webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 35

Waktu akan terus berputar, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun akan terus terlewati jika kita masih diperkenankan untuk tetap bernapas di muka bumi ini. Apa yang terjadi hari ini akan menjadi kenangan di hari esok, bisa saja hal yang terlihat biasa saja terjadi di hari ini tapi akan terlihat spesial jika kita kembali mengingatnya di hari esok.

Pakaian kotor dapat dicuci kembali dan lagu dapat diputar kembali. Hanya waktu yang tak dapat diulang kembali, memang akan sama angkanya tapi hanya saja tidak akan benar-benar sama persis dengan waktu yang telah lalu. Intinya, lain waktu maka lain lagi ceritanya.

"Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta, silahkan untuk tetap duduk dengan tenang dan mengencangkan sabuk pengaman selama landing dilakukan, terimakasih."

'Tap'

'Tap'

'Tap'

Seseorang pergi menjauhi Bandara yang ramai tersebut menuju sebuah taxi yang akan membawanya ke suatu tempat. Ia menghabiskan waktunya sekitar 4 jam 50 menit lamanya di dalam pesawat untuk proses menuju tujuannya.

'Ting Tong ….'

'Ceklek'

"Bro!" Pria itu langsung memeluk akrab tamu yang datang ke rumah mereka hari ini dan ia pun langsung membawanya masuk.

"Gak kabar-kabaran dulu ya lo, parah banget. Apa kabar, nih?

• • •

Sore hari di kantin kampus. Rein menenggelamkan wajahnya pada tumpuan tangannya di atas meja kantin.

"Lo kenapa sih, Rein?" Tanya Bastian karena dari tadi Rein terlihat sangat lesu dan tidak banyak berbicara.

"Sakit perut," jawab Rein seadanya. Ya, setiap wanita pasti pernah merasakan rasa sakit itu. Apalagi di hari-hari awalan.

"Mau gue beliin obat?" Tanya Barra dan juga Sakti secara bersamaan. Bastian dan Jian langsung menatap mereka heran sedangkan Rein seperti tidak menanggapinya sama sekali.

"Wah, ada apanih, Bro?" Tanya Jian dengan nada bicaranya yang sedikit mengejek.

"Gak." Mereka kembali berbicara secara bersamaan untuk mengelak.

"Eh, lo ngikutin gue terus, ya." Mendengar itu Sakti langsung menatap Barra dan langsung menyangkalnya karena tak terima.

"Mana ada! Lo yang ngikutin gue!"

"Udah ih berisik tau gak?!" Mereka otomatis langsung terdiam setelah Rein mengeluarkan bentakannya.

Ting!

Rein membuka ponselnya ketika ia melihat ada notifikasi yang masuk dan ternyata itu adalah pesan dari kakaknya.

Kak Rendi: Dah jam 5 nih, lo belum selesai kelas?

Rein: Udah kok

Kak Rendi: Biasain langsung pulang, dong!

Rein: Hmm

Kak Rendi: Malah hahem hahem. Standby! Gue otw kampus lo.

Rein: Mau ngapain? Emang lo gak ke kantor?

Kak Rendi: Kagak. Gue gabut dari tadi diem di rumah aja, jadi ya udah gue jemput lo, deh. Kata papih gue gak perlu ke kantor dulu hari ini.

Rein: Ya udah

Kak Rendi: Entar sama gue di-chat lagi kalo udah nyampe.

Setelah selesai berbalas pesan dengan Rendi, Rein pun kembali menyimpan ponselnya. "Barra, gue pulang sendiri ya entar."

"Kenapa?"

"Katanya kak Rendi mau jemput."

"Tumben banget."

"Dia bosen di rumah katanya, jadi mau keluar aja buat jemput gue."

Rein menunggu Rendi selama setengah jam. Setelah ia mendapat pesan dari Rendi ia pun langsung pergi menuju tempat yang Rendi sebutkan.

Rein melihat ke sana ke mari hingga matanya mendapati seseorang yang duduk di atas motor dengan jaket dan juga helm yang Rein kenal.

"Itu pasti kak Rendi." Gadis itupun mendekati orang itu dan menepuk bahunya. "Ayo, Kak!" Rein langsung menaiki motornya dan mereka pun langsung pulang.

Seperempat jam lamanya mereka habiskan di perjalanan. Setelah sampai rumah, Rein pun berniat untuk masuk lebih dulu. Ia berjalan lurus ke arah pintu. Tapi, saat dia baru sampai di ambang pintu, Rein melihat ada keanehan, ia pun kembali berjalan mundur.

"Lah?" Gadis itu memasang wajah keheranannya seraya ia menunjuk pada seseorang yang tengah duduk di depan rumah sambil membaca koran. "Biasain langsung pulang dong lo kalo udah beres!"

"K-kak Rendi? Lalu, lalu, la-lalu tadi siapa?" Rein menengok ke arah orang yang telah menjemputnya tadi. Rendi berdiri dan mendekati Rein. "Kalian emang gak ngobrol selama di jalan?"

Perlahan orang itu melepaskan helm yang sedari tadi belum ia lepaskan. Rein menutup mulutnya tak percaya setelah ia menatap wajah orang itu.

"Ha-Haris?" Pria itu tersenyum lalu sedikit merentangkan tangannya. "Haris!"

Rein berlari ke arahnya lalu memeluknya dengan sangat erat. Air matanya jatuh dan hatinya mulai bisa sedikit tenang ketika mendekap erat orang yang sangat ia rindukan selama beberapa tahun ini.

