webnovel

Bab 9. Bagaimana Bisa Kau Masih Tertawa?

Anjani tersenyum riang ketika Altair memasuki ruang tamu mereka, dengan manja ia menyambut pria itu. Sedikit merengut ketika Altair menolak saat ia mencoba memegang lengannya. Afon yang melihat hal itu bergegas menyambut Altair, menyalaminya dengan tawa lebar yang membuat Altair merasa mual.

Bagaimana dia masih bisa tertawa selebar itu sementara anak perempuannya yang lain tengah menderita luka-luka yang luar biasa menyakitkan? Apakah pria ini tahu bahwa anak tirinya mencoba memperkosa putrinya? Dan apakah ia tahu bahwa putri yang tengah ia pandangi dengan penuh pemujaan itu selalu menyakiti putrinya yang lain? Bagaimana ia memandang Vipera?

Pertanyaan itu menggelitik benak Altair ketika mereka duduk. Ia menggeser tubuhnya ketika Anjani duduk merapat padanya. Tapi gadis itu tetap tersenyum sekalipun Altair sudah menyiratkan penolakannya dua kali. Ia menggeser tubuhnya hingga Altair duduk di ujung sofa dan berdiam diri disana sambil menahan kesal.

"Cukup Anjani, jangan bertingkah seperti kanak-kanak," akhirnya ia tak tahan dan meminta Anjani menjauh darinya. Afon yang sedari tadi menganggap mereka lucu karena sedang bertengkar terkejut dengan sikap Altair.

"Ah, dia hanya merindukanmu," ujar Afon dengan tawa. Felicia yang muncul tak lama kemudian ikut tersenyum melihatnya.

"Yah, dia sangat bersemangat begitu tahu kau bersedia datang," ungkapnya. "Setelah beberapa hari terakhir ia lebih banyak menangis karena kau tiba-tiba menyatakan memutuskan pertunangan."

Altair menatap kedua suami istri itu, "saya masih tetap pada keputusan itu," ucapnya. "Saya tidak berniat meneruskan pertunangan kami. Dan jika saya datang pada hari ini, hanya karena ada yang ingin saya ketahui dari kalian."

Afon dan Felicia saling memandang sebelum melirik pada Anjani yang terlihat kesal. "Ah, hubungan Anjani dengan pemuda itu sudah berakhir," ujar Felicia tiba-tiba. Ia mengira Altair ingin bertanya tentang hubungan Anjani dan Lev.

"Soal itu, saya sejujurnya tidak peduli," sahut Altair, membuat tiga orang di hadapannya terbelalak tak percaya. Terutama Anjani, ia merasa terhina. "Dia memiliki kekasih atau tidak, pertunangan ini tetap tidak akan berlanjut. Dan pria itu bukan alasan utama saya mengakhiri hubungan itu."

Felicia menatapnya tajam, tapi Altair tak peduli. "Jadi, kenapa kau mengakhirinya?"

"Karena saya tidak berniat menikahi putri Anda," jawab Altair seadanya, bibir Afon komat kamit geram karenanya.

"Tapi selama ini hubungan kalian baik-baik saja," ujar Afon, terdengar kesal tapi mencoba menahan diri.

"Selama ini saya berpikir bahwa selama dia bisa membuat saya tidak merasa terganggu itu cukup. Tapi, semakin lama hubungan itu membuat saya merasa seperti sedang dipanggang. Saya benci kehidupan pribadi saya diperlihatkan pada semua orang dan sebaliknya dia menyukai semua hal kecil dalam hidupnya ditulis di media."

Anjani terdiam, bibir indahnya yang dipoles dengan lipstik berwarna pink cerah itu bergetar. Entah marah atau kecewa Altair tak peduli.

