webnovel

pulang bersama

Andi masih saja memikirkan tentang tugas kelompok itu sekali pun sudah berkonsultasi langsung dengan guru bersangkutan. Bahkan guru perempuan itu pun mengatakan bahwa Andi bisa mengambil tugas lain untuk memenuhi nilai tugas kelompok itu.

Hanya saja bocah ini adalah Andi, sehingga dibanding mengambil tugas lain yang lebih mudah untuk dikerjakan sendiri, dia malah memilih untuk mengerjakan tugas kelompok itu secara individu.

Bela yang melihat itu hanya bisa jalan-jalan kepala merasa heran. Bagaimana bisa ada makhluk seperti dia? Kalau dia yang ada di posisinya pasti akan mengambil kemudahan yang ditawarkan.

"Kenapa kau tidak mau ambil tugas lain saja?" Bela bertanya heran.

Kali ini dari situ duduk di kursi yang sempat direbutkan gadis-gadis beberapa waktu lalu.

Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Seisi kelas sudah kosong, hanya tinggal Andi dan Bela saja. Bela tadinya sudah akan pulang, tapi Andi menyuruhnya untuk menunggu beberapa saat.

"Aku ingin mengerjakan tugas yang sama dengan anak-anak lain. Aku tidak mau ketinggalan pengalaman kalian," ujar Andi dengan senyum lebar seakan-akan yang dia katakan itu adalah hal umum.

"Pengalaman apanya? Itu hanya tugas kelompok saja," ujar Bela tidak habis pikir. "Ngomong-ngomong, kenapa kau menyuruhku menunggu dulu? Apa ada sesuatu?"

Tadi besok sudah sangat senang akan meninggalkan sekolah. Tetapi Andi memintanya untuk menunggu di kelas bersama dirinya. Hanya saja dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang Andi tunggu.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin pulang setelah sekolah sepi. Supaya tidak ada orang-orang yang memperhatikan tiap langkahku." Andi masih tersenyum saat mengatakan hal itu. Hanya senyum biasa. Dan Bela langsung paham apa yang dimaksud laki-laki itu.

"Apa kau tidak suka menjadi terkenal?" tanya Bela.

Gadis itu tidak benar-benar ingin tahu. Karena setahu dirinya setiap hal memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Pasti hal yang sama dirasakan oleh Andi mengenai kepopulerannya itu.

Andi menipiskan bibir. Tampak memikirkan jawaban.

Setelah beberapa saat baru dia menjawab, "Kadang aku menyukainya, kadang aku juga membencinya."

Setelah mengatakan itu Andi terkekeh sendiri. Merasa geli dengan ucapannya yang menurut dia terlalu dramatis.

Sementara Bela mengangguk-angguk karena sudah sesuai dengan dugaannya. Selalu ada sisi positif dan negatif dari sesuatu. Andi sedang merasakan negatif dari kepopulerannya itu.

"Jadi sekarang kau sedang membenci kepopuleranmu?" tanya Bela yang langsung disetujui oleh Andi.

Bocah laki-laki itu mengangguk tanpa membuang waktu untuk berpikir lebih dulu. "Kau lihat saat jam istirahat tadi? Terlalu banyak orang yang mendatangiku. Aku tidak mengira kalau aku bisa menarik perhatian orang sebanyak ini."

Tadi bahkan ada anak-anak yang baru mengintip dari jendela karena tidak bisa memasuki kelas tersebut. Semua orang benar-benar menyukai kepindahan Andi ke sekolah itu.

Seakan-akan tadi mereka semua mendatangi Andi untuk mengucapkan selamat datang di sekolah tersebut. Dari kakak kelas, adik kelas, sampai teman seangkatan, semuanya berkumpul untuk melihat sosok Andi.

Tidak ketinggalan beberapa guru yang cukup update dengan kehidupan internet pun ikut mengintip sosok Andi meskipun hanya sekilas saja.

"Pengikutmu di media sosial kan memang sudah banyak. Harusnya kau tidak terkejut jika didunia nyata ada banyak gadis yang mengikutimu juga."

"Rasanya berbeda," Andi berkata pahit meski pun tetap tersenyum. "Saat ada satu akun yang mengikuti akunmu di media sosial, rasanya sangat berbeda dengan satu orang yang mengikutimu ke kelas saat sekolah."

Bela tidak bisa menahan tawa. Sekali pun dia tahu itu bukan tempat yang tepat untuk tertawa, tapi dia terlalu mengasihani Andi, sehingga tawanya lepas begitu saja.