Haris masih terdiam dan membiarkan Rein puas dulu menangis di dalam pelukannya. Rein tidak bisa berbicara apa-apa, ia hanya bisa mengeluarkan suara tangisnya saja untuk mewakili perasaan campur aduk yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Tangan kekar itu mengusap lembut surai hitam dan punggung gadis itu untuk menenangkannya. Rendi yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam, ia tidak pernah melihat adiknya menangis sampai seperti ini.

Perlahan pelukan mereka mulai melonggar dan akhirnya terlepas. Rein menatap Haris dengan wajahnya yang sudah sangat basah karena air matanya. Rein menangkup kedua pipi Haris dan menatap kedua maniknya.

"Makasih udah kembali." Mendengar suaranya yang parau akibat menangis, Haris tersenyum simpul lalu menghapus air mata yang masih tersisa di sana.

"Makasih udah nunggu." Perlahan Haris mendekatkan wajahnya pada Rein dan ia mengecup lama kening gadis itu. Seketika Rein teringat pada kejadian masalalu ketika Haris baru saja akan meninggalkannya waktu itu. Ya, dia melakukan hal yang sama dengan yang sekarang.

"Heh! Main nyosor aja lo!" Rein dan Haris yang lupa akan keberadaan Rendi di sana pun langsung sedikit memberikan jarak setelah mereka mendengar adanya suara yang tiba-tiba saja menginterupsi mereka berdua.

"Ah, Bang. Lo mah ngerusak suasana aja."

"Udah, mending kalian masuk, yu!" Mendengar ajakan Rendi, mereka berdua pun masuk ke dalam.

"Ris, lo pulang sendiri, kan? Gimana kalo lo tinggal aja di sini dulu selama lo ada di sini?" Rendi mencoba menawarkan hal itu pada Haris. Ya, Rendi mengetahui jika Haris sudah tidak memiliki rumah di sini setelah ia mendengar cerita dari Rein sewaktu Haris baru beberapa hari pergi meninggalkan Indonesia.

"Gak papa, Bang, gue nginep di hotel aja. Sebenernya papa sama mama ngasih izin ke guenya …," Haris melihat Rein terlebih dahulu yang ada di sampingnya sebelum ia menyelesaikan ucapannya. Ia ragu-ragu sebenarnya untuk mengucapkannya, saat ini Rein terlihat bahagia akan kedatangannya. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap mengatakannya, bukan?

"Mama sama papa ngasih izin cuma 5 hari, kalo udah 5 hari gue harus balik lagi." Wajah Rein menjadi terlihat kecewa setelah ia mendengar perkataan Haris yang itu.

"Kirain gak bakal ke sana lagi." Sejujurnya Rein memang berpikir seperti itu. Ia mengira pulangnya Haris adalah untuk kembali menetap di sini dan bukan untuk pergi lagi.

"Gak papa, mending lo di sini aja. Ngapain di hotel segala? Udah di sini aja, mamih sama papih juga udah izinin, kok."

"Iya, Haris di sini, ya? Kan Haris gak ada siapa-siapa lagi di sini. Ada kamar tamu kok, kamu bisa tidur di sana. Atau gak juga kamu bisa tidur sama Rendi kalau mau." Nayra yang saat itu baru kembali dari dapur langsung menimpali pembicaraan mereka. Haris nampak berpikir, ia tidak enak sebenarnya dan takut merepotkan juga nantinya. Tapi di sisi lain juga, ia tidak enak jika menolaknya.

"Ya udah deh. Tapi maaf ya kalo nanti Haris ngerepotin Tante."

"Enggak kok, Tante seneng banget karena Rein keliatan bahagia banget saat kamu ada di sini."

"Ih Mamih peka deh." Rein tersenyum senang ke arah ibunya tersebut.

• • •

Saat malam hari telah tiba, Rein dan Haris mengobrol berdua di depan rumah. "Selama gue gak ada, apa aja yang lo lakuin?"

"Mau tau?" Haris hanya menganggukkan kepalanya saja sebagai balasan. "Makan, tidur, belajar, dan nungguin kabar dari lo."

Haris sedikit tertawa lalu ia sedikit mengusak rambut gadis itu. "Apa sih? Itu doang?"

"Heem. Ris, nanti kita ketemu teman-teman, ya? Mereka pasti kangen juga sama lo."

"Oke. Oh iya." Haris mengambil sesuatu dari dalam saku jaketnya—sepasang gelang couple. Haris memakaikan salah satu gelang itu pada tangan sebelah kiri Rein.

"Coba lo liat, ini adalah nama gue yang ditulis dengan huruf Hangul. Dan ini punya gue." Haris menunjukkan gelang yang satunya lagi pada Rein. Ya, gelang yang akan dia pakai. "Di gelang yang bakal gue pakek juga ada nama lo yang ditulis dengan huruf Hangul. Gue beli ini pas gue ke Korea waktu itu, waktu ketemu sama Jifran dan Erin."

Rein tersenyum seraya memperhatikan gelang yang berwana hitam dan merah itu. "Bakal gue jaga dengan baik. Makasih, Haris. Gue sayang sama lo."

"Gue juga sayang sama lo."

'Tap Tap.'

Langkah seseorang terhenti ketika ia melihat gadis yang sedang ingin ia temui itu sedang berduaan dengan seseorang di depan rumahnya. Ia pun memutuskan untuk menghentikan niatnya dan langsung memutar kembali langkahnya untuk menjauh dari rumah itu dengan seekor kucing yang masih ada di gendongannya.

"Kayanya gue harus istirahat dulu dari pengejaran gue ini. Arbi, ketemu bundanya nanti aja, ya?"

•To be Continued•