webnovel

menolak anak baru

Hari yang ditunggu-tunggu Fina akhirnya tiba. Setelah menghabiskan akhir pekan dengan terus meneror Bela agar memberikan nomor si anak baru— yang mana tidak membuahkan hasil karena Bela terus menolak —Fina akhirnya berkesempatan untuk bertemu langsung dengan anak itu.

"Halo semua, saya pindahan dari sekolah sebelah. Panggil saja Andi. Senang bertemu dengan kalian," bocah lelaki itu memperkenalkan diri dengan begitu formal.

Tapi semua gadis di kelas itu menyukainya. Semua tidak bisa melepas pandang dari si anak baru yang masih berdiri di depan kelas. Dia menebar senyum manis yang mampu membius semua gadis yang melihatnya.

Kecuali Bela.

Gadis itu merasa aneh saat sadar semua orang begitu terpesona dengan tetangganya. Bela yang biasa melihat sosok itu di sekitar rumahnya, tidak pernah menyangka ternyata dia memiliki banyak sekali penggemar.

"Silakan duduk, Andi," guru mempersilakan Andi untuk duduk di bangku yang disediakan oleh pengurus sekolah kemarin. Bangku tambahan yang kebetulan letaknya ada di sebelah bangku Riki dan Bela.

Tadinya, bangku Riki dan Bela menjadi satu-satunya yang di belakang, tidak memiliki saf di sampingnya.

Sekarang ada satu bangku lagi di saf mereka. Bangku itu yang harusnya diisi oleh dua orang murid, hanya diisi oleh Andi sendirian. Kursi di sebelah laki-laki itu kosong.

Tebakan Bela, pasti kursi itu akan jadi rebutan anak-anak yang ingin mendekati Andi. Bela sudah bisa membayangkan betapa ribut itu nantinya.

"Hai," sapa Andi dengan suara lirih.

Bela tersenyum dan mengangguk. Bukannya sombong, dia hanya tidak mau mengeluarkan suara yang bisa mengganggu pelajaran. Karena di depan sana sang guru sudah langsung memulai mengajar. Tidak peduli meski anak-anak masih sibuk mengagumi si anak baru.

***

Waktu berlalu dan sambil pelajaran selesai. Sekarang waktunya istirahat, dan persis seperti yang Bela tebak, bangku di sebelah Andi langsung ramai oleh orang yang berebutan duduk di sana.

Para gadis entah dari kelas mana saja mengerubungi sosok itu. Mereka semua menatap Andi seakan laki-laki itu adalah sosok yang patut dipuja.

Bela menghela napas karena ketika temannya juga berada di kerumunan itu. Fina, Kira, dan Bintang. Mereka bertiga ikut-ikutan saja saat orang-orang mulai mengerubungi Andi.

Bela masih duduk diam di tempat duduknya. Di sebelahnya ada Riki yang kurang lebih merasa sama, merasa heran dengan kerumunan di sebelah mereka itu.

"Katanya kau tetangganya?" Riki bertanya.

Bela menoleh pada teman sebangkunya itu. Padahal sudah sejak hari Jumat lalu dia mengabaikan Bela. Tidak mau bicara dan tidak membalas pesan-pesan yang dikirimkan oleh gadis itu.

Itu adalah kalimat pertamanya setelah beberapa waktu.

Bela menjawab, "Benar. Aku tidak tahu ternyata dia seterkenal itu."

"Bagaimana bisa kau tidak tahu? Kau kan tetangganya," ujar Nata yang membuat gadis itu teringat akan percakapannya dengan teman-teman saat sepulang sekolah.

Dahi Bela berkerut tidak suka. "Kenapa semua orang selalu berpikir begitu? Aku ini hanya tetangganya, tidak mungkin aku tahu semua hal tentang dia. Kau pikir aku paparazi, hah?"

Bela tiba-tiba saja merasa kesal dengan hal tersebut. Semua orang yang tahu bahwa dia tetangganya selalu menyalahkannya karena tidak mengetahui popularitas yang dimiliki oleh Andi.

Padahal Andi sendiri yang tidak mengumbar popularitasnya di media sosial ke orang-orang di sekitarnya. Wajar saja Bela tidak tahu.

