webnovel

Bab 15. Kesepakatan Rahasia

"Aku bisa menceritakan segalanya tentang dia, jika kau membutuhkannya," ujar Lev.

Altair menatap matanya yang hijau cerah, berpikir apakah pria ini sedang mengujinya atau benar-benar tulus menawarkan hal itu? "Kau tidak merasa rugi? Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini, Lev. Aku benar-benar akan membuatnya menjadi milikku."

"Jika dia menginginkan hal yang sama, kenapa tidak?" jawab Lev. Altair menyipitkan mata menatapnya.

Sedalam itukah Lev mencintainya, sampai ia sanggup melepaskan selama wanita yang ia cintai bahagia? 'Aku tak akan sanggup seperti itu,' pikir Altair. Baginya, selama jantungnya masih berdetak, maka ia akan membuat wanita itu menjadi miliknya sendiri.

"Kau memiliki definisi cinta yang berbeda denganku. Karena aku tidak akan pernah mengalah," ujar Altair.

Lev tersenyum, "Terserah, tapi aku hanya akan memberimu kesempatan satu kali. Jika sekali saja kau membuatnya menangis, kesempatanmu habis."

Altair tersenyum, mengulurkan tangannya pada Lev yang menjabatnya erat. Perjanjian diantara mereka terjalin sudah tanpa diketahui Vipera. "Tapi aku berharap kau benar-benar bisa melindunginya dari Afon dan keluarganya," harap Lev saat melepaskan tangan Altair. 

"Mereka selama ini memperlakukannya dengan sangat buruk," ujar Lev. "Catatan penting bagimu, dia memiliki ketakutan yang sangat besar pada Nyonya Felicia. Karena terlalu sering mendapat kekerasan darinya sejak masih sangat kecil. Trauma yang mungkin tak akan pernah bisa ia atasi. Pada Anjani dia masih bisa melawan, tapi tidak pada Felicia dan juga Va. Dua orang itu, sangat penting kau jauhkan darinya."

Altair menatap Lev lama, "Seburuk apa mereka memperlakukannya?"

"Kau bayangkan saja anak dari usia balita mendapat kekerasan fisik dan verbal hampir setiap hari. Jangan terkejut kalau kau melihat ada banyak bekas luka di tubuhnya."

"Separah itu?" desis Altair. "A…." Altair menahan pertanyaan yang hendak meluncur dari bibirnya ketika melihat Lev menggoyangkan bahunya ke arah kanan. Ia menoleh, Vipera keluar dari kamarnya dengan pakaian rumah.

Sekalipun di pipinya masih menyisakan memar yang sudah cukup samar tapi itu tak mengurangi kecantikannya. Gadis itu tersenyum pada keduanya, mengambil cangkir kecil dan menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.

"Gerd," ujar Lev mengingatkan bahwa ia memiliki gerd yang kadang suka kambuh saat ia mengonsumsi kopi.

Vipera menarik kedua sudut bibirnya terlalu jauh sembari bergumam, sehingga lesung pipinya terlihat jelas. Membuat level kecantikannya semakin naik dimata Altair. Dengan mulut sedikit mengomel ia mengambil coklat dan menyeduh coklat panas untuk dirinya sendiri. Duduk cukup jauh dari keduanya sembari membawa tabletnya. Alis Altair bertaut melihatnya duduk serius dengan mata fokus pada gadgetnya.

"Selain bekerja padamu, dia juga bekerja sebagai inker freelance," jelas Lev tanpa diminta. Altair mengangguk mengerti.

"Sudah lama?" herannya.

"Dulu dia lebih banyak menggambar dan sesekali melukis, tapi sejak kenal inker dia lebih banyak mengambil pekerjaan itu karena bayarannya jauh lebih besar dari lukisan ataupun menggambar," jawab Lev. "Dia harus membiayai dirinya sendiri karena itu Vipe bekerja lebih keras dari orang lain."

"Ah, aku ada pekerjaan, kau bisa menemaninya kurasa," ujar Lev seraya bangkit. "Vipe, aku keluar sebentar," sambungnya.

Vipera menoleh dan mengangguk, "Jangan terlalu malam, kalo ga balik bilang."

"Siap!" Lev melambai dari pintu seraya menyampirkan jaket.

"Jangan pake motor gue!" teriak Vipera, membuat Altair menahan tawa. Ia mendekati Vipera dan duduk disisinya dan menatapnya sepanjang gadis itu melakukan pekerjaannya.

Vipera melirik pria itu, dalam hati mengomel mengapa ia bertahan disini sementara Lev saja sudah kabur? Altair menyadari lirikan tajam itu, tersenyum kecil karenanya. "Kau tidak berniat keluar?" tawarnya setelah Vipera akhirnya meletakkan tabletnya.

