webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 07

Sakti tersadar pada pukul 11 malam. Dia melihat Haris dan Jian yang tertidur di sofa sebelahnya sedangkan Bastian dan Jifran tertidur di atas karpet.

Pria itu merasa kepalanya sangat berat dan tangannya terasa perih, ia melihat kedua tangannya telah diperban dengan begitu rapi.

"Apa yang udah gue lakuin?" Tanya Sakti pada dirinya sendiri seraya mengingat apa yang telah dia lakukan sehingga tangannya terluka. "Ck, sial!" Umpatnya setelah dia ingat akan apa yang telah terjadi.

Karena Bastian memang selalu bisa mendengar suara walau sedang tidur sekalipun, iapun akhirnya terbangun setelah ia mendengar suara Sakti.

"Ti, lo udah lama sadar?" Tanyanya seraya mengucek kedua matanya.

"Gak, gue baru sadar." Bastian langsung menghampiri Sakti dan duduk di sampingnya. "Lo mau cerita sesuatu gak sama gue? Kenapa lo nekat nyakitin diri lo sendiri dengan pecahan kaca itu?"

Sakti membuang napasnya kasar dan iapun menyandarkan kepalanya dengan matanya ia pejamkan beberapa saat. "Gue bener-bener lagi stress waktu itu. Gue emosi, gue bingung, Bas. Orangtua Citra terus desak gue buat nikahin dia. Sedangkan gue juga gak tau gue emang salah atau enggak."

"Lo gak salah, lo gak usah khawatir. Anak yang dikandung Citra itu bukan anak lo tapi itu anak dari mantannya dia." Sakti langsung menatap Bastian heran. Bagaimana bisa dia langsung berkata demikian? Pikirnya.

"Lo tau dari mana sampe bisa ngomong kek gitu?" Tanya Sakti tanpa berbasa-basi karena ia benar-benar dibuat penasaran olehnya.

"Semalam pas sebelum kita semua ke sini buat nemuin lo, kita udah ketemu sama Citra dan kita desak dia buat ngomongin masalah ini. Jujur kita semua gak percaya kalo lo kaya gitu, jadi kita nekat buat cari tau. Setelah kita semua tekan tuh cewek, akhirnya dia mau ngaku juga dan nyeritain masalah yang sebenarnya. Kita semua udah suruh tuh cewek buat ngomong sama orangtuanya kalo anak yang dikandungnya itu bukan anak lo. Gue gak tau dia bakal lakuin itu atau enggak, besok lo harus temui orangtua dia dan ngomong kalo lo gak salah. Gue temenin deh biar jadi bukti."

"Lo serius, Bas? Jadi lo semua ngeintrogasi dia semalam? Dan dia ngomong kaya gitu?" Terlihat kegembiraan dalam mata Sakti ketika dia mendengar kabar itu dari Bastian.

"Iya." Sakti tersenyum lepas dan kini ia dapat kembali bernapas dengan lega.

"Sumpah banget gue seneng. Thanx ya, Bro, gue gak tau harus ngomong apalagi sekarang."

"Yo, santai aja. Lo sahabat kita, masalah lo masalah kita juga. Lo jangan ngerasa sendiri walau lo tinggal sendiri, masih ada kita yang bisa bantu lo kalo lo lagi ada kesulitan. Udahlah, mending kita tidur lagi, lo harus cepet pulih. Besok pulang sekolah kita pergi ke rumah Citra buat nemuin orangtua dia."

• • •

Keesokan paginya di sekolah. Saat jam pelajaran pertama, Rein tidak melihat Jian dan Haris ada di mejanya. Bahkan setelah pelajaran pertama selesaipun mereka masih belum terlihat.

"Sher, Jian sama Haris gak masuk kelas, ya?" Sheril langsung melihat ke arah meja mereka, dan benar saja jika mereka berdua tidak ada di tempatnya.

"Lah, iya ya gue juga baru nyadar. Hmm … cabut kelas, ya? Awas aja kalo ketemu entar." Sheril memasang wajah kesal ketika ia mengetahui jika pacarnya itu kembali membolos hari ini.

