webnovel

Bab 14. Mau Bersaing?

Lev menatap Vipera yang gemetar, memegang tangannya dengan lembut dan membelai punggung tangan gadis itu. "Dia sudah pergi," ucapnya lembut.

Vipera mengatur nafasnya perlahan, "Aku belum bisa menghilangkan rasa takut setiap kali melihatnya," ujar Vipe pelan.

Lev mengusap punggungnya lembut. Felicia sering melakukan kekerasan pada Vipera sejak ia masih sangat kecil. Wanita itu memperlakukan Vipera seperti budak, menimbulkan trauma mendalam pada gadis itu hingga sekarang. Setiap kali bertemu Felicia ia masih gemetar ketakutan, dan Lev sangat memahami itu. Ia selalu berusaha untuk menjauhkan Vipera dari Felicia.

"Kau bisa melenyapkan perasaan itu secara perlahan. Suatu saat kau akan terbebas darinya," ujar Lev. Vipera tersenyum samar.

"Makasih Lev," sahutnya dengan suara yang hampir tak terdengar, seperti senyumnya yang sama. Suara itu pun terdengar sangat pelan di telinga Lev.

Mereka kembali ke rumah Lev, Bi Sumi menyambut keduanya dengan rempong. Mengatakan ada tamu yang mencari Vipera. Lev menoleh ke halaman, ada motor yang tidak ia kenali disana. Ia menatap Vipera yang sama bingungnya. Dan tidak pernah membawa motor, karena pria itu punya semacam paranoia jika harus mengendarai motor.

"Altair?" Lev terkejut ketika mereka memasuki ruang keluarga. Altair duduk manis di sana, bangkit dan tersenyum ketika melihat Vipera. "Kenapa kau ada disini?" tanya Lev, menempatkan Vipera di balik punggungnya ketika Altair mencoba menarik tangan gadis itu.

Altair tersenyum kesal, menatap Lev dengan jengkel. Ia memiringkan tubuh agar bisa melihat Vipera yang tersenyum canggung dari balik punggung lebar Lev. "Hei, aku hanya ingin bertemu dengan dia," ujar Altair kesal.

"Ini akhir pekan, tidak bisakah kau membicarakan pekerjaan hanya di hari kerja? Dia masih butuh istirahat," omel Lev.

Altair menggaruk kepalanya jengkel. "Yang bilang aku ingin membicarakan pekerjaan siapa?" sewotnya.

"Lalu buat apa kau datang?"

Vipera merasa tidak nyaman dengan pertengkaran mereka, ia pindah ke sisi Lev. Mengangguk santun pada Altair yang menatapnya lembut. "Ah, kalau begitu apa yang bisa saya bantu?"

Altair bingung menjawab pertanyaan itu. Apa yang bisa dibantu? Dia datang begitu saja kerumah ini karena bingung sendirian di rumah di akhir pekan. Tadinya ia berharap bisa membawa Vipera jalan-jalan sebentar untuk mencari makan atau apalah. Melupakan kenyataan bahwa gadis itu punya pengawal pribadi yang menyebalkan ini.

Lev menatap Altair yang bingung harus menjawab apa. "Kalau memang tidak ada yang penting, sebaiknya Anda pulang," ujarnya lugas.

Vipera mencubit kecil lengan sahabatnya itu, tidak enak hati karena bagaimanapun juga Altair adalah atasannya. Pemilik perusahaan tempat ia bekerja. "Jika memang ada pekerjaan, saya bisa melakukannya sebentar," ujar Vipera lagi. Membuat Lev melotot kejam pada Altair.

"Ah, tidak begitu," ujar Altair. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Apa Anjani masih mengganggumu?"

Ia mengerling Lev yang masih melotot.

"Terima kasih, tapi Anjani tidak tahu tempat ini. Saya harap Anda bisa merahasiakan ini darinya," ujar Vipera.

"Kami sudah tidak punya hubungan apapun sekarang," jawab Altair, mencoba memberikan penekanan bahwa Anjani bukanlah orang yang penting baginya sekarang.

"Saya harap Anda tahu apa yang Anda bicarakan," ujar Lev tiba-tiba. "Jangan sampai tunangan Anda mencari Vipe lagi, mencari-cari kesalahan untuk bisa memukulnya lagi."

"Bukankah dia adalah kekasihmu?" sergah Altair.

Vipera memandang kedua pria itu, memutar mata dengan lelah. Ia meninggalkan keduanya menuju dapur. Menemani Bi Sumi memasak untuk makan malam mereka. Perempuan setengah baya itu melongok ke arah ruang keluarganya dan nyengir kuda setelahnya.