Gadis itu menoleh ke jam di dinding. "Sepertinya tidak," sahutnya, menyadari ia sudah bekerja selama dua jam untuk satu lembar gambar yang harus ia warnai. Cedera di tangannya yang belum pulih membuat ia bekerja sedikit lebih lama dari biasanya.

"Sudah terlalu malam untuk keluar," tambahnya ketika melihat mata Altair yang tak percaya dengan jawabannya. "Ah, saya perempuan ortodoks yang tidak suka keluar malam," sambungnya.

"Vipe!" suara riang itu membuat keduanya menoleh, Dan melotot ketika matanya menemukan Altair yang duduk di sisi Vipera. Menatap Vipera dengan tatapan aneh, seolah mengatakan 'dia ngapain disini?'

Vipera menyadari tatapan sahabatnya itu dan mengedikkan bahu, Altair memahami bahasa isyarat keduanya dan bangkit. "Aku hanya mampir," sahutnya.

Mata indah Vipera membola seketika. 'Mampir? Ada ya mampir sampai hampir empat jam lamanya?' gadis itu bersungut-sungut dalam hati.

"Oh? Bapak sudah mau pulang kalau begitu?" tanya Dan kejam. Ia mendekati Vipera dan duduk begitu saja di sisi gadis itu. "Nih, Mama titip makanan kesukaanmu. Katanya belum sempat kesini karena Papa masih kurang sehat."

"Om Theo sakit?" tanya Vipera, Dan mengangguk kecil.

"Hanya demam kok, ga parah-parah amat," jawabnya acuh. "Laper, punya makanan?"

Dan bangkit dan menggerayangi dapur kesayangan Bi Sumi, sampai wanita setengah baya itu muncul dan mengomel. "Bukannya datang bawa makanan, malah nyari makan disini," omelnya.

"Bawa sih Bi, tapi kata Mama itu buat Vipe seorang. Aku anaknya ga dikasih makan."

"Woy, dasar playing victim!" ujar Vipera dengan nada kesal yang dibuat-buat. "Nih, abisin," ia melambaikan makanan yang dibawakan Dan untuknya.

"Jiah, kan kangennya masakan Bibi," rajuk Dan pada Bi Sumi, Vipera mendesis sebal melihat tingkahnya.

"Keluar yuk, temenin cari makan," ujar Dan, tidak peka melihat wajah Altair yang sudah dipenuhi cuka karena ia datang tiba-tiba dan mengganggu.

"Udah malam, males," jawab Vipera. Dan menghampirinya, menunduk di atas kepalanya yang mendongak di punggung sofa. Hidung mereka hampir beradu, membuat Altair menggeram kesal.

"Ayolah," Dan mengacak rambut Vipera setelah menjitak dahinya. "Lapar banget. Pake banget Vipe."

"Yaudah, mi instan ya," tawar Vipera.

"Kau tidak bisa keluar sendiri?" omel Altair.

Dan menoleh dan menyeringai pada bosnya itu. "Wah, Bapak masih disini? Katanya cuma mampir?" sindir Dan seraya meraih tablet milik Vipera.

"Neng, ini bisa dijual ga?" tanyanya seraya melambaikan tablet, ada foto sepasang kucing mungil disana.

"Kucingnya apa fotonya?" tanya Vipera, membawa semangkuk mie instan yang mengepul ditangannya. Memberikan mangkuk panas itu pada Dan yang menerimanya dengan seringai selebar tampah.

"Dua-duanya," jawab Dan asal, melahap mie-nya dengan rakus. Vipera menatap sahabatnya itu dengan prihatin.

"Kau sudah ngga makan berapa hari?"

"Aku benar-benar kelaparan," ujar Dan tergesa. "Sejak pagi Papa rewel minta ini itu sampai ga sempat duduk. Untung masih bisa kabur ke sini, aku nginep ya."

Altair yang jadi kambing congek diantara dua sahabat itu kesal sendiri. Ia menatap Dan yang membawa mangkuk kotor ke dapur dan mencucinya. Lalu memandang Vipera, berharap gadis itu akan menolak permintaan Dan untuk menginap.

"Terserah, bentar lagi Lev juga pulang. Kau bisa pilih kamarmu sendiri," ucapnya, membuat Altair makin kesal.

"Kau tidak malu menginap di rumah perempuan?"

Dan menoleh dan menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. "Udah biasa, Pak," jawabnya kemudian. "Udah malam, Bapak mau nginep juga?"

