webnovel

pertengkaran pagi

"Riki!" Bela melambai dengan penuh semangat saat melihat teman sebangkunya yang berada beberapa langkah di depannya.

Riki menoleh ke belakang. Namun begitu mengetahui yang memanggilnya adalah gadis itu, dia pun langsung kembali memandang ke depan dan melanjutkan jalannya menuju kelas. Tidak mempedulikan Bela yang kesulitan menyamakan langkah dengan dirinya.

"Tidak bisakah kamu menungguku?" gadis itu menggerutu.

Padahal jam masuk masih lama. Mereka tidak akan terlambat meskipun berjalan dengan menurunkan kecepatan. Sepertinya teman sebangkunya itu masih menghindari dirinya. Sehingga tidak mau menurunkan kecepatan hanya untuk menunggu gadis itu menyejajarkan langkah.

"Riki, apa kau masih kesal padaku?" Bela bertanya langsung. Dia sudah menahan diri agar tidak menanyakan hal ini sejak beberapa waktu terakhir. Takut malah membuat Riki semakin kesal. "Aku minta maaf kalau begitu. Ayo kita baikan."

"Baikan?" Riki mendengus. "Tidak ada yang bisa diperbaiki di antara kita."

"Kenapa kau drama sekali? Tidak usah berlebihan, deh. Kau marah karena aku terus menolak mengerjakan tugas, kan? Kalau begitu aku minta maaf. Ayo kita kerjakan tugas itu bersama-sama dan melupakan semua kelakuanku sebelumnya." Bela mengambil napas setelah mengatakan semua kalimat itu dengan begitu cepat. "Itu yang aku sebut sebagai baikan."

Riki menggosok telinganya. Berlagak seakan kata-kata Bela telah membuat telinganya terasa gatal. Dia juga sedikit mempercepat langkahnya supaya tidak untuk berjajaran dengan gadis itu.

Tetapi dengan cepat Bela langsung menyamakan langkahnya lagi dengan sang teman sebangku. "Lihatlah, kau benar-benar mengabaikanku. Ck."

Riki memutar bola mata dan tidak memberikan perhatian lebih pada gadis itu lagi. Dia merasa tidak ada gunanya untuk memberi atensi pada Bela. Gadis itu sudah terlanjur membuatnya merasa kesal. Jadi dia tidak berpikir akan memaafkannya dengan mudah.

Tingkah gadis itu juga benar-benar membuatnya muak beberapa hari yang lalu. Saat gadis itu menolak untuk mengerjakan tugas baik di hari libur maupun di hari biasa, Riki sudah habis kesabaran.

"Kau sadar kalau kau sendiri yang memulainya?" Riki berhenti di koridor yang sepi. Otomatis Bela juga ikut berhenti. "Kau yang lebih dulu menghindariku dan mengabaikanku."

Bela meringis. Sadar kalau apa yang dikatakan oleh laki-laki itu memang benar, memang dia sendirilah yang memilih semua ini.

Dia tidak ingin membela diri, tapi di saat bersamaan dia juga tidak ingin disalahkan. Mereka berdua sama-sama tahu ada apa di antara mereka. Dan Bela yakin kejadian di antara mereka dulu lebih dari cukup untuk dijadikan alasan bagi dirinya untuk menghindari Riki.

Gadis itu tidak ingin disalahkan dengan sikapnya yang menghindar dari teman sebangku itu.

"Berhenti menyalahkanku. Aku menghindarimu setidaknya karena alasan yang jelas," Riki membela dirinya sendiri.

Tanpa sadar kalimatnya itu berhasil menyulut emosi Bela.

Gadis itu tahu kalau Riki menghindarinya Karena dia sudah berbuat kurang ajar pekan lalu. Dia sudah mengetes kesabaran bocah laki-laki itu. Bahkan dia juga bermain-main dengan tugas kelompok mereka. Wajar jika Riki merasa kesal padanya dan memilih mengabaikan dirinya.

Namun mendengar kalimatnya barisan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak meledak.

"Aku juga memiliki alasan yang jelas untuk menghindarimu!" seru gadis itu tidak terima, "Kau tahu benar apa yang sudah terjadi. Mana mungkin aku bisa bersikap biasa-biasa saja di sekitarmu?"

