webnovel

Bab 7. Butuh Bantuan?

Ada yang tidak benar, begitu yang dikatakan Altair dalam hatinya berkali-kali sepanjang perjalanan menuju rumah Lev untuk membesuk Vipera. Karena tidak ingin menarik kata-katanya tentang bos yang baik, ia terpaksa ikut sekalipun harus menginjak rumah musuh bebuyutannya. Lagipula dia benar-benar ingin memastikan Vipera tidak tinggal berdua saja di rumah itu. Tidak sekamar pastinya.

Dan melirik wajah tampan bosnya itu berkali-kali, berharap menemukan sesuatu untuk ia gosipkan bersama Emily nantinya. Gadis yang duduk di sampingnya itu pun terlihat berkali-kali melirik Altair melalui spion.

"Kalian mau bicara sesuatu?" tanya Altair setelah bosan melihat kedua anak buahnya bolak balik melirik. "Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Ngga kok Pak," Emily yang menjawab untuk mereka, seraya mengerling Dan. "Ssst, itu titipan Vipe udah kamu beliin belum?" bisiknya, yang dijawab Dan dengan anggukan. Interaksi mereka yang berbisik-bisik itu membuat Altair keki sendiri.

Sementara itu, Vipera baru selesai mandi dengan bantuan Bi Sumi. Ia meringis ketika Bi Sumi membantunya berpakaian. "Maaf Non, nyeri banget ya," sahut Bi Sumi merasa bersalah.

Vipera tersenyum, "ngga kok Bi, hanya sedikit tidak nyaman," ucapnya. "Bi, nanti ada beberapa teman mau datang, tadi Dan ngasih tau," sambung Vipera.

"Oh? Non ga bilang dari tadi, Bibi jadi ga punya persiapan apapun niih," protes Bi Sumi, lengkap dengan wajah merengutnya yang membuat Vipera tersenyum tertahan. Pipinya benar-benar nyeri hanya untuk tersenyum. Bicarapun Vipera harus menahan gerakannya agar tak terlalu nyeri.

"Ga papa Bi, apa yang ada aja. Vipe udah nitip sama Dan beberapa makanan dan buah kok."

"Bikin minuman apa ya Non?" tanya Bi Sumi, setengah berpikir setengahnya berharap Vipera yang menentukan.

"Apa aja yang ada di kulkas Bi, tadi keknya Lev udah belanja deh."

"Ya udah, Bibi mau siap-siap dulu," ujar Bi Sumi seraya mendorong kursi roda Vipera keluar kamar.

"Bi, kayanya ga usah pake kursi roda deh," ujar Vipe.

"Non yakin udah bisa jalan? Kakinya masih bengkak begitu."

Keduanya berkutat untuk beberapa lama di dapur, sampai denting bel mengganggu kesibukan mereka setengah jam kemudian. Bi Sumi bergegas membuka pintu, tersenyum lebar ketika Dan berdiri di ambang pintu. Tapi matanya membola ketika Dan serta Emily mendahului masuk, karena ternyata tamunya jauh lebih banyak dari yang ia bayangkan.

Apalagi ketika Altair masuk, ia seketika melotot kejam. Membuat Altair jadi bingung sendiri mengapa wanita setengah baya itu melotot padanya, boro-boro menjawab salamnya malah ngacir dengan wajah kesal. 'Dia kenapa?' herannya dalam hati.

Pria itu duduk anggun di sofa terpisah, menatap Vipera yang bicara atau tersenyum sambil menahan diri. Dadanya berdentum-dentum melihat wajah gadis itu penuh lebam dan memar.

"Vipe, kau sebenarnya kenapa?" tanya Ruly akhirnya.

"Dua hari lalu pulang kerja nyelametin ular kecil yang hampir kelindes. Karena buru-buru aku jatuh dari motor," jawab Vipe ringan.

"Ular?" teman-temannya mendengking serentak.

"Iya, ular."

"Demi ular kamu sampe babak belur begini? Jangan bilang kamu dilindes truk?"

"Engga kok, cuma pas mo nolongin motornya juga jatuh."

Teman-temannya menatap Vipera gemas, mereka tahu gadis ini sangat mencintai ular. Tapi buat mereka tidak sampai segitunya karena ingin menolong hewan malah babak belur sendiri. Tapi mata Dan serta Altair jeli, mereka tahu sebagian besar luka di wajah, pergelangan tangan dan kaki Vipera bukan karena terjatuh.