Kalau mengikuti kekesalannya, Altair akan menjawab iya, tapi ia masih menjaga citranya di depan Vipera dan menggeleng. Bangkit dan menatap Vipera. "Sepertinya aku harus pulang," ujarnya seolah gadis itu akan keberatan jika ditinggalkan.

Vipera mengangguk secepat kilat, permintaan yang sudah ditunggunya sejak tadi. Dalam hati bersyukur akhirnya manusia monster kantor itu akhirnya pulang. Ia mengantar Altair sampai teras, tersenyum setengah hati ketika pria itu melambai padanya.

"Dia ngapain sih kesini?" tanya Dan setelah Altair pergi.

"Ngga tau, tadi aku sama Lev ke rumah Ibu. Pulang-pulang udah ada dia disini. Mana ga mau pulang lagi dari sore."

Dan mengekeh mendengar penjelasan itu, "Jangan-jangan dia pikir dia lagi ngapelin kamu?"

"Apaan deh?"

"Kamu emang cewek yang paling ga peka sebumi," omel Dan. "Dia menggendongmu dari lift sampai ke mejamu, maksa datang untuk besuk, waktu Anjani mengamuk terakhir kali di kantor, dia juga melindungimu kan? Dan sekarang datang kesini malam minggu."

Wajah Vipera seketika memerah, teringat Altair menggendongnya hari itu. Seingatnya tidak ada orang di sana saat itu, kenapa Dan bisa tahu? Wajahnya yang memerah membuat Dan terkekeh.

"Aku selalu datang lebih pagi dari dia, kalo engga bisa diomelin seabad," sahut Dan. "Jadi satu-satunya yang ngeliat dia gendong kamu ya aku." Dan mengacak rambut Vipera, tertawa geli melihat wajahnya yang memerah tomat.

"Dia ga pernah seperhatian itu sama perempuan Vipe. Sama Anjani yang jadi tunangannya selama tiga tahun aja ga pernah. Tahu kenapa hari itu dia nyuruh revisi proposal?"

Vipera menggeleng.

"Karena bukan kau yang mempresentasikannya," jawab Dan. "Ketika kau hadir dalam zoom, dia langsung setuju tanpa revisi kan? Aku mengenalnya sudah enam tahun, dia tidak pernah peduli pada perempuan manapun. Mungkin satu-satunya perempuan yang pernah ia pegang apalagi digendong cuma kamu."

"Sudahlah. Itu sangat tidak mungkin. Lagipula, aku bisa dimutilasi Anjani dan Ibu Tiri kalau terlibat dengannya," ujar Vipera.

"Ya, mungkin akan berat sih, tapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Jika dia menginginkan sesuatu dia akan mendapatkannya dengan segala cara. Kau siap-siap aja dikejar sama dia."

Vipera hanya mengedikkan bahu, "Aku mau tidur," sahutnya kemudian. Menghindari topik Altair dan memilih kabur ke kamarnya. "Tolong kunci pintu, Lev bawa kunci sendiri."

Dan melempar tubuhnya setelah Vipera masuk ke dalam kamar. Gadis itu menoleh ketika ponselnya berdenting halus.

'Kau sudah tidur? Si Brengsek itu benaran menginap?' pesan dari Altair, membuat alis Vipera bertaut.

'Baru mau tidur, Dan sudah biasa menginap disini,' balasnya.

'Baiklah. Selamat tidur.'

Vipera menunggu jika ada pesan lagi dari Altair karena sepertinya pria itu masih mengetik. Tapi menunggu hingga matanya terasa perih, pesannya tak muncul. Vipera meletakkan ponsel dan memilih tidur. Yang tidak ia ketahui, Altair menghapus pesannya beberapa kali sebelum akhirnya menyerah.

'Belum waktunya, sabar,' Altair membisiki dirinya sendiri. Tapi dalam hati ia mengomeli Dan yang menginap disana. 'Tunggu hukumanmu lusa,' geramnya dalam hati.

Tapi Altair tak sabar menunggu hingga lusa, besoknya pagi-pagi sekali ia sudah mengirim sederet pesan pada Dan. Memberinya banyak sekali pekerjaan sehingga Altair sendiri menduga ia tidak akan sempat bernafas dengan baik hari ini. Dan yang baru bangun dan turun menuju dapur untuk mencari sarapan mengomel panjang melihat deretan pesan dari Altair.

"Kenapa?" tanya Vipera dan Lev yang sudah duduk manis di meja. Menyantap sarapan yang disiapkan Bi Sumi.

"Tuh, calon pacarmu bikin ulah. Kayanya dia kesal karena aku mengusirnya secara tidak langsung semalam," omelnya. Lev mengerutkan dahi menatapnya.

"Altair?" tanyanya, Dan mengangguk keki.

"Hmm, dasar monster kantor."

*Bersambung*