webnovel

Bab 16. Keluarga Yang Hobi Mencari Masalah

Vipera menatap Dan dengan prihatin, menarik kursi agar pria itu duduk disisinya. Dan menghenyakkan tubuh begitu saja disisinya. "Makanlah yang banyak," ujar Vipera seraya menggeser sepiring sandwich dan semangkuk bubur padanya. "Agar kau lebih kuat menghadapi monstermu."

Lev menatap sahabatnya dengan menahan tawa, mendorong segelas susu pada Dan. "Habiskan, karena kau akan butuh energi yang sangat besar untuk menghadapinya."

"Kalian tidak akan membantuku?" tanya Dan dengan tatapan memohon, memasang muka super memelas.

"Maaf Dan, bukan ga mau bantu tapi aku harus menyerahkan dua lembar gambar hari ini," sahut Vipera, tersenyum menyesal pada Dan. "Aku akan membantumu setelah mengirimnya, oke."

Dan mengangguk sambil menggumamkan it's ok pada Vipera lantas menoleh pada Lev yang pura-pura tak melihatnya. "Jangan pura-pura ga denger, kau kan pengangguran," semprotnya.

Lev mendelik sebal pada Dan tapi tetap mengangguk. "Ya."

Ketiganya menoleh pada benda yang sama ketika ponsel Vipera berdering. Mata Dan melebar ketika melihat kontak yang menghubungi Vipera. "Jangan diangkat," ujarnya cepat ketika Vipera meraih ponselnya membuat Lev menoleh penasaran.

"Tapi….," suara Vipera ragu-ragu.

"Memang apa yang dia perlukan darimu?" ujar Dan, nadanya terdengar sangat kesal karena itu Lev berpikir Altair lah yang menelepon Vipera. Tapi ketika ia mengambil ponsel gadis itu, sesungging senyum kesal terbit di bibirnya.

"Ada perlu apa dia menghubungimu?" desisnya. Vipera menggeleng. Ia mengambil ponsel yang diulurkan Lev dengan ragu.

"Jawablah, dia tidak akan berhenti sebelum kau menjawabnya. Bisa-bisa kau diteror satu keluarga," sahut Lev tenang. Ia kembali fokus pada makanannya. "Disini saja," ujar Lev ketika Vipera berencana bangkit. Gadis itu menghenyakkan lagi bokongnya di kursi.

"Halo Tuan Afon?" suara Vipera terdengar sangat pelan, membuat pria yang bicara dengannya mendengus kesal.

Mata Dan dan Lev menatap Vipera tajam, tangan keduanya siaga siap merebut kapan saja ponsel itu jika Afon mengatakan sesuatu yang buruk. Mereka akan mengetahuinya dari raut wajah Vipera.

"Datanglah ke rumah sore ini. Ada yang harus kubicarakan denganmu," suara Afon terdengar tak bersahabat.

"Maaf, tapi….," suara Vipera tercekat, ia belum menyelesaikan kalimatnya tapi Afon sudah memotong kalimatnya.

"Jangan bilang kau tidak bisa datang! Memangnya kau sibuk apa?" bentaknya. Vipera melirik kedua temannya, menghela nafas panjang. "Kau merebut kekasih adikmu lalu kau juga membuat tunangannya memutuskan pertunangan mereka. Kau pikir kau siapa?"

Lev dengan tidak sabar menarik ponsel dari tangan Vipera, suara Afon yang super keras terdengar sekalipun Vipera sudah membekap ponselnya erat. "Anda mempertanyakan mengapa saya memutuskan Anjani?" suara Lev terdengar berat, penuh dengan amarah.

"Kau?"

"Ya, saya akan jelaskan tanpa harus mendatangi Anda," sahut Lev kemudian. "Menurut Anda siapa yang tahan dengan perempuan yang hanya bisa merengek, menjerit dan menghentakkan kaki setiap kali keinginannya tak terpenuhi? Saya menjalin hubungan dengannya, bertahun-tahun bertahan hanya dengan harapan kalian tidak menyiksa Vipera. Tapi ternyata itu sama sekali tak berguna. Anda juga ingin bertanya mengapa Altair memutuskan pertunangan mereka? Menumpahkan kesalahan pada Vipera? Sebaiknya buka mata Anda lebar-lebar, lihat baik-baik apa putri Anda memang layak dicintai?"

