webnovel

Bab 3. Putus Ya Putus!

Lev menatap Vipera yang sedang diobati oleh dua suster, mereka membersihkan lukanya dengan hati-hati. Pemuda itu menggeram dalam hati.

'Pasti Anjani yang memberitahu Va kondisi Vipe yang sedang lemah. Si Brengsek itu selalu mencari cara untuk bisa menjamah Vipe.'

Ia mengepalkan tangan saking kesalnya, 'Selama ini aku sudah bersabar dengan kalian. Tapi kali ini sudah keterlaluan.'

Lev menghampiri Vipera setelah ia selesai diobati. "Kupikir sebaiknya kau pindah saja dari rumah itu sementara Vipe. Agar mereka tidak selalu mencari kesempatan untuk menyakitimu," ujar Lev.

Vipera menatapnya sebentar, dia sudah memikirkan kemungkinan itu. Tapi Vipera tidak bisa pindah begitu saja. Sekalipun ia berasal dari keluarga kaya raya, tapi Vipera tidak mendapatkan fasilitas yang harusnya ia dapatkan selayaknya seorang anak. Semua fasilitas itu didapatkan Anjani dan Va, yang bahkan bukan anak kandung sang ayah. Selama ini mengandalkan warisan dari sang ibu untuk bertahan. Dan mencari sebuah rumah dalam waktu singkat tidaklah mudah. 

"Aku punya rumah kecil tak jauh dari tempat kerjamu. Kau bisa tinggal disana sementara. Setelah semua ini selesai kau bisa kembali ke rumahmu."

Lev tahu, berat bagi Vipera meninggalkan rumah yang sekarang karena merupakan rumah warisan dari ibu kandungnya. "Tapi jika kau keberatan untuk pindah, aku akan meminta seseorang menjagamu disana."

"Tidak Lev. Aku memang harus meninggalkan rumah itu," ucap Vipe lemah.

"Baiklah, setelah kau keluar dari rumah sakit kita akan pindah," jawab Lev. "Aku keluar sebentar," ucapnya seraya bangkit. Vipe mengangguk dan menatap punggungnya yang menjauh.

Pria itu, orang yang selalu ada untuknya. Orang yang selalu siap datang kapan saja dan selalu muncul saat Vipe berada dalam kondisi terlemahnya. Sahabatnya sejak kecil. Vipe kadang hanya menyayangkan Lev harus jatuh cinta pada perempuan seperti Anjani. Adik tirinya dengan mulut berbisa, lebih tajam dari bisa ular kobra sekalipun.

Sementara itu di luar, Lev menghubungi seseorang. "Tolong bersihkan rumah itu dan tambahkan beberapa hiasan dan barang lainnya."

Pria itu menghela nafas panjang setelah mengakhiri percakapan. Memejamkan mata kesal saat ponselnya berdering dan nama Anjani tertera di sana. "Kau dimana?" suara gadis itu melengking kesal. Ia tidak bisa menghubungi Lev sejak tadi.

"Aku sedang ada pekerjaan," jawab Lev. "Maaf aku tidak bisa datang," imbuhnya ketika Anjani meminta ia segera datang kerumah gadis itu.

"Kau sekarang bisa menolak ya?" cetus Anjani kesal. Selama ini Lev sangat menurut padanya. Pria itu biasanya menuruti semua kemauan Anjani kecuali menyiksa Vipera.

Bagian yang paling membuatnya kesal dan marah. Sekalipun Lev adalah kekasihnya tapi ia selalu melindungi Vipe. Setiap kali Anjani berusaha menyakitinya, Lev akan mencegahnya dengan segala cara. Dia bahkan merelakan tubuhnya dipukuli selama itu bisa membuat Vipe terhindar dari kemarahan Anjani atau keluarganya.

'Sebenarnya dia mencintaiku atau tidak?' pikiran itu sempat terlintas dalam benak Anjani. Tapi melihat sikap Lev yang memanjakan dan menuruti kemauannya yang lain, gadis itu merasa Lev hanya tidak tega melihat Vipe.

"Kalau kau tidak datang sekarang, kita putus!" jerit Anjani kesal.

"Putus ya putus," ucap Lev. "Aku sudah lelah denganmu."

Anjani terhenyak, barusan pria itu bilang lelah dengannya? "Kau!"

