webnovel

Bab 6. Double Kill

Keesokan harinya, Altair melongok ke ruangan tim perencanaan. Hanya beberapa orang terlihat disana, berpikir karena masih pagi ia mengabaikan ketiadaan Vipera disana. Ia sendiri tidak tahu apakah gadis itu selama ini datang lebih pagi atau sama seperti karyawan lainnya. Selalu datang di menit-menit terakhir. Altair sungguh tak pernah memperhatikannya. Ia hanya memperhatikan Vipera saat gadis itu memaparkan rencana atau proposal mereka. Dia sangat menarik saat bicara, bahasanya sangat terstruktur dan presentasinya terasa lebih hidup.

"Dan, katakan pada tim perencanaan kita rapat sebelum jam sepuluh. Selesaikan proposalnya sebelum jam itu," ujarnya.

Kepala Dan muncul dari balik pembatas mejanya. "Tapi Vipera belum bisa datang hari ini karena ternyata ia butuh istirahat lebih dari satu hari," jawab Dan. "Rencananya mereka akan meeting online untuk memperbaiki proposalnya dengan bantuan Vipe. Karena dia yang susun, akan lebih baik jika dia ikut merevisi."

"Memangnya dia separah itu?" dengking Altair, bukan karena marah sih. Lebih karena terkejut dan kecewa. Ia tadinya sudah berharap bisa melihat wajahnya hari ini.

"Ga sempat nanya juga, soalnya kemarin yang telepon minta izin untuknya bukan dia," ujar Dan setengah ragu.

"Bukan dia lalu siapa?"

"Itu, sahabatnya," Dan sengaja tidak menyebut nama. Karena jika mendengar nama Lev, wajah Altair akan berubah jadi singa lapar.

Mendengar jawaban itu, Altair berjalan memasuki ruangannya. Ia berpikir jika yang membantunya minta izin adalah sang sahabat berarti kondisi gadis itu cukup parah. Tapi sebelum menutup pintu Altair kembali memanggil Dan. "Katakan pada mereka, majukan meetingnya setengah jam lagi karena aku akan ikut dalam meeting itu dan tidak ada yang boleh mematikan video mereka," ujarnya.

'Aduuuh,' Dan membatin, Emily merasa prihatin melihat wajahnya merana. Ia mengerti apa yang dipikirkan Dan. Jika Altair ikut dalam meeting online perencanaan, alamat presentasi akan berlangsung saat itu juga. Revisi mereka akan berlangsung secara lisan.

Dan memberi tahu Ruly perintah Altair, disambut omelan panjang pria itu. Suara-suara riuh di belakang Ruly terdengar jelas, keluhan dan makian untuk Altair. Tapi rencana meeting online itu berjalan sesuai harapan Altair. Yang tidak sesuai harapannya hanyalah wajah Vipera yang terlihat memar dan lengannya yang cedera dan masih terbalut elastic bandage.

Vipera tadinya enggan menyalakan videonya tapi karena Altair melarang siapapun mematikan video mereka dan sempat mengomelinya, ia terpaksa menampilkan wajah lebamnya. Membuat teman-temannya merasa bersalah karena meminta ia ikut merevisi proposal.

"Maaf Vipe, kau sih ngga ngasih tau kalau keadaanmu separah ini. Sudahlah, biar kami saja yang kerjain, kau istirahat sana," ujar Ruly, sebagai teman ia merasa sangat bersalah dengan kondisi Vipe yang masih terpaksa ikut meeting. Apalagi ketika melihat elastic bandage di tangannya dan kursi roda yang ia gunakan. Beberapa teman wanita mereka malah mengusap air mata melihat kondisinya.

"Apa adikmu yang melakukannya?" tanya Dan, ia memaksakan diri ikut setelah sempat disemprot Altair.

Semua mata menatap Dan atas pertanyaan itu, mereka tidak tahu jika Dan mengenal Vipera lebih dari sekedar teman kantor.

"Aku ngga papa. Ayo kita lanjutkan meetingnya. Jadi, beritahu aku dibagian mana yang harus kita perbaiki? Aku memiliki filenya disini. Kalian sebutkan saja bagian mana yang harus revisi," ujar Vipera mencoba untuk tersenyum, sengaja mengabaikan pertanyaan Dan.

