webnovel

Bab 10. Putri Yang Lainnya

Altair kembali ke rumah, terkejut ketika kakek dan ibunya duduk di ruang tamu. Cukup mengagetkan jika mereka berhasil memasuki rumah ini, karena hanya Altair dan Dan yang mengetahui password rumahnya. Tapi tidak ada tanda-tanda Dan ada di sini, sepertinya salah satu dari mereka berhasil mengancamnya untuk memberikan password rumah.

Keduanya menatap Altair yang memilih duduk di bagian paling jauh dari tempat mereka duduk. Berdiam diri disana, membuat Talishia sang ibu tidak sabaran. Tapi Ron, kakek Altair membuka mulut lebih dulu.

"Kau tidak tenang jika tidak membuat keributan," ujarnya dengan suara menggelegar. Altair menatap kakeknya tenang. "Kenapa kau memutuskan pertunangan kalian?"

"Karena aku tidak menyukai gadis itu," jawab Altair seadanya, Talishia menatap putranya kesal.

"Memangnya kenapa? Kalian kan bisa saling menyukai setelah menikah?" dengkingnya.

"Mama mau menikah dengan orang yang tidak Mama suka, tapi Al tidak mau begitu," jawab Altair.

"Dia gadis yang baik dan cantik. Kurangnya dimana?"

"Baik untuk Mama tidak untuk Al," jawab Altair singkat. "Gadis itu, hanya sesuai dengan kriteria Mama, tidak denganku. Dia hanya cocok dengan Mama tidak denganku."

Ron menatap cucunya, ia kenal karakter Altair yang keras kepala. Jika ia sudah membuat keputusan, Altair tidak akan pernah mau mengubahnya lagi. Pemuda itu, selalu membuat keputusan dengan pertimbangan sangat matang dan hati-hati. Sikap seperti itulah yang membuatnya berhasil dalam bisnis.

"Sebenarnya dimana yang salah?" tanya Ron, suaranya sedikit melunak. "Dia dari keluarga yang baik, terkenal dan setara dengan kita."

"Keluarga yang baik," Altair tersenyum sinis mendengar kata-kata itu. "Apakah Kakek tahu jika Afon memiliki anak perempuan yang lain? Anak dari istri pertamanya?"

Ron terlihat terkejut mendengar pertanyaan itu, ia tahu Afon pernah menikah dengan putri dari keluarga Santana sebelum menikahi Felicia. Perempuan yang meninggal setelah melahirkan seorang anak tapi mayatnya tidak pernah ditemukan.

"Maksudmu, anak dari perempuan yang jasadnya saja tidak pernah ditemukan itu? Perempuan yang dirumorkan berubah menjadi ular setelah meninggal? Afon bahkan tidak pernah mengakui anak itu sebagai putrinya," jawab Ron.

Bibir Altair menggeretak mendengar kalimat kakeknya, 'Afon tak pernah mengakui Vipera sebagai putrinya? Pantas saja dia memperlakukan anaknya sendiri seperti itu,' geramnya dalam hati.

"Anjani bukanlah lawan sepadan bagi gadis itu, anak yang tumbuh sendirian tanpa kasih sayang, apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?" desis Ron. "Kenapa kau tiba-tiba membicarakan gadis itu?"

Altair menggeleng, "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan tentang dia," jawabnya. Jika sang kakek berpikir bahwa Vipera bukanlah hal yang layak dibicarakan, Altair pun tidak ingin membicarakannya. Hanya akan membuang energi dan menghabiskan emosinya saja.

"Kalau begitu, tarik kembali keputusanmu untuk mengakhiri pertunangan kalian," jawab Ron.

"Maaf Kek, Al tidak bisa melakukan itu," jawab Altair tegas, dia tidak akan pernah menerima Anjani sebagai perempuannya. Tidak akan pernah. Gadis yang bahkan berani memukul saudaranya sendiri? 'Cih, dia bahkan tidak layak untuk menyebut namaku,' desis Altair kesal.

"Kenapa?" bentak Ron, Altair menatap kakeknya dengan tenang.

"Al yang akan menjalani hidup dengannya bukan Kakek atau Mama kan? Bagiku dia bukan gadis yang pantas. Tapi jika menurut Mama dan Kakek dia layak, silahkan salah satu dari kalian saja yang menikah dengannya."

