webnovel

Bab 2. Va Si Pembuat Onar

Bi Sumi mengomel ketika bel pintu utama berdentang, berisik karena sepertinya dipencet berkali-kali dengan tidak sabar. Dengan langkah lebar perempuan setengah baya itu berjalan menuju pintu utama. Lagi-lagi sembari mengomel. Omelannya terhenti begitu melihat wajah tampan di hadapannya menyeringai buruk.

"Mana Vipe?" suara serak Va membuatnya mundur satu langkah tapi tak mau mengalah dari ambang pintu. Bi Sumi mencengkeram daun pintu dan kusen demi bisa bertahan. Ia harus menahan pria ini masuk atau segalanya akan berakhir buruk. Nona kesayangannya dalam keadaan lemah sekarang, ia mungkin tidak akan bisa menghindari dari pria ini.

"Menyingkir gendut!" teriak Va kasar, kesal karena Bi Sumi menatapnya seperti monster yang siap menelan. Ia mencoba mendorong tubuh tambun Bi Sumi tapi perempuan itu bertahan sekuat tenaga.

"Anda tidak boleh masuk!" ujarnya tegas.

"Kenapa tidak? Aku ingin melihat keadaan adikku. Anjani bilang dia sakit?"

"Nona baik-baik saja, dia hanya butuh istirahat dan sekarang sedang tidur. Sebaiknya Anda pergi."

"Brengsek!" Va mendorong lebih kuat dan tubuh Bi Sumi terhempas ke dinding. Nyaris terjerembab ketika ia mencoba menahan Va sekali lagi.

"Keluar!" teriaknya, tapi Va menariknya kasar.

"Kau yang harus keluar, dasar pembantu!"

Va mendorong Bi Sumi kasar, membuatnya terhempas dan kepalanya membentur kusen pintu. Wanita itu mengeluh ketika tubuhnya menggelosoh ke lantai, darah mengalir dari dahinya yang terluka. Tapi sekuat tenaga Bi Sumi merangkak dan menahan kaki Va agar ia tidak bisa melangkah.

Va menendangnya kuat, tubuh besar Bi Sumi terhempas sekali lagi ke lantai. Tangannya terasa sangat nyeri karena terhempas berkali-kali dan kali ini terhimpit tubuhnya sendiri. Va menunduk di atas kepalanya, mencengkeram rambut beruban Bi Sumi.

"Jangan macam-macam denganku, kalau kau tidak ingin lebih sakit dari ini!" ancamnya. Melepaskan rambut Bi Sumi yang meringis kesakitan ketika kepalanya membentur lantai.

Wanita itu tak sanggup lagi bangkit, ia hanya bisa menangis ketika Va melangkah menuju kamar Vipe. "Tidak…tolong jangan kesana," lirihnya sebelum ia terkulai lemah.

Va menyeringai melihatnya terkulai di lantai, lalu melangkah menuju kamar Vipera dengan seringai menjijikkan. Ia membuka pintu kamar dengan sangat perlahan agar tidak membangunkan penghuninya. Seringainya kian melebar seperti tampah ketika melihat Vipe yang tertidur nyenyak.

"Akhirnya kesempatan ini datang," ujarnya seraya tertawa dan menjilat bibir. Ia mengunci pintu kamar sebelum mendekati tempat tidur Vipe. "Kau selalu menghindariku sejak kecil tapi sekarang kau tidak bisa menghindar Vipe," imbuhnya seraya merangkak ke atas tempat tidur.

Menunduk di atas kepala Vipe dan perlahan menurunkan kepalanya. Vipera membuka mata ketika bibir Va hanya berjarak satu senti dari bibirnya. Plak! Gadis itu menampar Va, reflek karena terkejut. Va melenguh kesakitan karena tamparan keras itu, ia mencengkeram bahu Vipe yang berusaha bangkit.

"Beraninya kau menamparku!" geram Va. Plak! Ia menampar balik Vipera yang berusaha berontak dari kungkungannya.

Gadis itu meringis menahan sakit di kedua pipinya, tapi ketakutan akan tatapan Va yang seperti kesetanan membuatnya berusaha bangkit. Ia bahkan mengadu keningnya dengan kening Va, tapi pria itu tak melepaskannya. Lagi-lagi ia menampar Vipe yang terhempas ke tempat tidur. Memberontak dan mencoba menerjangnya. Tapi Va mengunci kedua tangan dan kaki gadis itu.

"Kau tidak akan bisa lari lagi sekarang," seringai Va seraya mencengkeram lengan Vipera yang terluka dan keseleo. Membuat gadis itu menangis tanpa sadar karena rasa sakitnya yang luar biasa.

"Lepaskan aku," erang Vipera. Tapi suaranya justru membuat Va semakin menggila. Pria itu menahan kedua tangan Vipera dan menghimpitnya. Mencoba mencium bibir Vipera yang menggelengkan kepala berulang agar Va tak bisa menyentuh bibirnya. "Lepas!"

"Kau benar-benar keras kepala!" Va sekali lagi memukulnya, membuat Vipera nyaris menyerah. Tapi ia bergegas turun ketika Va melonggarkan cengkeramannya. "Sudah kubilang kau tidak akan bisa lari!"

Va menariknya hingga terhempas sekali lagi ke tempat tidur. Lalu dengan tali yang sepertinya sudah ia siapkan, Va mengikat satu tangan Vipera ke tempat tidur. Melanjutkan mengikat tangannya yang lain dan juga kedua kakinya. Pekerjaan yang membuatnya kehilangan banyak tenaga karena gadis itu meronta dan menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri.