Setelah mengatakan itu, Lev mematikan ponsel dan memblokir nomor Afon. Vipera menatapnya. "Kau melakukan itu, mereka pasti akan mencariku lagi," keluhnya.

"Tegakkan bahumu mulai sekarang. Jika mereka berteriak padamu balas berteriak juga pada mereka. Jika mereka menghinamu, balas juga dengan penghinaan. Kau bisa melakukannya. Kau sama sekali tak berutang apapun pada keluarga itu."

Dan tersenyum, diantara tugasnya yang menumpuk seperti puncak Himalaya, kata-kata Lev barusan adalah penghiburan terbaik baginya. Ia sudah lama geram ingin memaki balik keluarga Afon. Dan kejadian hari ini, harus ia laporkan pada Altair agar Vipera tidak diganggu keluarga Afon lagi.

Sementara itu, Afon melototi ponselnya begitu panggilan berakhir. "Anak itu mematikannya?" herannya dengan nada murka. Sementara Anjani merengek di sampingnya, bertanya apakah Vipera atau Altair akan datang?

Ia sudah mencoba menggunakan ibu Altair tapi tak berguna. Perempuan itu justru membuatnya semakin kesal karena terkesan ikut melindungi Vipera. Ibunya pun tak bisa mendekati gadis itu karena Lev melindunginya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah sang ayah. Tapi sepertinya pun tak berdaya?

"Diamlah!" bentak Afon ketika rengekan Anjani menyemakkan telinganya. "Lev benar, kau hanya bisa merengek!"

Mata indah Anjani membola, Lev mengatakan itu? Pria yang selama ini tunduk di bawah kakinya berani mengatakan itu? Dada gadis cantik menggemuruh dalam kemarahan. Dengan kasar ia menarik tasnya dan menghubungi Lev. Pria itu mengerling ponselnya, mencibir ketika melihat nama Anjani disana. Tadinya ia berniat memblokir gadis itu tapi karena tidak ingin ia mengganggu Vipera, Lev membiarkannya. Tapi memilih untuk mengabaikan setiap kali ia menghubungi.

"Sepertinya sekarang tuan putri yang mencarimu?" kekeh Dan. Lev menyeringai dan mengambil ponselnya. Menjawab panggilan itu tanpa mengatakan apapun.

"Lev! Apa yang kau katakan pada Papa?" jeritan di seberang sana terdengar sampai ke seluruh ruangan. Vipera menyeringai mendengar jeritan itu.

"Aku hanya mengatakan perempuan yang hobi merengek seperti kau tidak layak dicintai. Apa itu salah?" sahut Lev.

Dada Anjani menggeliat dalam kemarahan yang luar biasa. "Kau bilang aku tidak layak dicintai? Kau bahkan bertahan bertahun-tahun dalam hinaanku!"

"Semata karena aku ingin melindungi sahabatku yang jauh lebih berharga darimu," sahut Lev ringan. "Kau bisa memutuskan panggilan ini? Kau merusak selera makanku," sambungnya. Dan sebelum Anjani menjerit lagi ia memutuskan panggilan.

Dan terbahak-bahak, tapi menatap Vipera dengan sedikit cemas kemudian. "Kurasa besok mereka satu keluarga akan datang ke kantor," kekehnya.

'Sepertinya aku harus melakukan sesuatu pada mereka,' pikir Lev. 'Haruskah aku melibatkan Paman?'

Tapi Lev menganulir pikiran itu di detik berikutnya. Ia masih sanggup menahan mereka saat ini tapi Lev membutuhkan sesuatu yang menjadi kelemahan mereka. Sesuatu yang akan membuat Afon tidak berkutik, haruskah ia mengeluarkan kartu asnya sekarang? Lev melirik Vipera yang menikmati sarapannya dengan tenang seraya mengerjakan art-nya. Tersenyum karena gadis itu perlahan bisa menguasai rasa takutnya.