"Cukup Anjani. Kalau kau ingin putus, ayo kita akhiri semua ini sekarang. Lagipula kau sudah ditunangkan bukan? Itu juga baik, karena aku tidak ingin menjadi laki-laki yang merebut perempuan orang lain."

"Lev!"

Anjani melototi ponselnya yang tak bersalah, Lev menutup pembicaraan mereka begitu saja. "Apa sih!?" jeritnya kesal. Ponsel itu melayang dari tangan indahnya, beruntung salah satu pengawalnya berhasil menangkap ponsel malang itu dan mengembalikannya.

"Dia kenapa? Kenapa tiba-tiba setuju untuk putus?" Anjani masih kesal dan heran.

"Vaaa!" jeritan panjang itu membuat suasana rumah seketika heboh. Felicia, ibu Anjani menjerit ngeri ketika salah satu satpam rumah mereka menggendong tubuh Va masuk.

"Apa yang terjadi?!" jeritnya. "Apa yang kau lakukan pada anakku?" ia menarik satpam itu dengan kasar, mencengkeram kerah kemejanya. "Katakan padaku apa yang terjadi? Kenapa anakku seperti ini?!" jeritnya lagi.

Si satpam kebingungan menjawab rentetan pertanyaan itu. "Maaf Nyonya, kami menemukan Tuan Muda di depan gerbang. Kami tidak tahu apa yang terjadi, tapi Tuan Muda ada dalam mobilnya sendiri dan sudah seperti itu."

Felicia menjerit agar seseorang membawakan selimut untuk menutupi tubuh telanjang Va. Ngeri melihat betapa banyak luka dan lebam di tubuh putranya. Wajah Va bengkak dan mulai membiru.

"Dia masih hidup?" tanya Anjani ketika sampai di tempat itu, Felicia melotot pada putrinya.

"Tutup mulutmu! Tentu saja kakakmu masih hidup!"

"Ih, kan cuma nanya," desis Anjani sebal, ia menatap Va yang dibawa ke kamarnya dan dibaringkan di tempat tidur. Wajah Va nyaris sulit dikenali karena bengkak dan penuh lebam yang mulai membiru.

"Sayang, siapa yang melakukan ini? Katakan pada Mama," ratap Felicia, ia membasuh wajah Va dengan sangat hati-hati agar membersihkan luka-lukanya. "Bangunlah, ceritakan pada Mama siapa yang melakukan ini padamu."

Bibir Anjani berkedut mendengar ratapan ibunya. Kesal karena Felicia selalu memanjakan Va lebih dari ia memanjakan Anjani.

"Nyonya, Dokter Felix sudah datang," seseorang memberitahu dan Felicia bangkit seraya menghapus air mata. Memberi tempat pada pria muda yang datang dengan membawa tas medisnya.

Felix memeriksa seluruh tubuh Va dan menggeleng, dalam hati bersyukur karena pria muda di hadapannya itu masih hidup. Ia tidak bisa membayangkan ada seseorang yang bisa bertahan dalam begitu banyak luka lebam. 'Dia pasti dipukuli dalam waktu yang cukup lama,' batin Felix.

"Saya rasa kita perlu membawanya ke rumah sakit," ujar Felix, tapi Felicia menggeleng keras.

"Tidak, tidak ada yang boleh tahu kejadian ini," ucapnya cepat. "Bahkan Afon pun tidak boleh tahu."

Felix menatap Felicia sebentar, ia mengerti mengapa perempuan itu ingin merahasiakan kejadian ini. Jika Afon tahu kejadian ini, mereka hanya akan menerima kemarahan yang lebih menakutkan. Suami Felicia itu, sangat tidak menyukai Va yang merupakan anak tirinya. Anak yang dibawa Felicia dari pernikahan sebelumnya.

"Tapi dia akan sulit bertahan kalau hanya dirawat di rumah," ujar Felix. "Dia membutuhkan peralatan yang lebih lengkap jika Anda ingin dia selamat."

"Lakukan sebisamu. Kalau kau butuh peralatan, aku akan membawanya ke kamar ini," ujar Felicia. Felix menghela nafas panjang.

"Baiklah," ujarnya pelan.

"Kalian semua, tutup mulut kalian dan jangan sampai Afon tahu apa yang terjadi," ujar Felicia, menatap semua orang yang hadir di kamar itu. "Terutama kau Anjani."