"Memang sesulit apa sih untuk bersikap biasa saja di sekitarku? Apa sesulit itu untuk mengabaikan semua yang sudah terjadi di masa lalu?" Riki bertanya dengan tegas, dipenuhi dengan separuh kekesalan.

Dia tidak tahu bagaimana cara bekerja hati dan pikiran Bela. Yang jelas disaat mereka harus berakhir menjadi teman sebangku, maka pada saat itu mereka harusnya bisa mengabaikan semua hal yang berpotensi mengganggu kelancaran pembelajaran mereka satu tahun ke depan.

Tidak peduli apa yang sudah terjadi di antara mereka sebelumnya, Riki berpikir lebih baik untuk mengabaikannya.

"Mana bisa aku mengabaikannya?!"

Hening.

Bahkan anak-anak yang lewat pun tidak mengeluarkan sepatah kata pun di sekitar mereka. Semuanya benar-benar hening, tanpa suara. Seakan-akan dunia sedang memberikan waktu dan tempat bagi mereka berdua untuk saling berargumen.

"Apa kau masih belum bisa melupakanku?" tanya Riki dengan suara pelan nyaris tanpa emosi.

Mata bocah lelaki itu mengunci pandangan Bela agar tidak menatap ke arah lain selain ke arahnya.

Bela tidak bisa mengalihkan pandangan karena sosok di hadapannya itu membuatnya membeku. Bahkan lidahnya juga membeku, tidak bisa bergerak untuk mengucap kata apa pun.

Sehingga pertanyaan Riki menggantung tanpa bertemu dengan jawaban.

"Bela, kau—"

"Bela!"

Mereka berdua tersentak. Kompak menoleh ke sumber suara.

Di sana seorang lelaki sedang menghampiri Bela dengan wajah sumringah. Bocah laki-laki itu menurunkan lembaran tangannya setelah Bela melihat dirinya.

Begitu sampai di hadapan Bela, bocah laki-laki itu menyapa Riki lebih dulu, "Oh, hai, Riki." Diia menambahkan lambaian kecil dan senyum cerah di pagi hari itu.

Setelah itu dia pun kembali fokus pada Bela dan berkata, "Aku ke rumahmu tadi. Ternyata kau sudah berangkat dengan ayahmu."

"Mau apa kau ke rumahku?"

"Biar bisa berangkat ke sekolah bersama," jawab Andi dengan enteng. Dia tidak memperhatikan Riki yang tampak kesal mendengar alasan itu.

"Ah, begitu?" Bela hanya mengangguk-angguk. "Aku memang selalu berangkat bersama ayahku. Harusnya kau mengabari dulu kalau mau memberiku tumpangan."

Dia tidak menyangka kalau Andi, sosok yang begitu populer di sekolahnya, akan datang pagi hari untuk menjemput dirinya. Kalau saja dia masih tidak tahu tentang kepopuleran laki-laki itu, aku saat ini dia hanya akan berpikir bahwa Andi adalah seorang anak tetangganya yang menawarkan tumpangan.

"Lain kali aku akan menelepon lebih dulu," Andi berkata lebih kepada dirinya sendiri. Seperti sebuah pengingat dalam pikiran, membuat catatan supaya tidak lupa melakukannya lain waktu.

Bela mengangguk sebagai respon.

"Ayahmu selalu berangkat pagi sekali. Memangnya kau tidak terburu-buru apa?" dengan penasaran Andi bertanya.

Dia berangkat sekitar tiga puluh menit lebih lama daripada Bela. Membayangkan dia harus bangun setengah jam lebih pagi demi bisa berangkat bersama sang ayah sudah membuat dia merasa pusing. Dia tidak suka jika harus bangun terlalu pagi.

Udaranya terlalu dingin dan juga waktu tidur yang berkurang. Andi saya tidak mau mengorbankan waktu tidurnya di pagi hari Mengingat dia sering begadang semalaman untuk belajar.

"Aku sudah terbiasa berangkat pagi. Jadi aku juga bangun lebih pagi supaya persiapannya tidak begitu terburu-buru," ujar Bela yang tak mengapa terdengar seperti too much information, alias TMI.

"Ah, begitu?"

"Ehem …," suara Riki berdeham membuat percakapan antar tetangga itu terhenti. Riki mengingatkan mereka berdua, "Sudah hampir jam masuk. Ayo cepat ke kelas."

Dan tidak ada yang menyadari kecemburuan Riki, bahkan dirinya sendiri sekali pun.