webnovel

Bab 5. Kenapa Si Bos?

Emily menyikut Dan ketika Altair muncul di ujung lorong menuju ruangannya. Pria itu menoleh dengan sedikit terkejut, dahinya berkerut melihat wajah tuannya yang terlihat tidak bersemangat. Bukan wajah Alatair yang biasanya saat ia memasuki kantor.

"Kenapa ya?" tanya Emily, mengikuti Altair dengan matanya dari balik pembatas mejanya. Ia terlihat seperti buaya yang tengah mengintai, hanya kelihatan mata dan hidung semata.

Dan menggeleng, ia sendiri bertanya-tanya mengapa wajah Altair seperti itu. Sedikit penasaran sebenarnya si bos dan apa yang terjadi sehingga ia memasang wajah seperti itu. Altair bukan tidak tahu ia diperhatikan, tapi ia sedang berpikir bagaimana harus mencari tahu kemana Vipera pindah.

Ia menoleh, bersamaan dengan itu kepala Dan serta Emily lenyap dari pembatas meja kerja masing-masing. Altair mendecih melihat tingkah keduanya. "Dan!"

Dan terkejut mendengar namanya dipanggil, dengan terpaksa ia kembali memunculkan kepalanya dari pembatas. "Iya Bos?"

"Keruanganku, sekarang!" Altair selalu kesal dipanggil bos atau pak oleh Dan, karena bagaimanapun keluarga mereka cukup dekat dan mereka sudah saling mengenal sejak kecil sekalipun Altair tak pernah mencoba mengakrabkan diri dengannya. 

Dan bangkit dengan buru-buru membuat beberapa benda kecil di mejanya menggelinding jatuh. Ia memungutnya sembarangan dan melempar begitu saja ke atas meja. Melotot keki ketika Emily mengikik menertawainya.

"Mereka sudah sampai?" tanya Altair ketika Dan berdiri takzim di depan mejanya. "Kalian sudah menyiapkan berkasnya?"

"Mereka akan sampai dalam sepuluh menit. Semua berkas sudah disiapkan Emily dan sudah diletakkan di ruang pertemuan."

Altair mengangguk, dalam hati mempertimbangkan apakah ia harus bertanya tentang Vipera yang menurut Dan hanya luka ringan? Apa ia harus meminta Dan mencari informasi lebih jauh? Tapi itu sangat memalukan, Altair tidak mungkin melakukannya. Dan akan menertawainya berhari-hari kemudian jika ia tahu Altair sedang mencari informasi tentang seorang gadis.

"Ya sudah, kau sambut mereka," ujarnya kemudian, memutuskan untuk tidak memberi Dan kesempatan menertawainya.

Dan kembali ke mejanya, mendelik pada Emily yang memandangnya dengan wajah kepo. "Mereka sebentar lagi datang, aku akan ke ruang pertemuan," ujar Dan.

Emily mengangguk dan mulai membereskan berkas yang akan digunakan Altair di ruang pertemuan. "Kabari kalau mereka sudah datang," ujarnya dengan senyum cantik yang membuat Dan mau tidak mau ikut tersenyum.

"Oke Nyonya Dan," guraunya seraya bergegas pergi, menghindar dari lemparan pulpen milik Emily.

Sepanjang pertemuan, Altair berusaha untuk tetap fokus. Sesekali nama dan wajah Vipera menyelinap diantara konsentrasinya. 'Gadis ini benar-benar sudah sampai pada tahap sangat mengganggu,' pikirnya. 'Tidak bisa dibiarkan.'

Ia akhirnya bisa fokus pada pertemuan setelah mencuri waktu untuk mengirimkan pesan pada Vipera. Dengan dalih ia harus memperbaiki rencana proyek timnya, Altair meminta gadis itu untuk tidak istirahat terlalu lama. Cara umum Altair yang kejam seperti ini bukanlah hal yang mengherankan.

'Baik Pak.' Hanya itu jawaban yang dikirimkan Vipera atas pesannya. Sekalipun tidak puas, karena belum tahu keadaan gadis itu tapi setidaknya ia tenang sekarang.

Sementara itu Vipera masih menatap ponselnya, merasa heran mengapa Altair menghubunginya. Karena biasanya urusan kantor apapun hanya Dan yang akan menghubunginya. Vipera hanya karyawan biasa, sekalipun ia memang menonjol dalam timnya. Tapi tidak dalam lingkup yang membuatnya akan dihubungi langsung oleh pemilik perusahaan.

"Kenapa?" Lev menyentuh lembut bahunya, ia membawakan semangkuk sup kesukaan Vipera yang dimasaknya sendiri atas bimbingan Bi Sumi. Menyodorkan mangkuk itu pada Vipera yang menerimanya dengan tersenyum.