'Tidak, untuk saat ini aku hanya perlu membuat Vipe lebih percaya diri menghadapi mereka. Belum saatnya aku mengeluarkan kartu as Felicia maupun Afon. Cukup dengan mengganggu mereka melalui Va,' desisnya dalam hati.

Dan melirik sang sahabat, mata Lev yang biasanya bersinar lembut terlihat sedikit berbeda. Ada kekejaman menguar dari sana, sesuatu yang sangat jarang ia lihat dari Lev. Tapi Dan tahu, kekejaman itu sekalipun tersimpan sangat rapi selalu akan mengorak keluar dari diri Lev setiap kali Vipera disakiti. Kekejaman yang juga disimpan Dan dalam hatinya.

Dan melirik Vipera, gadis itu sangat berharga bagi mereka berdua. Harga karun yang mereka jaga selama belasan tahun. Dan mengambil ponselnya dan mengetik pesan panjang untuk Altair seiring mengirim beberapa tugas yang ia selesaikan sepanjang sarapan.

'Aku juga tak boleh berdiam diri mulai sekarang, sudah waktunya melawan Afon,' pikir Dan setelah mengirim pesan pajang pada Altair.

Sementara itu, Altair yang tengah bersenandung senang karena memberi tugas super banyak pada Dan terkejut ketika mendapat pesan dari asisten kesayangannya itu. Melotot ketika ia membaca beberapa tugas yang berhasil diselesaikan Dan dalam waktu singkat.

'Dengan kemampuan seperti ini seharusnya dia jadi penerus perusahaan keluarganya saja,' dengus Altair. Ia tahu Dan adalah pewaris salah satu grup raksasa penguasa properti. Sampai saat ini ia masih heran mengapa Dan memilih bekerja padanya ketimbang meneruskan perusahaan sang ayah.

Mata Altair menyipit ketika membaca pesan terakhir dari Dan. 'Afon?' dengusnya setelah membaca pesan itu. 'Sepertinya tidak bisa hanya berdiam diri, gadis itu tidak saja melibatkan Mama, sekarang melibatkan ayahnya juga? Bagus, kau memang memberiku kesempatan untuk membuat kekacauan sedikit demi sedikit disana,' cengirnya.

Cengiran yang semakin melebar ketika Afon menghubunginya. "Apa yang bisa saya bantu Tuan Afon?" sapanya Altair, masih tak bisa melepaskan cengiran di wajahnya yang untungnya tak terlihat siapapun kecuali dua malaikat di sisi kiri dan kanannya.

"Al, bisakah kau jelaskan mengapa harus mengakhiri pertunangan kalian?"

Bagi Afon sangatlah memalukan mempertanyakan hal ini pada Altair, tapi mendengar Anjani yang merengek dan menangis gara-gara berakhirnya pertunangan mereka membuat Afon sakit kepala.

"Setelah tiga tahun, itu sangat menyakitkan bagi Anjani," sambungnya.

Altair mendengus jengkel. "Menyakitkan? Bukankah selama tiga tahun itu ia lewati dengan bahagia? Berkencan dengan pria lain, merundung karyawan saya, memaki siapapun yang dia mau, bahkan memerintahkan hal-hal sepele pada karyawan saya. Tiga tahun saya mentolerir tingkah kekanakannya itu, menurut Anda masih belum cukup? Haruskah saya memenjarakan diri saya sendiri seumur hidup dengannya?"

Seperti balon yang ditusuk dengan jarum, harga diri Afon mengempes seketika karena kata-kata Altair. Putri cantiknya yang selama ini sangat ia banggakan pada semua orang, ternyata tak dipandang walau sebelah mata oleh Altair? Apakah kecantikan Anjani pun tak mampu meluluhkan hati pria itu?

"Anjani masih belum dewasa, aku mengakui itu," sahut Afon, mengerling putrinya yang merengut di sisinya. "Kuharap kau bisa memaklumi itu," sambungnya.

"Tuan Afon, yang saya butuhkan adalah perempuan yang setara dalam segala hal. Bukan perempuan manja yang hanya mengerti fashion," sahut Altair pelan. Ia sudah tak punya kata-kata yang lebih kejam untuk menggambarkan betapa Anjani sama sekali tak ada apa-apanya untuk seorang Altair. Bahwa Anjani bukanlah perempuan yang sesuai dengan standar seorang Altair.