"Selamat pagi anak-anak." Terlihat seorang guru memasuki kelas dan menyapa murid-muridnya di jam pelajaran kedua.

"Pagi, Bu." Karena jam pelajaran kedua akan segera dimulai, seluruh murid pun segera mengganti buku mereka sesuai dengan pelajaran berikutnya.

"Minggu kemarin Ibu sudah memberikan tugas kepada kalian. Sekarang kalian saling tukar tugasnya dengan teman sebangku kalian, ya. Kita akan bahas sekarang juga" Mendengar perintah dari guru tersebut, mereka semua pun langsung menukar buku mereka dengan teman sebangku.

"Baik, Bu."

"Rein, nomer ini kok lo gak ada jawabannya?" Sheril menunjuk pada soal no 3 di buku Rein. Gadis itu merespon dengan cengirannya seraya ia menyahut pertanyaan dari sahabatnya itu.

"Gue gak tau itu jawabannya apa, jadi kagak gue isi." Sheril menyentil keras dahi Rein hingga sang empu sedikit meringis kesakitan.

"Pinter banget ya cees gue ini, seenggaknya lo isi kek walaupun ngasal juga," cercanya.

"Motto hidup gue adalah diam dan duduk dengan tenang untuk menghindari sebuah kesalahan jadi ya udah gue kosongin karena takut salah."

"Bisa aja ya lo jawabnya."

"Ekhem. Udah kalian ngobrolnya?" Percekcokan merekapun terhenti ketika mereka berdua ditegur oleh guru yang sedang duduk damai di depan sana.

"Eheheh … udah kok, Bu," sahut Rein.

"Baik, kita mulai sekarang ya."

2 jam pelajaran telah berlalu, kini saatnya untuk seluruh siswa-siswi beristirahat. Rein, Sheril, Dara, dan Erin berjalan beriringan menuju kantin.

"Dar, Bastian masuk kelas gak tadi?" Tanya Sheril.

"Eggak ih, Bastian sama Sakti gak masuk kelas. Mereka bolos 4 jam pelajaran," jawab Dara dengan sedikit emosi di dalamnya.

"Jian dan Haris juga sama bolos. Kayanya mereka kompromian, nih. Gak kapok-kapok ya mereka, padahalkan dengan mereka discor waktu itu harusnya mereka tuh kapok dan gak akan ngulangin lagi. Tau ah mau sebel aja sama Jian, entar kalo mereka kegep sama anak OSIS atau langsung sama BK-nya gimana?" Sheril semakin memasang wajah kesal ketika ia mengingat kejadian Jian dan yang lainnya discor selama 4 hari waktu itu.

"Ciaaa … pada bolos nih ya akang-akangnya. Kasian amat sih. Gue sih Yakin Jifran gak akan bolos. Dia kan anak baek, rajin, pinter, gak sombong dan rajin menabung. Gak pernah tuh ada sejarahnya Jifran cabut kelas." Sheril dan Dara langsung menatap Erin tidak suka. Ya, itu memang benar, Jifran sama sekali tidak pernah ikut-ikutan membolos dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya orang yang cerdas pasti akan berpikir beribu-ribu kali untuk meninggalkan pelajaran.

"Idihh … cakep ye lo kek gitu. Heh! Kita gak ada, ya, yang sekelas sama Jifran, jadi kita semua mana tau dia pernah bolos atau enggak. Jadi jangan bangga dulu ye!" Sheril mengibaskan rambutnya ke wajah Erin.

"Idih … iri bilang, Sahabat!" Erin berkacak pinggang di depan Sheril yang membuat gadis itu semakin kesal saja rasanya.

"Udahlah weh, pesen yu! Laper nih. Ngapain malah ribut-ribut gak jelas. Entar juga mereka ke sini, kok. Kalo mereka udah ada di sini entar, bebaslah kalian mau apain tuh cowok kalian." Rein melerai percekcokan sahabat-sahabatnya itu. Dia sudah cukup pusing melihat keributan mereka itu.

"Ya udah sana lo yang pesenin! Se-mu-a-nya pu-nya ki-ta. Ayo buru!" Titah Sheril yang membuat Rein membulatkan matanya tak percaya. Apa dia tak salah dengar? Semuanya?