Bibir dan pipinya berdenyut nyeri begitu ia menarik ujung bibirnya. Altair menatap wajahnya yang babak belur dengan hati berdenyut, kesal sekaligus sedih dan merasa bersalah. "Tayangkan presentasi kalian kemarin," ujar Altair setelah ia berhasil mengendalikan emosinya. Tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Vipera yang lebam.

'Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Itu jelas bukan karena kecelakaan, itu bekas pukulan. Apa ada seseorang yang menyakitinya?' ia melirik Dan. 'Dan tadi bertanya apa adiknya yang melakukan itu? Artinya dia mengenal gadis ini di luar kantor dan tahu keadaan dia yang sebenarnya? Keluarga seperti apa yang ia miliki sampai ia tidak memiliki perlindungan akan kejadian seperti itu dalam keluarga sendiri?'

Altair mencoba fokus pada tayangan presentasi dari Ruly, agar ia bisa memberi alasan untuk tidak merevisi proposal mereka. Kalau ia ingat-ingat baru kali ini ia meminta mereka merevisi proposal. Setengah jam mereka mendengarkan presentasi ulang Ruly, karena pada dasarnya memang tidak tahu harus memperbaiki bagian mana.

"Saya rasa sudah cukup," ujar Altair setelah mempelajari proposal itu dengan teliti. "Maaf kemarin saya tak terlalu memperhatikan," sambungnya. Sebuah keajaiban bagi tim itu karena Altair meminta maaf.

"Tidak perlu revisi Pak?" tanya Ruly penuh harap.

"Tidak," jawab Altair singkat. Seluruh tim bersorak.

Altair menutup pertemuan itu lalu memanggil Dan ke ruangannya. Ia menatap Dan kesal. "Kau mengenal gadis itu?" tanyanya, tak bisa menutupi nada kesal dalam suaranya.

Bagaimana tidak, gadis yang membuat hari-harinya tidak tenang yang setengah mati ia coba cari tahu informasinya ternyata berteman dekat dengan asistennya. Kan menyebalkan namanya.

"Kami berteman sejak masih kecil," jawab Dan. "Ah, iya saya yang membawanya bekerja disini karena saya tahu kemampuannya yang luar biasa."

Altair menelan salivanya dengan dongkol. "Ceritakan kenapa wajahnya sampai seperti itu," ujar Altair. "Kau yakin dia tidak butuh bantuan kantor untuk biaya rumah sakit?"

"Saya rasa tidak. Dia sebenarnya berasal dari keluarga kaya, ibunya juga meninggalkan warisan yang tidak sedikit untuknya."

"Dia tinggal dengan keluarganya?"

"Saat ini tidak. Sudah cukup lama Vipe memilih tinggal sendiri di rumah warisan ibunya karena tidak tahan dengan perlakuan ibu tiri dan kedua saudara tirinya."

"Kau mengenal keluarganya?" tanya Altair lagi.

"Anda juga mengenal mereka," jawab Dan, membuat mata Altair membola untuk beberapa saat.

"Aku? Mengenal keluarganya?"

"Ya, dia kakak tiri Anjani."

Jeder! Kalimat pendek Dan terasa seperti petir di telinga Altair. Ia selama ini sering mendengar keluhan Anjani tentang kakak tirinya. Sekalipun tak pernah peduli tapi Altair sangat tahu gadis itu membenci kakak tirinya itu. Ia hanya tidak menyangka kalau orang yang dimaksud Anjani adalah Vipera.

"Kakak tiri Anjani?" herannya.

"Ya. Ibu Vipera meninggal saat ia melahirkan Vipe. Ayahnya menikah lagi dengan ibu Anjani. Sejak kecil, terutama sejak Anjani lahir ia selalu diabaikan. Juga mendapat kekerasan dari ibu tiri dan ayahnya sendiri. Belum lagi kakak tirinya dari pernikahan ibu Anjani sebelumnya, selalu mengusiknya dengan berbagai cara. Anjani sendiri juga sangat membenci Vipe. Jangan tanya kenapa, karena sepertinya itu berjalan secara alami. Dan ia selalu mencari cara agar semua orang membenci Vipe serta ikut merundungnya. Sudah begitu sejak Anjani masih piyik, udah mendarah daging."