"Dia akan menyelesaikan kuliahnya, dia bisa membantumu di perusahaan," sahut Afon cepat.

"Tuan Afon, apakah menurut Anda karakter seseorang bisa berubah? Apakah jika dia menyelesaikan pendidikannya dia akan berubah? Membantu di perusahaan saya? Dengan status sebagai tunangan saja dia sudah berani memerintahkan hal yang diluar pekerjaan pada karyawan saya, menurut Anda jika dia menyandang status istri apa yang akan dia lakukan? Membuat saya kehilangan seluruh karyawan? Menghancurkan perusahaan?"

Afon kehilangan kata-kata untuk sesaat. "Bukankah Anda memutuskan dia hanya karena Vipera?"

"Kenapa menurut Anda Vipera terkait dengan masalah ini?" suara Altair naik setengah nada.

"Anjani bilang Anda melindunginya saat ia bertemu Vipera di kantor Anda."

"Oh, tentu saja. Dia karyawan saya, perencana terbaik yang saya miliki. Menurut Anda jika dia dirundung saya harus berdiam diri hanya karena perundungnya adalah mantan tunangan saya? Karyawan saya jauh lebih berharga dari seorang mantan tunangan, Tuan Afon."

Perencana terbaik? Afon tertegun mendengar kata-kata itu. Vipera adalah perencana terbaik yang dimiliki perusahaan Altair? Mengapa ia tidak pernah tahu hal itu? Apakah anak itu selama ini kuliah? Afon memang tak pernah peduli pada Vipera selama ini, dia tidak pernah peduli pada pendidikan Vipera. Bahkan boleh dikatakan tidak peduli apakah Vipera masih hidup atau tidak. Sejak ia memilih pergi dari rumah saat berusia delapan tahun, Afon tak pernah menghiraukannya.

Sesekali ia menghubungi Vipera hanya untuk meminta bantuan agar gadis itu mau menyumbangkan sedikit uang yang ditinggalkan ibunya untuk membantu perusahaannya. Beberapa kali ia melakukan itu dan Vipera selalu memberinya bantuan. Afon pikir, gadis itu sudah kehabisan uang warisannya dan tidak bisa menempuh pendidikan.

"Kau bilang dia perencana terbaik?" Afon tak bisa menyembunyikan keheranannya. Lagipula ia harus mencari tahu lebih jauh tentang Vipera, jika gadis itu ternyata bisa ia manfaatkan maka Afon akan memaksanya bekerja untuk perusahaan keluarga.

"Anda sepertinya terkejut?" tanya Altair sinis. "Berpikir dia tidak mendapatkan pendidikan yang layak? Sepertinya saya tidak hanya harus mempertanyakan apakah Anjani layak atau tidak, tapi juga harus mempertanyakan apakah Anda layak disebut ayah atau tidak?"

Sambungan panggilan mereka terputus, Afon yang tersinggung berat dengan kata-kata terakhir Altair mengakhiri panggilan. Membuat pria muda itu menyeringai senang. "Kena," kekehnya.

Afon sendiri menggerutu marah setelah mengakhiri panggilan mereka. Kesal setengah mati, jangankan rencananya membujuk Altair berhasil justru ia harus menerima hinaan yang sangat besar dari pria itu.

"Pa?" Anjani menarik tangan Afon dengan wajah manjanya. "Gimana? Altair akan datangkan?" harapnya.

"Tidak!" sahut Afon tegas. "Dia maupun Vipe tidak akan datang sama sekali."

"Tapi kenapa?" rengeknya.

"Berhentilah merengek, kau hanya membuat Papa sakit kepala!" bentak Afon.

"Kenapa kau malah memarahi anakmu?" sengit Felicia. "Harusnya kau memarahi anak ular itu, dia merebut tunangan Anjani!"

"Altair mengakhiri pertunangan mereka bukan karena Vipera, tapi karena anakmu yang tidak layak," sahut Afon dengan nada kasar. Ia bangkit dan meninggalkan kedua ibu dan anak yang menjerit-jerit marah.