"Lah …! Kok jadi gue, sih?" Rein menunjuk dirinya dengan tidak ada rasa terima dalam hatinya. Dia malas untuk mengantri jika dia yang memesankan semuanya sendirian.

"Udah Rein, sono lo pesenin! Ini pesenan gue, nih." Dara memberikan secarik kertas yang berisi pesanannya pada Rein. Sheril dan Erin pun sama, mereka menuliskan pesanannya dan segera memberikannya pada Rein.

"Jahat banget ya lo semua, gue aduin mamih loh entar." Rein segera beranjak dari tempat duduknya untuk memesankan pesanan mereka. Ya, biarlah dia menhalah daripada ia melihat mereka ribut lagi nantinya.

"Hilih, anak mamih," cibir Erin.

Saat Rein sedang memesankan makanan mereka, tiba-tiba orang-orang yang mereka bicarakan tadi datang ke kantin dan langsung bergabung dengan mereka.

"Jauh-jauh sana, jangan deket-deket!" Sheril mendorong Jian yang duduk di sampingnya. Jian yang diperlukan seperti itu langsung menatap Sheril heran.

"Loh, Yang, kamu kenapa?"

"Pikir aja sendiri!"

"Iya dah, ini cewek-cewek kenapa pada manyun?" Tanya Bastian ketika ia melihat mereka semua tidak seperti biasanya.

"Kurang belaian kali," celetuk Haris yang sukses membuat mereka menatap sinis ke arahnya. "Lah, cogan kena. Gak mau ikut-ikutan, ah." Haris mengangkat kedua tangannya.

"Ini kalian kenapa, sih? By, kamu marah juga sama aku?" Tanya Jifran pada Erin.

"Kamu ikut cabut kelas juga gak sama mereka?" Tanya Erin dengan was-was. Ia takut jika ternyata Jifran juga ikut membolos dengan yang lainnya.

"Ha? Enggak kok, aku gak ikut bolos."

"Awas aja kalo berani bolos, kita putus." Erin memberikan ancamannya terhadap Jifran walaupun ia tahu mana mungkin juga Jifran berani bolos.

"Gak bakalan aku bolos, aku kan gak mau peringkat aku di umum diambil alih sama kamu." Jifran terkekeh melihat raut wajah Erin yang mulai kesal.

"Alasannya bikin sebel sumpah. Unpacar kita ayo!" Erin mengalihkan pandangannya dari Jifran dan memunggunginya. Ia menyilangkan tangannya di dada dan menepis tangan Jifran yang menyentuh bahunya.

"Becanda, Sayang. Jangan marah dong!" Jifran mencoba merayu Erin yang sedang kesal padanya.

'BRAK!' Haris memukul keras meja kantin sehingga semua orang yang ada di sana langsung menatapnya aneh.

"Halah … bucin semua …! Dari tadi gue berasa nonton sinetron tau gak?! Pusing gue liatnya!" Haris menatap tajam ke arah mereka satu persatu. Mereka yang memiliki masalahnya tapi ia yang merasa sangat muak dan kesal melihatnya.

"Ini anak kenapa, sih? Sawan ya lo?! Malu-maluin aja," cibir Erin seraya mendelik tidak suka ke arah Haris.

"Hahaha … iri bilang, Bawahan!" Ejek Jian.

"Uncees kita, Nyet!" Haris melempar tutup garam ke arah Jian. "Rein mana? Kok gak keliatan?" Haris baru menyadari ada yang kurang, dan ternyata dari tadi dia tidak mendapati Rein di sana.

"Rein lagi kita babuin noh, dia lagi pesenin makanan kita," jawab Dara.

"Wahh jahat banget ya lo pada." Haris langsung berdiri dan menyusul Rein. Dia tahu Rein pasti akan kesulitan nantinya saat ia membawa pesanan mereka semua.

Haris sudah mendapatkan keberadaan Rein. Ia tersenyum jahil dan perlahan ia berjalan mendekatinya. Setelah jaraknya semakin dekat, Haris mengangkat tangan kanannya yang akan ia pakai untuk menepuk bahu gadis itu.

"Woy!!!"

'preng'!

•To be Continued•