Dahi Andi berkerut. "Kenapa kau malah tertawa?"

"Aku kasihan padamu," jujur Bela.

"Apa kau selalu menertawakan hal yang kau kasihani?" tanya Andi dengan bingung. Sepertinya baru kali ini dia bertemu dengan orang yang menertawakan orang yang dia kasihani.

"Tidak, tidak. Abaikan saja kelakuanku ini." Bela berusaha meredakan tawanya. Dia mengatur napas supaya tidak kelepasan tertawa lagi. Kemudian dia mengelap matanya yang berair.

Andi geleng-geleng dibuatnya.

"Eh, sepertinya sudah sepi. Ayo pulang," ajak Bela yang langsung bangkit berdiri dan berjalan tanpa ragu meninggalkan kelas tersebut.

Sementara Andi di belakangnya harus melihat kanan kiri lebih dulu sebelum mengambil langkah. Dia harus sangat berhati-hati karena takut ada kerumunan gadis lagi yang menyergapnya seperti tadi di jam istirahat.

Andi merasa trauma dengan hal tersebut. Dia bergidik membayangkan hal itu. Cukup satu kali saja dia merasakan itu. Dia tidak mau kejadian serupa lagi.

"Ayo, cepatlah," seru Bela saat sadar Andi berjalan terlalu lambat, "Sudah tidak ada siapa-siapa."

Benar kata Bela. Sudah tidak ada siapa-siapa. Sekolah itu sudah sangat sepi dan hanya tinggal anak-anak penggiat ekstrakurikuler, yang mana mereka berada tidak memiliki minat berlebih pada Andi.

Mereka pun langsung melesat ke parkiran. Andi mengambil motornya dan Bela pun naik di belakangnya. Kemudian mereka membelah jalan menuju rumah mereka yang berada di lingkungan yang sama.

Dalam perjalanan Bela bertanya, "Kenapa kau menyuruhku untuk menemanimu tadi? Kenapa kau tidak menunggu sendiri saja?"

"Apa aku mengganggumu? Aku sudah menghabiskan waktu berhargamu?" tanya Andi dengan bahasa yang dibuat berlebihan.

Mereka berdua pun menertawakannya. Tertawa sambil menghadapi angin yang menampar wajah mereka di sepanjang perjalanan pulang itu.

"Sejujurnya, kau memang menggangguku. Aku sudah ingin pulang tapi kau membuatku menunggu." Bela tidak suka jika harus berpura-pura baik pada orang lain, dia pun mengatakan yang sebenarnya tanpa merasa ragu sedikit pun.

Dia hanya terlalu sering berbuat baik pada orang dan kemudian orang-orang itu akan melunjak, meminta lebih tanpa tahu diri. Sejak saat itu pun gadis itu berusaha untuk mengatakan yang sejujurnya jika dia mulai tidak nyaman akan sesuatu.

"Maafkan aku. Ini hari pertamaku pindah sekolah, jadi kupikir bukan lebih baik jika ada orang yang menemaniku," ujar Andi menyesal.

Tetapi dia juga tahu bahwa gadis yang sedang dia panjang itu bukanlah sosok pendendam. Bela meskipun berkata bahwa dia terganggu, dia masih sanggup untuk memaklumi hal yang terjadi di sekitarnya itu.

"Baiklah. Anggap saja ini sebagai hadiah kepindahanmu ke sekolah kita," ujar Bela setengah melantur. Pikirannya sudah tidak fokus. Dia sudah membayangkan tentang rumah, dan masakan yang dibuat oleh ibunya, serta air segar yang akan membersihkan seluruh keringat yang menempel di kulit.

Andi tersenyum senang. Dia mengikuti ucapan melantur Bela, "Terima kasih hadiahnya."

Bela menepuk bahu laki-laki itu sebagai respon. Selanjutnya yang ada dalam perjalanan itu hanyalah keheningan.

Mereka berjuang membiarkan angin yang berhembus menyapa mereka. Sekali pun angin itu pasti dipenuhi oleh polusi kotor, tapi mereka membiarkannya saja.

"Bela," panggil Andi begitu menurunkan gadis itu di depan rumahnya.

"Apa?"

Andi memandang gadis itu. Berkedip beberapa kali. Lalu melengos.

"Tidak jadi," ujarnya sebelum melaju ke rumahnya sendiri. Meninggalkan Bela yang melongo setelah dibuat penasaran.