webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 34

Malam hari di Myeongdong.

Seperti biasa setiap malam tempat ini akan ramai dengan pengunjung. Bagaimana tidak? Di sini banyak sekali pedagang street food yang tentunya tidak bisa dilewatkan jika berkunjung ke Myeongdong.

Erin dan Jifran mengajak Haris dan Shuhua untuk pergi ke sana. Di sana mereka mencoba satu persatu street food khas Korea. Haris dan Shuhua terlihat senang saat Jifran dan Erin mengajak mereka ke sana karena sejujurnya Haris dan Shuhua tidak bisa berbahasa Korea. Jangan, ketika mereka bertemu dengan Jifran dan Erin, mereka berdua merasa sangat senang karena semuanya menjadi terasa mudah. Liburan mereka menjadi tidak terhambat walau ada kelemahan dalam berbahasa setelah bertemu mereka.

Saat mereka sedang duduk bersama seraya menikmati makanan yang mereka beli, Jifran menanyakan siapa sebenarnya wanita yang sedang berlibur bersamanya itu. "Ris, cewek ini siapa, sih?"

"Dia anak dari temen bokap gue." Jifran mengangguk mengerti dan ia menatap sekejap pada Shuhua.

"Si Rein tau tentang dia, gak? Awas aja jadi salah paham entar kalo dia tau." Ya, Jifran hanya sekedar mengingatkan Haris agar selalu menjaga perasaan Rein dan agar terhindar dari kesalahpahaman di dalam hubungan mereka berdua juga.

"Pernah kok kejadian. Emang sih, kayanya Rein kurang suka kalo gue deket sama dia. Jadi, gue mohon lo jangan pernah cerita ke dia kalo gue liburan sama dia, ya? Kita beneran cuma temenan kok gak lebih, gue juga sering ceritain Rein ke dia dan dia juga ngedukung banget hubungan kita."

"Kalo kenyataannya kaya gitu, kenapa lo takut kalo Rein tau? Dia juga pasti bakalan ngerti, kok," timpal Erin.

"Iya emang, cuma dia gampang banget cemburuan selama kita LDR, gue cuma males aja kalo harus berantem terus."

"Eumm gue ngerti, Ris."

Shuhua memang tidak terlalu pandai berbahasa Indonesia, ia menyimak pembicaraan Haris dan Jifran pun mengerti tidak mengerti jadinya. Lagi pula, mereka berbicara dengan bahasa akrab, tentu saja Shuhua tidak mengerti karena Haris tidak pernah mengajarkan bahasa seperti itu.

"Lo tau gak, Ris? Semenjak lo pergi, sifat Rein itu kaya berubah. Sensiannya semakin tinggi, gak seceria kek awal-awal, pokoknya beda, deh. Terus sekarang kita udah 2 tahun misahin diri kaya gini, gue jadi gak tau deh sekarang dia kek gimana di sana masih sama atau enggak dengan terakhir kali gue liat dia." Erin mencoba membicarakan tentang Rein pada Haris selama Haris pergi meninggalkan mereka.

"Gue saranin lo balik deh Ris walau cuma satu hari doang juga. Lo gak kangen emangnya sama dia? Kalian udah gak ketemu sekitar 3 tahun, kan? Dia pasti bakal seneng banget kalo lo nemuin dia." Mendengar penuturan Erin membuat Haris terdiam, ia tampak sedang berpikir. Ia juga sudah menginginkan itu dari lama sebenarnya, tapi … ia tidak mudah untuk meminta izin kepada orangtuanya untuk pulang sebentar ke tanah kelahirannya.

"Lo bener juga, Rin. Sebenarnya dulu gue juga pernah sih minta izin sama orangtua gue buat balik bentar ke Indonesia, tapi mereka samasekali gak ngizinin gue buat pergi. Gue juga kangen banget sama dia sebenernya. Ya udah deh, gue bakal usahain lagi nanti, semoga aja gue bisa kali ini."

Erin tersenyum senang mendengarnya. Ya, ia senang walau baru membayangkannya saja. Itu pasti akan membuat sahabatnya begitu bahagia jika memang itu terjadi.

"Telpon gih, Ris, si Rein." Haris mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya. Tapi saat ia baru saja membukannya, ia melihat baterai ponselnya lemah.

"Elah, gue lupa cas. Jadi sekarang batrenya lemah."

"Ya udah pakek HP gue aja." Jifran mengeluarkan ponsel miliknya dan ia langsung menghubungi Rein.

'Drttt … Drttt …'

"Hahahah serius, Ril? Eh?" Rein mengambil ponselnya yang tiba-tiba bergetar di atas meja. Saat itu ia sedang berkumpul di cafe bersama yang lainnya karena janji tadi siang. "Eh, Jifran nge-VC gue, dong. Tumben banget."

"Angkat dulu, Rein! Siapa tau penting," usul Bastian. Rein pun menggeser ke atas tombol berwarna biru itu dan nampaklah wajah Jifran di dalam layar.

"Hai, Fran," sapa Rein lebih dulu setelah ia melihat wajah Jifran di dalam layar ponselnya.

"Rein, tebak! Gue lagi sama siapa?" Rein sedikit mengerutkan keningnya heran, ia berpikir ya sudah tentu jika Jifran sedang bersama Erin saat ini. "Ya sama Erin dong pasti."