"Saya datang kali ini karena ada yang ingin saya tanyakan," ujar Altair sekali lagi. Afon dan istrinya menatap pemuda itu tajam. "Apakah Anda dan istri Anda tahu bahwa putra pertama kalian mencoba memperkosa salah satu karyawan saya di rumahnya? Va, menyekap gadis itu, mengikatnya di tempat tidur dan menyiksanya hingga ia harus dirawat di rumah sakit."

"Itu tidak mungkin!" jerit Felicia, ia sampai berdiri karena merasa tidak terima dengan apa yang diucapkan Altair. Apalagi mengingat kondisi Va yang sampai saat ini penyebabnya belum ditemukan. Altair menatapnya tajam dan dingin.

"Jadi, maksud Anda saya mengada-ada?" desis Altair. "Maksud Anda saya berbohong?"

Gigi Felicia gemeretak mendengar nada bicara Altair, ketika ia menoleh pada Afon untuk mencoba meminta bantuan Felicia terkejut karena pria itu menatapnya kesal. "Tapi, Va tidak mungkin melakukan itu," ujar Felicia dengan suara bergetar saking marahnya.

Ia kesal karena Afon tak membantunya bicara, di sisi lain khawatir jika Anjani membuka keadaan Va saat ini pada ayahnya.

"Anda bisa bertanya pada putra Anda bukan?" sahut Altair tenang, ia menyesap kopinya dengan santai. "Jika Anda tidak keberatan saya ingin bertemu dengannya."

Afon menoleh cepat pada istrinya, "panggil Va sekarang," ucapnya dengan nada sangat rendah yang hampir menyerupai bisikan. Felicia tergagap, bagaimana ia menjelaskan bahwa saat ini Va tidak bisa bicara?

Anjani yang melihat ibunya gugup merasa kesal sendiri. "Pa, Va ngga akan bisa menjawab pertanyaan itu," ujarnya pelan. Afon dan Felicia menoleh padanya di waktu yang sama.

Jika Afon berharap gadis itu melanjutkan kalimatnya, Felicia justru melotot pada putri bungsunya itu, meminta dengan sangat agar ia menutup mulutnya rapat-rapat. Tapi Anjani tak berniat menutup mulutnya sedikitpun.

"Kenapa kau bicara begitu?" tanya Afon.

"Anjani!" hardik Felicia saat gadis itu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Felicia melotot kejam pada anaknya dan Afon melihat itu. Ia melihat kemarahan dan kekhawatiran di mata istrinya.

"Apa yang kalian sembunyikan?" tanya Afon tidak sabar, ia ingin sekali berteriak tapi karena ada Altair pria itu menahan diri.

"Tidak Sayang, tidak ada apapun yang kami sembunyikan," ujar Felicia cepat. Ia memandang Anjani agar gadis itu tetap diam.

"Gimana dia mau jawab? Orang dia babak belur digebukin sampe pingsan," ucap Anjani pelan. Felicia menjerit dan plak! Tangannya menampar wajah Anjani dengan keras hingga gadis itu terhuyung dan menjerit.

"Mama apaan sih?!" jeritnya pada Felicia, membekap pipinya yang nyeri karena tamparan sang ibu. "Kenapa Mama ga bilang aja sama Papa kalau Va itu sedang sekarat!" jeritnya lagi. "Mama mau sembunyiin sampai kapan? Mama kira Felix bisa nyelamatin dia?"

"Diam!" sekali lagi Felicia hendak menampar Anjani tapi kali ini Afon menahannya.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Afon sembari melempar tangan istrinya dengan kasar. Felicia terhuyung dengan lengan atas yang terasa nyeri. "Dimana Va?"

Felicia diam, ia menatap Anjani marah. "Jawab aku Feli. Dimana Va?" teriak Afon.

Altair menonton drama keluarga itu sambil menikmati kopinya dengan santai.

"Dia ada di kamarnya!" teriak Anjani. Afon menderap ke lantai atas begitu mendengar jawaban itu. Felicia mencoba menyusulnya tapi ia masih sempat menatap marah pada Altair.

