siap. Teman-temannya mengajaknya untuk bermalam minggu di taman kota. Rein terkadang suka heran, mengapa teman-temannya lebih senang melakukan double date daripada melakukannya dengan mandiri.

Setelah dia selesai bersiap-siap, ia pun langsung turun ke bawah untuk meminta izin kepada orangtuanya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya ayahnya Rein yang sedang fokus dengan berkas-berkas di hadapannya.

"Rein sama temen-temen mau pergi ke taman kota, Pih. Boleh ya?" Rein memijat ayahnya hanya untuk merayunya saja agar dia mau mengizinkannya pergi.

"Pulangnya jam berapa?"

"Jam 10 lebihan." Ayahnya Rein langsung menatap anaknya itu. "Gak salah?"

"Ihhh … Papih … gak akan sampe tengah malam, kok." Rein masih terus membujuk ayahnya itu agar dia mau mengizinkannya. "Ya udah. Kalau lebih dari jam 11, Papih ataupun Mamih gak akan bukain kamu pintu."

"Iya Pih enggak kok. Ya udah Rein Berangkat, ya." Rein menyalami ayahnya itu dan mencium pipinya sekilas. "Hati-hati, Sayang."

"Oke, Papih." Rein mulai pergi meninggalkan rumahnya itu, kemudian ia berdiri di pinggir jalan untuk menunggu Haris yang akan menjemputnya.

Sekitar 15 menit Rein menunggu, akhirnya Haris pun datang menjemputnya. "Kok lama, ke mana dulu?" Tanya Rein pada Haris ketika pria itu baru saja sampai di hadapannya.

"Iya maaf deh, habis nganterin mama dulu tadi ke supermarket."

"Ya udah deh. Langsung yu! Yang lain pasti udah pada nunggu," ajak Rein seraya naik ke motor Haris.

"Masukin sini, Rein!" Haris memasukan kedua tangan Rein ke dalam saku jaketnya. Mereka pun memulai perjalanan mereka ke taman kota.

20 menit cukup untuk mereka berdua sampai di sana. Ternyata benar apa yang dikatakan Rein, teman-teman mereka sudah menunggu dari tadi.

"Hayoloh, kok lama?" Tanya Erin.

"Haris noh yang ngaret, gue sih udah siap dari tadi juga."

"Udah-udah, lanjut yu!" Lerai Bastian. mereka pun mulai berjalan beriringan menyusuri taman kota itu. Sudah lama juga mereka tidak ke sini. Seingat mereka, terakhir kali mereka ke sini adalah sekitar 2 bulan yang lalu setelah Sakti sembuh karena kecelakaan motor yang dialaminya. Mereka semua duduk di pinggir kolam ikan sambil membahas apa saja yang ingin mereka bahas.

Di saat mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba saja ponsel Bastian berbunyi. Dengan segera Bastian mengangkat telepon yang ternyata dari Sakti.

"Sakti mau ke sini?" Tanya Jifran setelah Bastian menutup teleponnya dengan Sakti.

"Iya, dia juga mau bawa ceweknya ke sini. Dia tadi pas telpon lagi ada di depan sana, paling bentar lagi juga sampe sini," jelasnya.

"Oh iya, masalah Sakti udah beres?"

•To be Continued•