"Ga kenapa-kenapa sih. Heran aja, tiba-tiba Pak Altair menghubungiku," jawab Vipe. Alis tebal Lev bertaut mendengar jawaban itu.

Altair? Bukankah pria itu adalah pemilik Grup Lontara tempat Vipera bekerja? Tunangan Anjani.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang sangat penting?"

"Umm, entahlah. Dia cuma bertanya kapan aku akan menyelesaikan susunan ulang rencana proyek terbaru. Seingatku hari ini sudah presentasi dan rencana itu aku yang susun. Hanya saja Ruly yang paparkan karena aku ngga masuk hari ini."

"Sepertinya ditolak?" tanya Lev. Vipera mengedikkan bahu menyatakan ketidaktahuannya.

"Sepertinya begitu, tapi kenapa? Ruly juga ngga ngabarin kenapa ditolak," suara Vipera terdengar seperti setengah melamun.

"Makan supnya, setelah itu kau bisa tanya Ruly. Sekalian bilang kau besok masih belum bisa bekerja karena masih sakit."

"Tapi Lev, aku ga betah kalau cuma bengong di rumah," bantah Vipera.

"Memangnya tanganmu sudah bisa digunakan?"

"Umm, setidaknya aku bisa membantu mereka dengan ide," jawab Vipera ngeyel, Lev menjitaknya kesal.

"Kau hidup di zaman batu? Kan kalian bisa meeting online, vidcall, atau apa kek. Mau kubantu ketik dari sini juga bisa," omel Lev, Bi Sumi yang kebetulan ada di deka mereka untuk mengantarkan minuman Vipera mengangguk setuju dengan antusias.

"Tapi ga enak kalau aku izin terlalu lama. Aku juga ga dirawat," jawab Vipera masih ngeyel.

"Emangnya kalo ga masuk kerja lebih dari satu hari kau dipecat?" kesal Lev. "Kalau kau dipecat kau bisa bekerja denganku. Perusahaanku akan sangat senang menerima orang perencanaan sebrilian kamu."

"Apa sih," Vipera tertawa kecil, lebih karena gemas melihat wajah sahabatnya yang merengut seperti bocah kehilangan mainan.

"Sini, aku yang izinin kamu," Lev mengambil ponsel Vipera dan mencari nomor Dan.

"Perlu kufoto ngga?" tanya Lev. "Ah, bukankah kau dapat surat izin dari rumah sakit?"

Ia teringat surat yang dititipkan dokter padanya sebelum pulang, karena Vipera memang belum diizinkan beraktivitas seperti biasa selama tangannya yang cedera belum pulih. Apalagi kakinya pun masih terdapat memar dan pipinya masih lebam karena bekas tamparan dan pukulan Va.

Vipera terdiam, ia menatap kakinya yang ruam karena ikatan kuat Va. Pipinya pun masih terasa sangat nyeri begitu juga lehernya. Beruntung Lev berhasil membujuknya untuk melakukan visum saat pemeriksaan kemarin. Setidaknya mereka bisa menggunakan itu untuk menuntut Va suatu saat.

"Bilang sama Dan, mereka bisa mengabariku kekurangan proposalnya dimana aku akan bantu perbaiki secara online. Zoom atau apalah nanti," ujarnya ketika Lev menghubungi Dan. Pria itu mengacungkan jempol untuk permintaan Vipera tersebut.

"Sekarang habiskan supnya," ujar Lev setelah meletakkan ponsel Vipera kembali. Dalam hati ia sedang mempertimbangkan apakah ia harus memberitahu Vipera bahwa hari ini Anjani dan Altair mencarinya ke rumah?

Ia sendiri belum tahu mengapa mereka datang. Kalau Anjani sih pasti cuma untuk mengamuk dia datang, tapi Altair? Seorang pimpinan perusahaan yang tidak pernah menegur Vipera saat di kantor, tiba-tiba datang mencarinya ke rumah, itu sesuatu yang mengejutkan. Terutama bagi Lev, itu sebuah pertanyaan besar.

Apa yang diinginkan Altair? Apa tujuannya datang? Apakah itu berkaitan dengan Anjani atau memang dia murni mencari Vipera? Tapi kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggema dalam benak Lev. Apakah Anjani benar, bahwa diantara mereka ada hubungan khusus? Tapi selama ini Vipe tak pernah mengatakan apapun tentang Altair. Bahkan nama itu baru tercetus dari bibirnya hari ini, itupun dengan nada heran. Altair tidak mungkin mencari Vipera hanya karena sebuah proposal bukan? Ia bisa meneleponnya jika hanya untuk hal seperti itu.