"Kamu tidak dipukuli orang karena menyelamatkan ular kan?" tanya Altair, tatapannya yang tajam dan intens membuat Vipera merasa risih. Ia sempat mengomeli Dan saat tahu bos besar ini ikut datang.

"Tidak Pak," jawab Vipera, ia menghindar dari tatapan Altair.

Tapi, pria itu tidak bisa ditipu. Ia tahu persis, lebam di wajah Vipera karena pukulan. Karena tidak ingin membuat Vipera merasa ditekan untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya, Altair memilih diam. Ia akan meminta Dan untuk mencari tahu nanti apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalian jangan terlalu lama, dia butuh istirahat," ujar Altair, setelah berdiam diri hanya menatap Vipera sementara teman-teman mereka sibuk makan dan minum. Kata-kata yang sedikit kejam itu membuat mereka tersentak dan besiap-siap pulang. Tidak ada yang menyadari bahwa Altair hanya ingin segera pulang karena tidak ingin bertemu Lev.

Ia sudah mempelajari rumah itu sejak datang, sepertinya jejak Lev tidak terlalu banyak di rumah ini karena tidak ada satupun foto pria itu disana. Rumah yang cukup besar dan Altair merasa sedikit janggal karena Lev memberikan rumah sebesar ini untuk Vipera. Sekalipun gadis itu berstatus sahabatnya, tapi bagaimanapun juga Lev adalah kekasih adik tiri Vipe yang sangat membenci gadis itu. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Anjani tahu jika Vipera tinggal disini?

Altair sampai sekarang belum bisa memahami hubungan ini. Lev tidak mungkin tidak tahu kebencian Anjani pada Vipera, apakah selama ini dia tidak bisa menghentikan kebencian itu? Apakah dia tidak bisa melindungi gadis itu dari tingkah manja Anjani. Dari keluhan Anjani setiap kali mereka bertemu, Altair tahu kebencian Anjani pada Vipera sudah sangat mendarah daging. Bahkan saat mereka makan malam di rumah keluarga Anjani, tidak satupun ada pembicaraan tentang Vipera. Gadis itu tidak pernah hadir dalam makan malam itu atau bahkan fotonya sama sekali tak ada di rumah besar itu. Karena itulah, Altair sama sekali tidak tahu jika mereka bersaudara.

Para wanita membantu membereskan ruang tamu, mencuci piring dan beberapa perlengkapan makan yang kotor untuk meringankan Bi Sumi. Vipera melepas mereka pulang setelah rumah kembali rapi. Altair pulang paling akhir bersama Dan, sementara Emily dijemput kekasihnya.

Malangnya saat Dan serta Altair berpamitan, Lev muncul datang. Wajah Altair mengeras begitu melihat pria itu turun dari mobilnya. Ia mengerling Vipera yang tersenyum tipis saat Lev berdiri di hadapannya. Lev mengerling Altair dan tersenyum canggung.

"Terima kasih sudah berkunjung," ujar Lev dengan sikap sangat sopan, mengangguk elegan pada Altair yang menatapnya dengan geram.

'Wajahnya menyiratkan ia senang sekali bisa mengumpulkan dua bersaudara. Menyebalkan,' batin Altair. Tapi ia hanya tersenyum sopan pada Lev, dalam hati ia memaki pria itu sepuas-puasnya karena secara halus mengusir mereka.

Dan menarik Lev menjauh dari mereka semua, berbicara pelan padanya. "Vipe ga mau cerita apa yang sebenarnya terjadi. Dia kenapa? Itu jelas bukan lebam karena jatuh dari motor. Apa Anjani menyewa orang untuk memukulnya?"

Lev menghela nafas panjang. "Dia memang jatuh dari motor karena menyelamatkan seekor ular piyik," ujarnya pelan. "Tapi saat terluka seperti itu Va datang. Kau tahu kan pria gila itu, dia mencoba menodai Vipe," imbuhnya.

"Dasar bajingan!" Dan mengepalkan tangan dengan rahang mengeras mendengar penjelasan itu. "Dia memukulinya?"

"Tidak hanya memukuli. Dia mengikat Vipe dan menyiksanya karena berontak. Dia juga memukul Bi Sumi sampai hampir pingsan."

Gigi Dan gemerutuk demi mendengar penjelasan itu, kemarahan mendidih dalam darahnya. Lev menepuk bahunya pelan.

"Aku sudah membalasnya," ujar Lev tenang. "Daren menghabisinya sebelum mengembalikan dia ke rumah Afon."