Ron bangkit dengan marah, tangannya sampai gemetar menunjuk wajah datar Altair. "Kau, dasar cucu kurang ajar!" suara Ron menggema ke seluruh rumah. "Kau diberikan yang terbaik malah menolak. Apa kau masih ingin menjadi cucuku?"

"Jika syarat menjadi cucu Kakek adalah menikah dengannya, Al mundur," jawab Altair. Ia bangkit dan membuka jas serta dasinya. "Sudah larut, sudah waktunya kalian istirahat."

Talishia menatap putranya kesal, ia bangkit dan berjalan menuju Altair yang tengah membuka kancing kemejanya bagian atas. "Kau benar-benar membuat Mama kecewa," ujarnya sedikit kasar.

"Maaf Ma. Al punya kriteria sendiri untuk perempuan yang akan Al pilih sebagai istri," jawabnya pelan.

Talishia mengertakkan gigi saking kesalnya tapi ia tidak bisa memaksa Altair sekarang. Ia hanya akan mencoba mencari jalan agar Altair bisa menerima Anjani. "Mama sungguh tidak bisa mengerti mengapa kau begitu tidak menyukainya," ujar Talishia pelan. "Jika hanya karena dia punya kekasih, bukankah mereka sudah putus?"

"Cukup Ma, Al tidak ingin membicarakan ini lagi. Apapun yang ingin Mama katakan, itu tak akan mengubah keputusan Al tentang ini."

"Kakek akan memblokirmu jika kau tetap pada keputusanmu," ujar Ron.

Altair tersenyum pada sang kakek, "Apa yang ingin Kakek blokir?" tanyanya sedikit mengejek.

Ron menggeram, baru menyadari bahwa seluruh perusahaan yang ada dibawah Altair sekarang adalah perusahaan yang ia dirikan sendiri. Perusahaan yang ia warisi dari sang kakek justru ia serahkan pada sepupunya karena enggan melanjutkan, bahkan jika mau Altair bisa membuat perusahaan Ron bangkrut dalam semalam. Ron benar-benar kesal sekarang.

"Tolonglah, Kek. Ini sudah larut, kita semua butuh istirahat," Altair yang sudah sangat ingin merebahkan tubuhnya berkata dengan nada memohon.

Talishia dan Ron menggeram seperti anjing marah secara bersamaan lalu keluar dengan langkah kasar. "Lihat anakmu," ujar Ron kesal.

Talishia tak bisa mengatakan apapun atas kata-kata itu, ia sendiri tidak mengerti mengapa Altair memutuskan pertunangannya dengan Anjani. "Anjani bilang dia sedang mengejar seseorang," ujar Talishia.

"Siapa gadis itu?"

"Saudara tiri Anjani."

"Anak perempuan ular itu? Itu sebabnya tadi dia mengungkit tentang perempuan itu?" tanya Ron. "Apa dia bekerja di perusahaan Altair?"

"Tidak ada informasi, Anjani sendiri tidak tahu dimana dia sekarang. Dulu dia tinggal di rumah warisan ibunya tapi sekarang dia pindah dari rumah itu," jawab Talishia.

"Apa mungkin Al yang menyembunyikan dia?"

Talishia tersentak dengan pertanyaan itu, hal itu sangat mungkin terjadi. Altair pasti tidak ingin seseorang mengusik gadis itu. Tapi dimana?

"Aku akan bertanya pada Emily," ujar Talishia pelan. "Jika dia bekerja disana, Emily pasti tahu."

Tapi Talishia kecewa, Emily bahkan kebingungan ketika besoknya ia datang ke kantor Altair dan bertanya tentang seseorang yang mungkin adalah saudari tiri Anjani. "Saudari tiri Anjani? Dan apakah kau tahu?" tanya Emily ketika Talishia bertanya padanya.

Dan sudah menduga bahwa Anjani pasti mengadu pada Talishia, karena itu ia sudah tidak lagi terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan wajah datar ia balik bertanya. "Memangnya dia punya saudari tiri? Aku malah baru dengar."

"Dan, apa ada karyawati yang menarik perhatian Altair disini?" tanya Talishia. Dan menatap wanita setengah baya itu dan menggeleng.