Lev menatap wajah cantik di sampingnya dengan dada yang masih saja berdegup kencang seperti bertahun-tahun belakangan. Degup yang tidak pernah berubah dan tak pernah bosan. "Menurutmu, Altair itu orang seperti apa?" tanya Lev.

Vipera yang sedang menelan minumannya menoleh, matanya menyipit menatap Lev. "Haa, kau cemburu ya?" godanya.

"Apaan sih, enggalah," elak Lev. Bukan cemburu sih, Lev hanya ingin tahu perasaan Vipera pada pria itu. Apakah tudingan Anjani benar atau tidak. Hanya itu.

Tapi bagi Vipera yang menganggap cinta Lev pada Anjani sangatlah besar dan tulus, sangat wajar jika Lev merasa cemburu. "Idih, kalo emang cemburu sih ya ga masalah juga. Bagaimanapun dia tunangan kekasihmu, malah aneh kau tidak cemburu," ujar Vipera.

"Jawab pertanyaanku saja, jangan membahas yang lain," ucap Lev. Vipera menatap wajahnya dan tersenyum tertahan, itu saja sudah membuat kedua pipinya terasa lebih nyeri.

"Huft apa ya? Workcholic, kejam, ga punya perasaan, otoriter, Gunung K2, isi kepalanya proyek dan uang, proyek dan uang."

Lev mengekeh mendengar jawaban ngawur Vipera. Bagaimana bisa dia menilai atasannya sendiri dengan kata-kata seperti itu? "Kalau kau jadi karyawanku dan kau menilaiku seperti itu, benaran aku akan mencekikmu," kekehnya.

"Lah gimana coba, emang dia begitu. Sisi positif dia sih cuma banyak uang," jawab Vipera terdengar kesal.

"Dia sebagai pria? Seperti apa dia dimatamu sebagai seorang pria?"

"Humm, dingin, ganteng, terlalu jangkung aku ngga suka karena akan membuat perempuan disampingnya kaya miniatur. Tukang ngatur, egois, nyebelin tingkat tinggi."

Sekali lagi Lev terbahak-bahak, pandangan Vipera tentang Altair ngga ada bagus-bagusnya. Kecuali tentang ganteng dan banyak uang. Tapi itu membuat perasaan Lev lega, karena berarti Vipera tidak punya ketertarikan pada Altair. Jadi mungkin Anjani hanya menjadikan ia alasan karena Altair memutuskan pertunangan mereka.

Tapi pertanyaan mengapa Altair datang mencari Vipera kerumahnya, masih menjadi pertanyaan yang harus ia cari sendiri jawabannya.

Di kantor, Dan memberi tahu tim Vipera bahwa gadis itu masih belum bisa masuk. Ia memberitahu tim itu bahwa besok jam 9 pagi mereka akan melakukan rapat online dengan Vipera untuk memperbaiki proposal.

"Kau dari mana?" tanya Emily ketika Dan kembali ke ruangan mereka.

"Ngabari Ruly dan tim kalau Vipe belum bisa ngantor besok. Mereka akan melakukan meeting online untuk memperbaiki proposalnya, agar Vipe bisa membantu," jawabnya.

"Lukanya parah?"

"Tadi sih dia bilang engga, cuma butuh istirahat satu hari. Tapi ini, surat dari rumah sakit malah bilang istirahat beberapa hari tuh. Kayanya parah, kau kan tahu dia."

"Trus kenapa harus meeting online? Biarin dia istirahat dulu napa?"

"Ya, tapi bosmu tuh, bawel. Dari tadi nanyain progres perbaikan proposalnya. Proposal itu Vipe yang bikin, akan lebih baik jika diperbaiki dengan bantuan dia agar tidak kehilangan esensinya."

"Ya juga sih, tapi kasian dia tuh," ujar Emily. "Lagian heran deh kenapa sih Pak Altair menolaknya? Padahal itu udah bagus banget, mana ga bilang lagi kurangnya dimana, salahnya dimana."

"Mood beliau kayanya lagi jadi kambing guling, dibolak balik mulu," sahut Dan sekenanya.

"Apa karena pertunangan dia sama Anjani putus?"

"Dia yang mutusin kok," jawab Dan.

"Ya kan karena dia akhirnya tahu kalo Anjani masih punya pacar. Mana pacarnya saingan berat dia lagi. Gimana ga gondok berat coba." Argumen Emily membuat Dan berpikir sejenak.

"Iya juga ya. Selama ini walaupun beliau ga begitu peduli sama hubungan mereka, tapi beliau ga pernah menolak kalo Anjani datang. Emang sih mereka ga pernah kencan, tapi kalo diundang makan malam di rumah keluarga Afon beliau juga mau mau aja tuh," heran Dan.

Keduanya sama-sama mengangguk dan berpikir itu adalah jawaban mengapa hari ini Altair bersikap aneh.

*Bersambung*