'Mereka berdua sama saja,' pikir Afon lelah. Dalam hati ia memikirkan Vipera, gadis yang entah mengapa disebut dengan sangat bangga oleh Altair. Perencana terbaik? Kata-kata itu sungguh mempengaruhi Afon. Benarkah Vipera bekerja di perusahaan milik Altair? Padahal Anjani mengatakan bahwa Vipera datang kesana karena ingin menemui Altar. Afon lantas berencana menyelidiki sendiri, dalam hati bertekad besok ia akan mendatangi perusahaan Altair untuk mencari tahu tentang Vipera.

Rencana yang ia wujudkan keesokan harinya. Menjelang siang ia berkunjung ke perusahaan Altair tanpa membuat janji terlebih dahulu karena ia yakin Altair tidak akan menolaknya. Seseorang mengantar Afon ke lantai dimana ruangan Altair berada, berbicara sebentar dengan Emily serta Dan yang melirik dengan mata marah padanya.

'Mereka datang silih berganti,' batin Dan saat melihat Afon tersenyum memuakkan di ujung lorong. Ia memasuki ruangan Altair untuk memberitahu kedatangan Afon padanya.

"Rupanya dia tak sabar sampai mencariku kesini?" sahut Altair saat Dan memberitahu bahwa Afon datang. "Izinkan dia masuk," sambungnya.

Afon memasuki ruangan Altair dengan senyum, sepanjang jalan setelah keluar dari lift ia mencari keberadaan Vipera di ruangan itu tapi tak menemukannya. Dalam hati ia berpikir Altair hanya mencoba membohonginya atau semata-mata memanas-manasinya. Tapi ia tidak mungkin menyatakan bahwa kehadirannya pada hari ini adalah untuk mencari tahu tentang Vipera.

"Jadi, apa yang membawa Anda datang kesini?" tanya Altair seraya menatap Afon. "Jika Anda datang untuk membicarakan Anjani lagi, maaf waktu saya sangat berharga," sambungnya.

"Tidak akan lama," sahut Afon dengan nada angkuh. "Aku hanya ingin mendengar alasanmu yang sebenarnya."

"Perlukah saya ulang?" sahut Altair. "Agar Anda benar-benar memahami maksud saya."

Afon menekan kemarahan yang menggeliat dalam dadanya, menatap Altair tajam. "Kau benar-benar mengatakan bahwa putriku sama sekali tidak berharga bagimu?"

"Tuan, saya sudah melewati tiga tahun bersamanya. Menilai semua sifat, sikap dan karekternya. Lagipula pertunangan itu hanyalah sesuatu yang diatur oleh keluarga, bukan sesuatu yang saya inginkan," sahut Altair.

"Kalian selama ini tidaklah terlalu dekat, kau belum mengenal Anjani sepenuhnya. Dia juga memiliki sisi lain yang bisa kau banggakan," sahut Afon.

"Tuan Afon, keputusan itu saya ambil setelah mempertimbangkan banyak hal. Bukanlah sebuah keputusan yang datang begitu saja. Lagipula, apakah pantas saat kami terikat pertunangan dia berkencan dengan pria lain?"

"Mereka sudah putus," sahut Afon cepat.

"Baru beberapa hari belakangan kan? Itupun setelah putra Anda melakukan perbuatan memalukan pada putri Anda yang lain. Putri yang dilindungi oleh kekasih Anjani."

"Berarti kau tahu bahwa Lev berpacaran dengan Anjani hanya untuk melindungi gadis itu bukan?"

"Dan menurut Anda tetap itu bukan sebuah kesalahan? Bukankah Anjani tidak pernah tahu bahwa tujuan Lev berpacaran dengannya adalah demi Vipe? Dia menikmati seluruh perhatian pria itu dan masih berharap saya bisa menerimanya?"

Mata elang Altair menatap Afon dengan tajam, "sekiranya itu Anda, apa yang akan Anda lakukan?"

Afon menggigil dalam kemarahannya, tapi tak bisa meluapkannya di depan Altair. Ia harus mencari tahu tentang Vipera agar bisa memanfaatkan gadis itu lebih jauh.