"Sepertinya tidak ada dan tidak akan pernah ada, Bu," jawab Dan. "Anda tahu putra Anda kan? Dia tidak pernah peduli dengan perempuan."

Pertanyaan itu juga sedikit menggelitik Emily, karyawan yang menarik perhatian Altair? Memangnya ada? Pria itu menatap semua karyawan seperti sedang melihat robot, yang ia ingat saat bertemu karyawan hanyalah pekerjaan, uang dan proyek.

"Ah, sepertinya memang tidak ada Bu," jawab Emily ketika Talishia berpaling lagi padanya. "Anjani datang hampir setiap hari ke kantor, Pak Altair tidak akan punya kesempatan melirik perempuan lain," sambungnya.

'Tapi kenyataannya tidak seperti itu,' batin Talishia. 'Pasti ada seseorang tapi mereka menyembunyikannya.'

Dengan keyakinan itu, Talishia lalu berpikir ia harus mengirim seseorang untuk menjadi mata-matanya di sini. Agar ia memantau Altair dan mencari tahu siapa gadis yang menarik perhatiannya disini. Tapi siapa yang bisa ia kirim ke sini sebagai mata-mata? Tidak mungkin mengirim Anjani, gadis itu tidak memiliki pengalaman bekerja. Jika dia yang datang, mungkin hanya akan menimbulkan pertengkaran baru dengan Altair.

"Emily, jika ada perempuan yang menurutmu menarik perhatian Altair atau mencoba menarik perhatian Altair kau harus melaporkannya padaku," ujar Talishia.

Emily hanya tersenyum mendengar permintaan itu. 'Tidak akan ada yang ingin mencari perhatian manusia kulkas seperti Pak Altair,' pikirnya dalam hati. Orang yang tak pernah melihat perempuan sebagai perempuan.

"Jangan lupa," ujar Talishia sebelum meninggalkan kantor Altair. Bergegas pergi ketika melihat pintu ruangan Altair terbuka, ia tak boleh terlihat disini. Jika Altair tahu ia datang, akan memicu pertengkaran lagi diantara mereka.

"Mama?"

Sayangnya sebelum sempat meninggalkan ruangan itu, Altair keburu melihatnya. Talishia menoleh dengan elegan tapi setengah mengomel dalam hati. Tersenyum pada Altair yang berdiri di hadapannya.

"Kenapa? Mama berniat memata-matai Al? Atau ingin menjadikan Emily sebagai mata-mata Mama?"

Emily terkejut mendengar ucapan Altair, ia bangkit dan menggeleng berkali-kali. Talishia tersenyum canggung karenanya. "Apa sih? Mama hanya ingin berkunjung," jawabnya bingung. Ia benar-benar tidak punya alasan untuk datang, karena selama ini Talishia tak pernah menginjakkan kaki di kantor Altair.

"Ingin mencaritahu siapa saudari tiri Anjani?"

"Tidak kok," ujar Talishia cepat. "Mama pergi ya."

Altair menatap punggung ibunya yang menjauh. "Apa yang dia tanyakan padamu?" tanya Altair seraya menatap Emily.

"Beliau bertanya apakah saudari tiri Anjani bekerja disini," jawab Emily jujur. Dia tidak mungkin berbohong pada Altair, pria yang sekarang tengah menantap Dan.

"Tidak ada yang tahu siapa saudari tiri Anjani," sahut Dan disambut anggukan Emily. Altair mengangguk lega karenanya.

"Jikapun ada diantara kalian tahu tentang siapa saudari tiri Anjani kuharap tak satupun dari kalian yang membicarakannya dengan ibu atau kakekku."

Kata-kata itu jelas bukan harapan melainkan perintah dari Altair. Jika ada yang melanggar, maka hukuman siap menanti.

Sepulang dari kantor Altair, Talishia menemui Anjani. Meminta foto saudari tirinya agar ia bisa mencaritahu keberadaan gadis itu. Anjani dengan senang hati memberikan foto Vipera padanya. 'Terlalu sederhana,' pikir Talishia saat pertama kali melihat foto itu. Tapi dalam hati mengakui bahwa gadis itu jauh lebih cantik dari Anjani. Kecantikan yang sangat alami tapi dengan tatapan penuh kesedihan.