"Kau yakin?"

"Ya, tentu saja. Karena itu aku membawa Vipe ke rumah ini, Nyonya Felicia pasti akan melimpahkan kesalahan itu pada Vipe jika dia tidak bisa menemukan pelakunya. Dan lagi, aku sudah memutuskan Anjani. Dia juga pasti akan mencari Vipe untuk melampiaskan kemarahan karena kudengar bosmu juga memutuskan pertunangan mereka?"

"Ya dan alasan utamanya adalah kau," sahut Dan. Lev mencebik sembari mengedikkan bahu.

"Aku ngga peduli alasannya. Karena apapun itu, hanya akan dijadikan alasan bagi mereka untuk membuat Vipe lebih menderita."

Alis Altair bertaut melihat ekspresi Dan yang mengeras, sepertinya ada yang membuatnya sangat marah. Ia belum pernah melihat Dan bereaksi seperti itu, sejak mereka bekerja bersama selama hampir enam tahun lamanya. Tapi sayangnya, ia tidak bisa mendengar pembicaraan mereka karena keduanya cukup jauh dan mereka bicara sangat pelan.

Ia menatap Vipera yang sedari tadi menghindari tatapannya. Sejak ia memasuki rumah ini, tak sekalipun gadis itu mau menatapnya. "Jika ada sesuatu yang tidak bisa kau tangani sendiri kau bisa memberitahuku," ujarnya.

Vipera menatapnya sebentar, memaksakan senyum dan mengangguk sopan padanya. "Terima kasih, tapi saya baik-baik saja."

"Kudengar Anjani sering memperlakukanmu dengan buruk?"

"Kami bersaudara, bukankah hal yang biasa jika sering bertengkar?"

"Jangan membohongiku," ujar Altair, tidak bisa menahan rasa kesal karena Vipera membangun tembok terlalu tebal diantara mereka. "Aku bisa membantumu."

"Saya hanya berharap, Anda tidak perlu bicara pada saya di kantor atau dimanapun. Karena Anjani bisa saja melihatnya dan itu akan buruk bagi hubungan kalian," ucap Vipera.

Altair menghela nafas dengan jengkel. "Aku sudah memutuskan pertunangan kami. Aku dan dia tidak ada hubungan apapun sekarang," ujarnya.

"Dan dia berpikir itu karena saya, orang yang bahkan tidak pernah tahu jika Anda adalah tunangannya."

Altair seketika membeku, dalam kepalanya ia menduga Vipera yang babak belur saat ini adalah karena ulah Anjani. "Dia yang melakukan ini padamu?"

"Saya terjatuh dari motor," jawab Vipera konsisten.

"Kau boleh berbohong padaku sekarang, tapi aku akan mencari tahu."

"Saya harap Anda tidak menimbulkan masalah baru bagi saya," ujar Vipera pelan. "Terima kasih sudah datang hari ini."

Gadis itu memutar kursi rodanya ketika Dan serta Lev mendekat. Sekali lagi Lev mengangguk sopan pada Altair dan berdiri di belakang kursi roda gadis itu ketika Altair akhirnya memilih untuk pulang.

"Dia bilang apa padamu?" tanya Lev ketika mereka meninggalkan rumah. Lev mendorong kursi roda Vipera masuk.

"Tidak, dia hanya bertanya apakah Anjani yang melukaiku."

"Apa? Kenapa dia berpikir itu Anjani? Dia tahu kalian bersaudara?"

"Hmm, sepertinya begitu. Mungkin Dan yang memberitahunya atau bisa juga Anjani sendiri," jawab Vipera pelan. Ia menatap Lev yang terlihat biasa saja ketika mereka membicarakan Altair.

"Kau baik-baik saja?" tanya Vipera. Lev menatapnya heran.

"Apanya? Aku baik-baik saja, memangnya aku terlihat seperti orang sakit?" semburnya.

Vipera tersenyum tertahan. "Kau bertemu saingan cinta dan saingan bisnismu. Maaf, aku tidak tahu jika dia akan datang," ucapnya.

"Aku ngga peduli pada orang itu," ujar Lev. "Dia bukan sainganku, tidak dalam bisnis tidak dalam cinta."

"Dia tunangan pacarmu, apa namanya kalau bukan saingan cinta? Dan media selalu mengaitkan nama kalian berdua dalam berita bisnis."

Lev menatap Vipera cukup lama. "Aku tak pernah mencintai Anjani, Vipe."

*Bersambung*