"Dia ga pernah melawan?"

"Jika melawan, hasilnya seperti yang Anda lihat tadi," ujar Dan.

"Maksudmu itu ulah Anjani?" Altair memandang Dan dengan menyipitkan mata, membuatnya berkeringat dingin. Ia menduga Altair marah karena menuduh Anjani sebagai pelaku kekerasan.

"Kakak tiri mereka sering membantu Anjani melampiaskan kemarahannya. Tenaga seorang gadis dibandingkan pria tentu saja kalah jauh," ujar Dan, sedikit hati-hati.

"Aku tidak salah memutuskan pertunangan dengan gadis manja itu," suara Altair terdengar sangat geram. "Bagaimana bisa mereka memperlakukan keluarga sendiri seperti itu?"

"Maksudnya, Anda ngga nyesel gitu putus dengan Anjani?"

"Apa yang harus kusesali?" sergah Altair. "Aku ngga pernah suka dengan dia. Sangat menyebalkan dia selalu datang hanya untuk merengek tentang hal-hal tidak penting."

Dan melengak menatap wajah tampan di depannya, mencoba mencari tahu kejujuran dari kata-katanya barusan. Dan ia menemukan kelegaan luar biasa dalam tatapan tajam Altair. 'Jadi dia benar-benar senang bisa memutuskan Anjani? Lalu mengapa moodnya jadi kaya kambing guling begitu dari kemarin? Sampai menolak proposal yang hari ini dia terima begitu saja. Dasar aneh.'

"Teman-teman ingin membesuk Vipera sore ini, saya rasa saya dan Emily akan ikut," ujar Dan setelah mereka berdiam untuk beberapa saat. Izin berkedok pemberitahuan, agar Altair tidak menculik salah satu dari mereka untuk lembur malam ini.

"Ah? Kalian tahu rumahnya?" tanya Altair pelan, menahan keingintahuan yang besar dalam suaranya.

"Ya, tadi dia mengirim alamat rumahnya yang baru sih," ujar Dan.

Altair ingin ikut sebenarnya tapi gengsi. Hanya saja ketika wajah lebam Vipera muncul dalam ingatannya gengsi itu terbang seketika. "Jam berapa kalian pergi?"

"Bubar jam kantor."

"Kau ikut denganku, kau tahu alamatnya bukan?"

Sudah biasa bagi Dan untuk menyetiri Altair kemana-mana tapi sekali ini terasa sedikit aneh. "Kenapa? Aku ngga boleh melihat karyawanku yang sedang sakit?" sergah Altair, kesal dengan tatapan aneh Dan.

"Tapi… saya rasa Anda ngga ingin ikut," ujar Dan ragu-ragu.

"Kenapa jadi kau yang mengatur aku?"

"Soalnya rumah itu milik seseorang yang paling Bapak ga suka, orang yang paling ga ingin Bapak temui dan dia juga ada disana. Dia yang dari kemarin menjaga Vipe di rumah sakit."

"Sahabatnya kan?" tanya Altair.

"Iya, benar dia sahabat Vipe. Tapii…."

"Apa? Kau ini mau bilang apa?"

"Sahabat Vipe itu… Lev."

Sekali lagi Altair mendengar petir menggelegar di telinganya. 'Sialan,' makinya dalam hati. Serasa ia dapat double kill sekarang. Di mata orang-orang, Lev bukan hanya saingan bisnisnya saja, tapi juga orang yang telah merebut tunangannya. Saingan yang berstatus kekasih tunangan, itu saja sudah membuat Altair serasa ingin mencekiknya. Sekarang ditambah ternyata dia adalah sahabat gadis yang membuat jantungnya tidak tenang.

"Maksudmu, mereka tinggal berdua di rumah itu?"

"Ooo, tidak. Bukan begitu, Vipera selalu ditemani Bi Sumi. ART kesayangan ibunya dulu, dia yang menjaga Vipe sejak bayi sampai sekarang."

Meskipun kesal, tapi setidaknya itu cukup melegakan. Setidaknya mereka tidak hanya berdua di rumah itu. Tapi Vipera juga tidak mungkin tidur dengan ART-nya kan? Otak Altair benar-benar panas sekarang.

*Bersambung*