"Dia itu nyebelin banget Ma," adu Anjani.

"Nyebelin?" heran Talishia. Gadis itu terlihat seperti seseorang yang tidak akan mencari masalah dengan orang lain.

"Iya, dia mencoba merayu kekasihku dulu. Sekarang ketika dia tahu Al jadi tunanganku dia juga mencoba merayu Al."

Dalam hati Talishia mengakui, jika tunangannya adalah gadis ini Altair pasti tidak akan menolak. Sekalipun berpenampilan sederhana tapi gadis itu terlihat sangat elegan. "Kau sungguh tidak tahu dia bekerja dimana? Siapa tadi namanya?" tanya Talishia.

Anjani menggeleng, dia tak pernah peduli dengan Vipera kecuali yang berkaitan dengan pria disampingnya. "Namanya Vipera Ma. Kayanya sih kerjanya di kafe gitu, Ma," ujar Anjani sekenanya. "Soalnya suka pulang malam."

Talishia mengingat-ingat pembicaraannya dengan Altair semalam. Ron ayahnya menyinggung nama keluarga ibu Vipera. Santana, ah…Talishia tentu saja mengenal nama keluarga itu. Keluarga itu dulunya merupakan salah satu keluarga terkenal, Afon menikahi putri tunggal keluarga itu dan demi mengambil kekayaan mereka ia menghancurkan keluarga itu secara perlahan. Semua orang tahu kejadian itu, membuat gadis itu hancur dan memilih mati di hari ia melahirkan putrinya.

Zelene Santana, nama itu dulu merupakan dambaan banyak pria. Gadis yang sangat cantik dengan sifat yang ramah, baik dan terkenal dermawan. 'Jadi gadis ini adalah putri Zelene? Wajahnya sangat mirip dengan ibunya. Apa Abrisam tahu kalau gadis ini masih hidup? Apa dia yang membesarkannya?'

"Apakah dia masih sering datang ke rumah orang tuamu?" tanya Talishia. Anjani menggeleng.

"Sejak dia keluar dari rumah ga pernah mau datang. Dia bilang dia ga bakal mau datang lagi kerumah Papa."

"Memangnya kenapa dia kabur dari rumah?"

"Katanya sih Va ingin memperkosanya, cih padahal itu bohong. Dia sengaja ingin membuat Papa benci pada Va karena ia ingin diperhatikan oleh Papa. Karena ga ada yang percaya dia kabur dari rumah. Tinggal sendirian di rumah yang ditinggalkan ibu ularnya."

"Selama dia tinggal sendirian, dia ngga sekolah?"

"Ih, kenapa Mama jadi tertarik sama dia sih?" rajuk Anjani.

"Bukan begitu, Mama harus tahu latar belakang dia untuk bisa menemukan dia dan membuatnya dia menjauh dari Altair bukan?"

"Umm iya sih," sahut Anjani. "Ga tau deh dia sekolah apa engga."

"Dia hidup dari mana? Apa dia bekerja sejak kecil?"

Anjani mengedikkan bahu, "Ga tau Ma. Mungkin mencuri atau apalah gitu."

Nilai Anjani seketika anjlok di mata Talishia, bagaimana bisa ia benar-benar tidak peduli dengan saudaranya sendiri? Dan apakah Afon benar-benar tidak peduli pada anaknya dari Zelene? Ataukah benar rumor yang mengatakan bahwa putri Zelene bukanlah putri Afon? Atau mungkinkah selama ini benar Abrisam yang membesarkan dan membiayainya?

Tapi mungkin juga Zelene meninggalkan warisan yang cukup untuk dia bertahan hidup dan mendapatkan pendidikan yang layak, begitu dalam pikiran Talishia. Sekalipun keluarganya bangkrut, tapi Talishia tahu Zelene yang sebelum menikah dengan Afon memiliki perusahaan sendiri pasti memiliki uang yang bisa ia wariskan pada putrinya. 'Sekarang aku hanya perlu mencari pengacara Zelene dulu, mungkin dia bisa menjadi petunjuk bagiku untuk mencari keberadaan gadis ini.'

*Bersambung*