webnovel

diabaikan di parkiran

"Kau mengenalnya, Bel?" Fina bertanya tidak sabar begitu si anak baru sudah pergi meninggalkan mereka.

Mereka semua kecuali Bela merasa terkejut saat anak baru yang ternyata bernama Andi itu ternyata mengenal Bela dengan cukup baik. Jika harus jujur mereka sebenarnya masih tidak begitu percaya.

Bayangan saja seorang selebgram terkenal ternyata adalah kenalan dari temanmu sendiri. Mereka bertiga benar-benar terkejut dengan fakta tersebut.

Andi sendiri langsung pergi setelah berbasa-basi singkat dengan Bela.

Andi katanya punya urusan di sekolah yang perlu dia selesaikan terlebih dulu sebelum minggu depan bisa memulai pelajaran. Andi datang bersama ayahnya. Dara mengenal ayah Andi, tapi karena lelaki paruh baya tersebut sudah terlebih dahulu ke ruang guru, Dara pun tidak sempat menyapa.

"Kami tetangga. Aku tidak tahu kalau dia ternyata terkenal," jawab gadis itu dengan santai. Dia menghentikan bahu untuk menegaskan bahwa dia memang tidak tahu mengenai ketenaran yang dimiliki oleh Andi.

"Bagaimana bisa kau tidak tahu? Kau bilang kau tetangganya!" Fina yang sejak tadi paling bersemangat masalah anak baru pun sekarang masih juga bersemangat meneror Bela dengan pertanyaannya yang tidak ada habis-habisnya itu.

Bela tidak begitu terpengaruh dengan Fina yang sudah mulai ngegas. Dia masih bisa menjawab santai, "Aku hanya tetangganya, bukan paparazi yang mencari tahu segala hal tentang dia."

"Setidaknya kau harus orang seperti apa tetanggamu itu," ujar Bintang. Gadis itu hanya mendadak teringat dengan kehidupan sosial zaman sekarang yang cenderung tidak mempedulikan sekitar. Mereka bahkan tidak akan menyadari jika mereka bertetangga dengan orang yang buruk.

"Sekali pun aku tidak tahu kalau dia punya pengikut ratusan ribu di akun media sosialnya, tapi aku tahu kok dia orang seperti apa," balas Bela. Gadis itu masih bisa menjaga kesantaian dalam nada bicaranya.

Seakan-akan dia memang jago berbicara dengan nada tersebut. Ada pertanyaan macam apapun yang dilontarkan kepada dirinya dia akan tetap menjawab dengan begitu santai tanpa merasa terbebani sedikitpun.

"Seperti apa memang?" Kira bertanya. Dia dan dua gadis lainnya langsung mendekatkan telinga pada Bela, penasaran dengan jawaban yang akan gadis itu berikan.

"Baik. Dia anak baik," jawab Bela singkat tanpa berpikir lebih dulu.

Semua orang di lingkungan tempat tinggalnya tahu bawa Andi memanglah anak yang baik. Jadi dia tidak perlu berpikir hanya untuk mengatakan hal tersebut. Jika ada yang bertanya bagaimanakah Andi sebenarnya, maka jawabannya dia adalah anak yang baik.

Percayalah semua orang akan setuju akan hal tersebut. Sekalipun kebaikan Andi bukanlah sesuatu yang sebaik malaikat, tetapi sejak kecil dia tidak pernah membuat masalah. Sehingga dibandingkan dengan anak-anak tetangga lain yang sangat sering rusuh, Andi jauh lebih baik.

Dari situlah orang-orang mulai mengenal Andi sebagai sosok anak yang baik.

"Itu saja?" Fina bertanya tidak puas. Dia masih menunggu jawaban lain. Karena jawaban Bela yang hanya membahas sifat baik saja, membuat dia merasa kurang.

"Dia sungguh baik tahu," balas Bela.

"Ya, ya, ya. Dia baik. Tetanggamu itu anak yang baik. Kami percaya," Kira berujar karena terus saja mendengar kata baik dari mulut temannya itu. Dia berujar demikian untuk menutup mulut Bela yang membahas satu hal yang sama tanpa benar-benar paham apa yang sebenarnya ingin mereka dengar tentang Andi.

Mereka ingin tahu seperti apa Andi di kehidupan sehari-hari. Apakah dia selalu tampak tampan seperti di postingan media sosialnya? Apakah semua hal baik dan positif yang dia bagikan pada pengikutnya memang dia lakukan juga di kehidupan nyata? Apakah semua tentang dia di media sosial memang benar atau hanya rekaan semata?