Anjani mendecih dan beranjak keluar dari kamar itu. Ia masih kesal dengan sikap Lev yang mendadak setuju untuk putus. Pria yang biasanya bertahan sekasar apapun Anjani memperlakukannya, tiba-tiba setuju untuk berpisah. Itu membuat Anjani merasa seperti sedang dicampakkan.

Gadis itu bergegas keluar, berteriak pada salah satu sopirnya untuk mengantar. "Non mau kemana?" seorang pria setengah baya berjalan sedikit membungkuk dan membukakan pintu mobil untuknya. Anjani menghenyak di kursi belakang dengan bibir yang hampir bisa dikuncir.

"Ke kantor Altair," ujarnya singkat.

Sementara itu Vipera memaksa ingin pulang setelah merasa sedikit lebih baik. Bi Sumi yang tahu tabiatnya meminta agar Lev memenuhi keinginannya itu. "Percuma ditahan, daripada dia nyabut sendiri infusnya," ujar Bi Sumi.

Mau tidak mau Lev mengabulkan permintaan itu setelah berkonsultasi dengan dokter. "Tapi kau harus istirahat di rumah," ujar Lev. Dalam hati bersyukur rumah yang ia siapkan untuk Vipera sudah selesai dibersihkan.

"Kita kembali ke rumah baru aja, aku akan mengambil barang-barangmu nanti," ujarnya ketika mereka di perjalanan.

"Va tidak mungkin kembali kan?"

"Untuk sementara kurasa tidak, Vipe," jawab Lev tanpa menoleh. Ia tidak ingin gadis itu tahu apa yang sudah dilakukan orang-orangnya pada Va. Dalam hati berpikir saat ini kediaman Afon pasti sedang heboh.

Vipera menatap ponselnya, membalas satu per satu pesan yang belum sempat ia buka. "Banyak juga," gumamnya. Ia membuka pesan dari Dan dan tersentak.

"Kau tidak masuk, terjadi sesuatu?" suara Dan terdengar dari seberang sana.

"Hmm, tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat satu hari," jawab Vipera pelan. Ia mengerling Lev yang melototinya.

"Kalau kau butuh lebih dari satu hari, tidak apa-apa. Jangan khawatir soal pekerjaan."

"Um, thanks Dan."

Altair menoleh ketika Dan menutup panggilannya. "Siapa?"

"Ah, hanya Vipera," jawab Dan seraya tersenyum canggung. Altair tak menanggapi jawabannya itu dan memberi isyarat agar Dan segera keluar.

Brak!

Pintu ruangan Altair berdebam kencang karena dibuka paksa dari luar. Kedua pria itu menoleh dengan kening berkerut.

"Maaf, Pak. Dia memaksa masuk," Emily sekretaris Altair berucap dengan nada ketakutan.

"Biarkan," ucap Altair seraya memberi isyarat agar Emily dan Dan keluar dari ruangan itu. Keduanya menutup pintu dengan sangat perlahan saat mereka meninggalkan ruangan.

"Kau tidak bisa datang tanpa membuat keributan?" tanya Altair ketika Anjani duduk dengan kasar di hadapannya.

"Kau yang cari masalah!" pekik gadis itu jengkel. "Memangnya apa salahku sampai kau ingin memutuskan pertunangan kita?"

"Oh, soal itu," ujar Altair pelan. "Kau memiliki kekasih, aku tidak ingin jadi orang ketiga."

"Kami sudah putus kok!" jawab Anjani cepat. "Kau harus bilang sama Papa kalau kau membatalkan keputusanmu."

Altair menatap wajah cantik di hadapannya, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan tersenyum. "Tidak semudah itu, Anjani. Dan lagi aku tidak akan mengubah keputusanku."

"Tapi kenapa? Kalau hanya masalah aku punya kekasih, toh aku sudah memutuskan dia!" sergahnya.

"Lalu kau yakin dia tidak akan membuat masalah nanti?" tanya Altair dengan menyipitkan mata.

Gadis ini, sangat dipuja oleh ibunya. Tapi Altair tak menyukai sikapnya yang manja, kekanakan dan seenaknya. Dia yang menjadikan posisinya sebagai tunangan Altair untuk menindas orang lain. Dia yang menggunakan kedudukannya sebagai putri Afon, salah satu pengusaha dengan kekayaan tak terbatas untuk merendahkan orang lain.

Sejujurnya, gadis ini tidak dalam radar Altair sebagai calon istri yang ideal.

*bersambung*