"Sekarang kau tidak bisa bergerak," seringainya begitu Vipera terikat sempurna. Kaki dan tangan gadis itu terpentang di tempat tidur. "Kau tidak akan bisa menolak lagi sekarang, Vipe."

Va merangkak di atas tubuh Vipera, menekan leher gadis itu ketika ia memalingkan kepala agar Va tidak bisa menciumnya. "Jangan membuatku marah, Vipe," geramnya. Dengan kasar ia menekan leher Vipe dan memaksakan bibirnya.

"Kurang ajar!" tangannya sekali lagi menampar Vipe karena gadis itu menggigit bibirnya. "Kau benar-benar minta disiksa!"

Erggh! Vipera mengerang karena lehernya tercekik. Dengan kasar Va merobek pakaiannya, gadis itu tak bisa menolak ataupun menahannya ketika Va perlahan melepaskan seluruh pakaiannya. Tertawa seperti orang gila saat melihat tubuh polos Vipera yang tak berdaya.

Gadis itu menggigit bibirnya ketika tangan Va menjalari seluruh tubuhnya dengan kasar. "Tolong hentikan," erangnya ketika Va semakin menggila.

Va tak menjawab, ia hanya membekap mulut Vipera dengan telapak tangan sementara tangannya yang lain menjelajahi tubuh gadis itu. Air mata mengaliri pipi Vipera setiap kali ia merasakan jari-jari Va menjamahnya.

Brak!

Suara benturan keras itu membuat Va terkejut, ia menoleh dan membelalak. Daun pintu terlepas dari bingkainya, rubuh dan hampir saja menerpanya. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, Va berteriak ketika tubuhnya terangkat dan terhempas ke lantai. Ditarik dengan kasar dan mengerang keras ketika wajah dan tubuhnya dihantam bertubi-tubi.

"Cukup Tuan!" suara jeritan Bi Sumi menyadarkan orang yang tengah menghajar Va. Sosok itu melepaskannya dan membiarkan pria itu berdebam di kakinya. Masih sempat menendang Va hingga meringkuk kesakitan sebelum menarik selimut dan menutupi tubuh telanjang Vipera.

Memeluk gadis itu erat dan membuka seluruh ikatan tangan dan kakinya. "Maaf aku terlambat, Vipe."

Vipera menangis sejadi-jadinya, memeluk sosok itu dan menangis di dadanya. "Aku benar-benar minta maaf," bisik sosok itu lagi.

"Tidak," Vipera menjauhkan dirinya dari dada bidang itu. Menatap Lev yang balas menatapnya dengan penuh penyesalan. "Terima kasih kau datang. Jika tidak….aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Lev memeluknya lembut, merapikan rambut Vipera yang masai dan membaringkannya kembali ke tempat tidur. "Bi Sumi akan membantumu berpakaian," ujarnya pelan. Vipera mengangguk dan sekali lagi menggumamkan terima kasih.

"Tolong jangan membuatnya cedera," pinta Vipera ketika Lev mengangkat tubuh Va dari lantai. "Kembalikan saja dia kerumahnya. Aku tidak ingin mereka menyalahkanku lagi atas semua ini."

Lev mengangguk dan menyeret tubuh Va keluar. Memberikannya pada dua orang pria bertubuh jangkung yang menunggunya di bawah. "Bawa dia ke rumah keluarga Afon. Pastikan dia ditemukan oleh mereka sebelum dia sadar. Kalian boleh menghajarnya selama dia masih tetap hidup," ujar Lev seraya melempar tubuh Va pada mereka.

Kedua pria itu mengangguk dan menggotong Va menuju kendaraan. Melemparnya begitu saja dan berlalu. Sementara itu, Lev kembali ke kamar Vipera. Gadis itu sudah berpakaian tapi masih terisak.

"Tolong obati Bibi dulu," pinta Vipera begitu Lev muncul dengan kotak obat di tangan. "Sepertinya kepala Bibi terluka cukup parah."

Lev yang tahu kondisi Bi Sumi hanya mengangguk, ia meminta perempuan setengah baya itu untuk duduk di sebuah kursi lalu membersihkan lukanya. "Bibi seharusnya ke rumah sakit. Luka ini perlu dijahit," ujar Lev ketika membersihkan luka di kening Bi Sumi.

Wanita itu menggeleng. "Tidak perlu, Bibi tidak apa-apa. Bibi hanya minta tolong bawa Nona ke rumah sakit. Dia demam dari semalam dan ada beberapa luka karena kecelakaan semalam."

Bi Sumi menoleh pada Vipera yang memejamkan mata, air mata masih mengalir di sudut-sudut matanya. "Dia terluka di beberapa bagian. Tolong bawa ke rumah sakit," pintanya sekali lagi.

Lev mengangguk. Ia menyelesaikan membalut luka-luka kecil Bi Sumi lalu menghampiri Vipera. Gadis itu membuka mata ketika merasakan ada orang di sisinya, menatap Lev sendu. Menggeleng ketika Lev memintanya ke rumah sakit.

"Kompres saja," ujarnya ketika Lev mengatakan pipinya yang membiru karena tamparan dan pukulan Va harus diobati.

"Tidak cukup hanya dengan kompres," ujar Lev tegas. "Kalian berdua harus mendapatkan penanganan medis untuk luka-luka kalian. Jangan keras kepala."

Lev mengangkat tubuh Vipera dari tempat tidur dan menggendongnya keluar menuju mobil. Meletakkannya dengan hati-hati di kursi penumpang dan meminta Bi Sumi ikut masuk.

"Lev, sungguh aku tidak mau ke rumah sakit," rengek Vipera.

"Vipe, sekali ini tolong dengarkan aku."

*Bersambung*