"Sebentar lagi jam makan siang, saya pikir kita bisa makan siang bersama?" tawar Afon.

Altair melirik jam tangannya, "maaf, tapi saya harus bertemu klien saat jam makan siang. Janji yang telah disepakati sejak lama," sahut Altair. Ia menekan interkomnya. "Emily, datang kesini sebentar," sahutnya.

Perempuan manis itu muncul tak lama kemudian. "Anda memanggil saya," sahutnya ketika melihat Afon ikut menoleh padanya. Merasa tidak nyaman karena tatapan pria itu seolah sedang menelanjangi dirinya.

"Pastikan Ruly dan Vipe sudah menyelesaikan berkasnya," sahut Altair.

"Mereka sudah menyerahkannya setengah jam yang lalu," sahut Emily. "Apakah mereka akan ikut bersama Anda?"

"Ya, Vipe harus mempresentasikan perencanaannya bukan?"

Emily mengangguk dan keluar.

Mata Afon menyala dalam ketertarikan yang sangat besar mendengar pembicaraan mereka. 'Jadi Vipe benar bekerja disini,' batinnya girang.

"Sepertinya aku memang tidak bisa mengganggumu lebih lama hari ini," ujar Afon seraya bersiap bangkit, berharap Altair ikut bangkit. Dan Altair memenuhi harapannya, ia bangkit seiring dengan Afon dan berjalan keluar bersama.

Mata Afon menangkap Vipera yang berbincang dengan Emily serta Dan di meja sekretaris, sepertinya sedang membicarakan persiapan pertemuan. Ia mengikuti langkah Altair menuju meja itu dan ikut berhenti.

"Kita berangkat sekarang," sahut Altair, ketiganya menoleh dan mengangguk.

Mata Vipera sempat menemukan Afon tapi ia memilih seolah tidak mengenalnya dan berjalan menjauh. Mata Afon mengikuti langkahnya. 'Pantas aku tak melihatnya, ia duduk di tempat yang cukup tersembunyi,' pikir Afon saat melihat Vipera mengemasi tasnya. Ia terus mengikuti gadis itu dengan tatapannya ketika Vipera bersama Dan serta Ruli turun. Sementara Altair berjalan mengikuti mereka diiringi Emily. Afon berjalan mengikuti mereka.

Vipera menjauh ketika Afon masuk lift, ia berlindung di balik punggung Dan. Pria itu bergerak ke arah Vipera ketika Afon memaksa masuk sekalipun Altair meliriknya dengan kejam. Afon tidak punya kesempatan untuk bicara pada Vipera dalam lift karena Dan menghalanginya.

Karena itu ia menarik Vipera ketika mereka keluar dari lift, nyaris membuatnya tersungkur karena gadis itu menolak keras dan menarik tangannya. "Lepaskan," sahut Dan seraya menekan pergelangan tangan Afon dengan kasar. Pria yang selalu terlihat lemah lembut itu menatap Afon dengan tajam. "Tolong lepaskan tangan Anda," sahutnya lagi.

Karena tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang tengah turun untuk makan siang, Afon melepaskan tangan Vipera. Apalagi ketika ia melihat tatapan Altair yang sangat tajam. "Aku hanya ingin bicara dengan putriku," sahut Afon.

Dan berdiri diantara Afon dan Vipera, menatap pria itu kasar. "Putri Anda? Mimpi apa yang mendatangi Anda sehingga Anda berani mengucapkan kata itu?" sahutnya tajam. Altair menatap Dan yang terlihat tidak seperti biasanya.

'Mereka benar-benar melindunginya,' pikir Altair. 'Lev serta Dan, mereka benar-benar melindungi Vipera dengan baik.'

"Jangan membuat keributan Tuan Afon," sahut Altair. "Kami harus bertemu klien dan saya membutuhkan Vipera untuk itu."

Afon akhirnya pergi dengan langkah kasar meninggalkan mereka. Emily mendekati Vipera dan memeluk bahunya lembut. Bertanya dalam bisikan apakah ia baik-baik saja. Vipera mengangguk dan tersenyum seraya menggumamkan terima kasih.

*Bersambung*