"Kau tidak ke kantin?" Bela bertanya anak kelas itu sekarang didominasi oleh anak-anak gadis yang penasaran dengan sosok Andi.

Hanya ada beberapa anak laki-laki saja di sana. Itu sudah termasuk Andi sendiri dan juga Riki.

Riki hanya menggeleng tanpa mengalihkan mata dari game di ponselnya. Secara tidak langsung berkata 'tidak' untuk menjawab pertanyaan Bela barusan.

Bela berdecak karena teman sebangkunya itu kembali mengabaikannya lagi. Sebaiknya mereka akan kembali berperang dingin untuk beberapa waktu ke depan. Bela perlu bersiap-siap untuk itu.

Suara bel terdengar.

Jam istirahat selesai dan kerumunan pun bubar. Semua murid kembali ke kelasnya masing-masing, meninggalkan sosok Andi yang kehadirannya telah mengundang mereka datang ke ruangan tersebut.

Setelah keadaan jauh lebih sepi, Andi memanggil Bela.

Bela menoleh. "Ya? Ada apa?"

"Aku dengar katanya ada tugas kelompok. Memang benar ya?" Andi menatap Bela menunggu jawaban dari gadis itu.

Bela dulu pernah satu sekolah dengan Andi saat masih sekolah dasar. Sehingga dia tidak heran saat laki-laki itu langsung menanyakan mengenai tugas pada hari pertamanya pindah sekolah.

Padahal jika dia tidak mengerjakan tugas itu pun sepertinya guru masih bisa membiarkannya. Toh, dia adalah murid yang baru pindah. Jadi masih bisa dimaklumi. Entah dia kelewat rajin atau bagaimana.

"Iya benar, memang ada tugas kelompok," Bela menjawab apa adanya.

Mendadak Dia teringat dengan tugas kelompoknya yang masih terlantar. Dia dan Riki masih belum mengambil langkah apa pun. Lembar kerja mereka masih lah polos dan bersih.

"Bolehkah aku ikut kelompokmu?" Andi bertanya tiba-tiba.

"Hah?" Bela kebingungan.

Tugas tersebut diberikan untuk teman sebangku. Satu kelompok terdiri dari dua orang karena sebelum kehadiran Andi jumlah anak di kelas tersebut. Tetapi sekarang karena jumlah anaknya berubah menjadi ganjil, maka ada satu anak yang tidak kebagian kelompok.

Dan itu sudah jelas Andi karena dia lah yang baru bergabung ke kelas hari ini.

Bela tidak yakin dia bisa membiarkan orang lain ikut kelompoknya. Dia tidak bermaksud pelit hanya saja setahunya satu kelompok memerlukan dua anak saja. Jadi dia tidak berani mengubah kelompok yang sudah diresmikan sejak awal.

Melihat gadis itu tidak kunjung menjawab, Andi pun mulai merasa aneh. Dia berkata, "Tenang saja, aku akan ikut mengerjakan dan tidak hanya numpang nama. Aku janji."

"Bukan begitu," sergah Bela. Gadis itu bukannya memikirkan tentang hal tersebut. Toh, dia tahu bahwa Andi adalah anak yang cukup pintar dan rajin. Dia tidak mungkin hanya numpang nama di sebuah kerja kelompok.

"Lalu kenapa? Apa jumlah kelompok yang sudah pas? Tidak bisakah aku ikut?" Andi kembali meminta.

Padahal, sungguh, jika dia tidak mengurusi tugas itu pun guru tidak akan memarahinya dengan berlebihan. Sepertinya sifat rajin memang sudah ada di dalam darahnya. Mengalir dalam tubuhnya dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Sudah tampan, pintar, dan juga rajin. Tidak kalau laki-laki itu terlalu serakah selalu memiliki berbagai macam kelebihan?

Bela mendadak sadar betapa berbedanya dia dibandingkan dengan tetangganya itu.

"Tugas ini untuk teman sebangku. Sepertinya kau harus mengerjakannya tanpa teman kelompok berhubung kau duduk sendirian." Bela meringis, merasa sedikit tidak enak harus memberitahukan hal itu kepada Andi.

Andai saja dia mengangkat berkelompok dengan gadis lain, maka gadis itu pasti akan langsung setuju bukannya menolak seperti yang dilakukan oleh Bela.