Hal-hal seperti itu yang kurang lebih ingin mereka ketahui.

"Kau punya nomor ponsel Andi?" Fina bertanya saat mereka sudah berada di lorong terakhir yang perlu mereka lewati untuk mencapai gerbang. Suasana di sana sudah sangat sepi.

Bela mengangguk. "Tentu saja."

Mereka berada di grup chat RT yang sama. Entah bagaimana ceritanya mereka bisa masuk ke dalam grup chat semacam itu, di saat mereka berdua sama-sama tidak begitu aktif di kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.

Tetapi lewat grup chat itulah mereka menyimpan nomor ponsel masing-masing. Dan sekali pun mereka tidak pernah chatting, setidaknya sekarang mereka menjadi penonton story satu sama lain.

"Bagikan padaku, please," pinta Fina dengan memelas. Dia menatap Bela dengan mata yang dibuat sok berkaca-kaca.

Tetapi wajah memelas itu tidak berpengaruh pada Bela. Gadis itu seakan tidak bisa dipengaruhi oleh apa pun di sekitarnya. Dia masih bisa tenang dan santai meski temannya sudah memelas segitunya.

"Kenapa tidak minta sendiri saja? Toh, kita semua akan jadi teman sekelas," ujar Bela, benar-benar tidak mempedulikan Fina yang sudah semaksimal mungkin merebut simpati gadis itu. Bela tidak terpengaruh sama sekali.

"Kita baru bisa menemuinya hari Senin. Aku tidak mau menunggu berhari-hari, rasanya sudah tidak sabar untuk mengirim pesan padanya," Fina beralasan.

Minatnya terhadap lelaki tampan tidak bisa dia tahan. Terlebih karena dia akan menemui selebgram secara langsung. Dia tidak bisa menunggu meski hanya beberapa hari.

Bela geleng-geleng dengan kelakuan teman sekelasnya itu. "Dasar gila. Kau hanya perlu menunggu sampai akhir pekan selesai. Bersabarlah."

Fina meraih tangan Bela dan membiarkan matanya seperti mata anak anjing yang meminta dikasihani.

"Tidak bisakah kau memberikan nomornya saja?" Fina memohon dengan sok imut. "Aku benar-benar ingin dekat dengan dia."

Tapi Bela malah menarik tangannya lepas dari genggaman Fina.

"Aku duluan, ya? Sampai jumpa!" seru Bela sambil melambai menjauh.

Fina terkejut dengan gerakan cepat gadis itu. Dia memanggil, "Bela—!"

Gadis yang dipanggil sudah melesat ke area parkir yang ramai. Kendaraan yang kebanyakan roda dua berseliweran dikendarai anak-anak yang sudah tidak sabar untuk pulang.

Bela tersenyum saat mendapati orang yang dia cari.

"Riki!" Dia menepuk bahu laki-laki itu.

Bocah laki-laki yang sedang memakai helm itu menoleh. Tapi setelah tahu gadis yang memanggilnya adalah Bela, dia pun melengos begitu saja.

Bela menghela napas meski pun diabaikan. Sadar kalau dia sendiri yang sudah membuat Riki kesal pada dirinya.

Dia pun bertanya, "Besok jam berapa?"

"Apanya?" Riki balik bertanya tanpa melirik gadis itu sedikit pun.

Bela menarik napas dalam-dalam. Menjaga diri agar tidak lepas emosi. Sudah cukup tadi di kelas mereka bertengkar. Sekarang jangan lagi. Dia harus mengalah demi kebaikan mereka bersama.

"Kau bilang mau mengerjakan tugas, kan?" Bela memaksakan senyum yang tampak sangat palsu. "Jadinya jam berapa?"

Setelah sekian menit, Riki menatap Bela dengan benar juga pada akhirnya. Dia menatap gadis itu dengan tatapan lelah dan muak.

"Bukannya kau tidak mau mengerjakannya?" Riki berujar sarkas.

"Aku hanya bercanda," Bela mencoba mencairkan suasana. Tapi sepertinya itu gagal.

"Bercandamu tidak lucu, Bel."

Dan setelah mengatakan itu, Riki pun pergi meninggalkan Bela yang semakin merasa bersalah.

Gadis itu bertanya pada diri sendiri, "Apa aku sudah keterlaluan, ya?"