"Bener, terus sama siapa lagi? Eh kalian lagi ngumpul, ya? Rame banget."

"Heem emang, tuh lo liat!" Rein menyorot yang lainnya satu persatu dan mereka pun menyapa Jifran.

"Adoh, ini orang Korea mau kapan ngunjungin Indonesia, nih?" Goda Jian dan Jifran hanya terkekeh mendengarnya.

"Gak boleh gitu lo anjir! Gini gini juga gue masih tetep WNI. Di sini gue cuma numpang belajar aja haha. Entar ya, gue pulang pulang bawa anak." Erin yang mendengar itu langsung memberikan tamparannya terhadap lengan Jifran.

"Bro! Travelling nih otak gue. Gak macem-macem kan lo di sana? Jagain tuh cewek, lo!" Bastian ikut menimpali.

"Iya Bas, elah. Oh iya gue lupa tujuan gue nge-VC si Rein. Btw gaes, gue ketemu Haris, nih." Jifran langsung menyorotkan kameranya pada Haris. Mereka semua langsung terkejut dengan kejadian yang kebetulan itu.

"Weh! Gila! Ngapain itu bocah ada di situ?"

"Ris, lo nyasar?!"

"Ris, pulang Ris! Mak lo nyariin, katanya mau nyuapin lo pakek bubur bayi."

"Ris, lo ngelindur sampe Korea?"

"Gila sih ni anak kepelesetnya ampe Korea."

Seperti itulah ocehan mereka ketika mereka mengetahui jika Haris kini sedang bersama Jifran dan juga Erin. "Kebangetan ya lo semua, cogan lagi liburan eh gak sengaja ketemu mereka. Ini sekarang kita lagi makan-makan. Yo gak, Fran?"

"Yo."

"Hilih apa banget? Ini juga kita lagi makan makan kok," tukas Sheril. Rein dari tadi dia diam menyimak dan hanya tersenyum simpul.

"Cantiknya gue mana? Kasihin HP-nya sama dia, dong. Mau kangen-kangenan."

"Bucin banget, gak mau gitu kangen-kangenan sama kita juga?" Tanya Sheril sebelum ia memberikan ponsel Rein kembali.

"Tapi Rein yang paling dikangenin, dong."

Setelah ponselnya sudah berada di tangan Rein kembali, Haris pun dapat melihat wajah yang selalu cantik di matanya itu. Tapi, raut wajah Rein terlihat sedih untuk saat ini. Haris yang merasa ada yang berbeda pun langsung menanyakannya.

"Kok kaya sedih gitu. Kenapa, hm? Yang lain keliatan bahagia, loh. Ayo dong lo juga bahagia, gue baik-baik aja kok di sini lo jangan khawatir!" Haris mulai berbicara dengan nada seriusnya.

"Bukan itu, Ris. Semalem gue mimpi kalo lo pulang. Entah kenapa gue kalo inget mimpi itu gue jadi sedih aja. Kenapa harus di mimpi? Kenapa gak nyata aja gitu?" Haris tersenyum dan ia semakin mendekatkan layarnya pada wajahnya.

"Coba deketin layarnya ke pipi lo, Rein!" Rein hanya menurutinya saja, ia pun mendekatkan layarnya pada pipi sebelah kanannya.

'Chu'

Rein kembali tersenyum simpul saat ia mendengar suara kecupan dari Haris. Ya, itulah yang dinamakan sebuah kecupan dari jauh. "Tunggu, ya. Gue bakal nemuin lo nanti."

"Kapan?"

"Kalo udah waktunya."

• • •

Mereka bubar pada pukul 10 malam. Barra menurunkan Rein di depan rumahnya setelah mereka berdua sampai. Ketika belum ada tanda-tanda pergerakan dari Rein untuk masuk, jadi Barra juga memilih untuk diam dulu di sana.

"Kenapa, hm?" Tanya Barra lembut.

"Gue jadi semakin kangen aja sama Haris." Barra tersenyum lembut lalu ia menggenggam tangan gadis itu.

"Rein, lo emang bukan milik gue. Jujur, gue bakal cemburu setiap kali lo bilang lo rindu sama dia. Gila emang sih. Udah, masuk gih! Udah malem. Sebelum tidur jangan lupa cuci muka, gosok gigi, terus berdoa sebelum tidur. Jangan lupa mimpiin gue, awas aja kalo yang dimimpiinnya itu si Sakti." Rein terkekeh lalu sedikit memukul lengan Barra.

"Heh, ngatur. Tapi gue si mending mimpiin Haris." Rein memberikan senyum jahilnya pada Barra.

"Ah, cemburu deh gue. Katanya sedih kalo ketemu Harisnya di dalam mimpi doang."

"Ah, makan tuh cemburu, bye!" Rein masuk ke dalam rumahnya. Tapi sebelum ia pergi ke kamarnya, ia berhenti dulu dibalik pintu depan dan ia memegang dadanya dengan tangan kanannya.

"Hhh entah kenapa belakangan ini kalo gue ketemu sama Barra bawaannya deg-degan mulu. horor sih, masa iya gue juga suka sama dia? Aduh … gak tau ah."

•To be Continued•