"Anda puas membuat kekacauan di rumah kami?" sergahnya.

Altair bangkit dari duduknya dengan elegan, merapikan jas dan menatap Felicia dengan sedikit tersenyum. "Nyonya Felicia, ini baru permulaan. Karena jika Va masih berkeliaran seperti biasa, dia akan berakhir lebih parah dari ini. Jangan sampai Anda menyesalinya," ia berbisik di telinga Felicia yang menahan gigilan kemarahan.

Altair meninggalkan rumah itu tapi Anjani mengejarnya. "Al tunggu!" jeritnya.

Dengan susah payah ia berhasil menyusul Altair yang hendak masuk ke mobil. "Aku ikut denganmu," rengeknya. "Aku ngga mau lagi di rumah ini. Mama hanya peduli pada Va."

Altair menyingkirkan tangannya yang menggenggam lengan, menatapnya lekat-lekat. "Kau baru kali ini ditampar kan? Apa kau bisa membayangkan bagaimana Vipe yang menerimanya setiap hari dari kalian?" desis Altair.

"Jadi benar, dia yang membuatmu memutuskan pertunangan kita? Jalang itu merayumu?"

Altair memegang pipi Anjani dengan kasar, mencengkeram rahang gadis itu hingga ia meringis kesakitan. "Jangan sebut dia jalang dengan bibirmu yang tak punya etika itu. Tidak pantas. Kau bahkan tidak pantas menyebut namanya. Dengar Anjani, jika aku mendengar kau sekali lagi merundungnya, memaki atau menyiksanya. Kupastikan kau akan berakhir seperti Va."

"Altair!" Anjani menjerit marah ketika mobil pria itu meninggalkan halaman rumahnya. "Aku akan buat kau menyesaaaal!" suaranya menggema ke seluruh rumah. Melengking tinggi sehingga sebentar lagi hanya kelelawar yang bisa mendengarnya.

Gadis itu masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Tapi di tangga ia bertemu Felicia yang memegang kedua pipinya dengan tangan gemetar. Sepertinya Afon baru saja mengamuk padanya.

"Kau puas?" desis Felicia. "Mama sudah memintamu untuk diam, tapi kau tidak bisa menahan mulutmu!"

"Memangnya kenapa Mama harus sembunyiin keadaan Va dari Papa?" sengit Anjani.

"Anjani! Dia kakakmu!" Felicia kesal karena Anjani tak pernah memanggil Va dengan sebutan kakak. Padahal rentang usia mereka cukup jauh, enam tahun.

"Memangnya kenapa kalau dia kakakku?" jerit Anjani.

Felicia menarik nafas panjang, memegang dadanya lalu menarik nafas sekali lagi. "Anjani, sikapmu yang seperti inilah yang membuat Altair meninggalkanmu," ujar Felicia pelan.

"Tidak! Dia meninggalkanku karena ular itu merayunya!"

Felicia menarik Anjani, "ular? Maksudmu Vipera?"

"Siapa lagi? Dia bahkan mengancamku kalau aku masih merundungnya dia akan membuatku seperti Va sekarang."

Gadis itu terisak saat mengucapkan kata-kata itu, kekesalan sudah membuatnya hampir meledak sekarang. "Dia selalu mengambil apapun yang aku inginkan."

"Tidak. Kali ini dia tidak akan bisa mengambil Altair. Kau memiliki ibu Altair sebagai pendukung bukan? Dia tidak mungkin setuju dengan Vipera. Kau hanya perlu membuatnya lebih membenci Vipe lagi."

Ucapan ibunya membuat bibir Anjani menyungging senyum. Ya, dia tahu ibu Altair sangat menyayanginya. Wanita itu sangat menyukai Anjani yang cantik dan manja. Gadis yang bisa ia pamerkan pada teman-teman sosialitanya.

"Kau tidak akan bisa mendapatkan dia," desis Anjani dengan raut kejam seperti biasa.

*Bersambung*