"Non mau biarin mereka bertengkar sampai kapan?" ia bertanya sambil menahan tawa. Vipera mengedikkan bahu.

"Biarin aja Bi, nanti capek sendiri," ucapnya seraya tersenyum kecil.

"Tapi aneh juga, orang itu tiba-tiba datang kesini," ujar Bi Sumi, ia melongok sekali lagi dan menatap Altair. "Bukankah dia tunangan Non Anjani?"

"Entahlah, mungkin dia sedang bosan," jawab Vipera.

Mereka memasak sambil berbincang sementara dua pria di ruang keluarga akhirnya lelah bersitegang dan memilih duduk manis disana. Altair melirik Lev ketika pria itu bangkit.

"Kalau kau masih ingin disini silahkan, aku mau mandi," sahutnya seraya beranjak ke kamar.

"Kau tinggal disini?" tanya Altair, Lev menatapnya aneh.

"Tentu saja, ini rumahku," jawab Lev. Altair mendecih.

"Apa kau tidak malu, tinggal bersama sahabat kekasihmu?"

Ngajak ribut lagi, pikir Lev jengkel.

"Kami sudah berpisah," ujar Lev, ia melembutkan suaranya. "Dan Vipe adalah sahabatku dari kecil. Kami sama-sama tumbuh tanpa orang tua, kami tinggal bersama sejak kecil."

Altair merasa bersalah ketika mendengar jawaban itu, ia tidak berniat mengingatkan Lev akan luka masa kecil mereka. Pria itu memilih diam ketika Lev meninggalkannya untuk mandi.

'Tinggal bersama sejak kecil,' batin Altair ketika ia tinggal sendirian. 'Lagian kenapa aku datang kesini sih?'

Altair mengekeh sendiri dalam hati mengingat kekonyolan yang tengah ia lakukan. Karena tidak tahu harus melakukan apa di rumahnya yang sunyi, sementara pikirannya dipenuhi oleh Vipera yang semakin hari semakin mengganggunya Altair akhirnya mendatangi rumah gadis itu. Datang begitu saja tanpa ia menyadari, tahu-tahu ia sudah ada di gerbang rumah besar milik Lev itu.

"Jika tidak keberatan, Anda makan malam disini?" tanya Vipera, setelah menyelesaikan semua masakan.

Bagi Altair itu jelas tawaran yang tidak akan ia tolak sama sekali. Senyumnya merekah super lebar mendengar tawaran itu. Apalagi ketika Vipera mengajaknya menuju meja makan, ia langsung bangkit.

'Benar-benar konyol,' batin Altair saat menyadari sikapnya yang kegirangan itu. Lev meliriknya kejam ketika Altair bergabung di meja makan, berharap bisa duduk di sisi Vipera yang memilih bersisian dengan Bi Sumi. Sesaat Altair ingin sekali mengganti dirinya dengan pengasuh Vipera tersebut.

Sepanjang makan, matanya tak lepas dari Vipera yang duduk tenang di ujung meja. Fokus pada makanannya tanpa melirik siapapun diantara mereka. Gadis itu benar-benar hanya menikmati makanannya. Lev yang memperhatikan sikap Altair berkali-kali melirik Vipera yang tenang.

'Dia benar-benar suka Vipe?' batin Lev setiap kali melihat Altair yang memandang gadis itu sepanjang waktu makan mereka. 'Jadi Anjani benar, Vipe adalah alasan memutuskan pertunangan mereka.'

Lev menelan makanannya dengan hati-hati sambil terus mengawasi Altair. Merasa sedikit lega karena Vipera tak peduli seberapa lama Altair menatapnya. 'Tapi jika memang dia begitu menyukai Vipe, rasanya tidak masalah jika harus mengalah,' pikir Lev. 'Itu juga jika Vipe juga menyukainya.'

Lev bangkit ketika mereka selesai makan, menahan Vipera yang bergerak sigap untuk membereskan meja makan. "Duduklah, kau sudah lelah sejak tadi. Ini bagianku," ujarnya seraya membawa piring kotor ke dapur dan mencucinya disana.

Altair melongo melihat perlakuannya itu, sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Tumbuh dalam keluarga kaya sejak bayi dan terbiasa dilayani, Altair tidak punya kepekaan seperti itu. Ia melirik Vipera yang tersenyum ketika Lev melewatinya dengan piring kotor di tangan.

"Kalian bersahabat sejak kecil," ujar Altair ketika ia hanya tinggal berdua dengan Vipera. "Apa kau tidak pernah berpikir dia mungkin menyukaimu sebagai perempuan?" tanyanya.

Alis Vipera naik beberapa mili mendengar pertanyaan yang baginya cukup aneh itu. Membayangkan Lev menyukainya sebagai perempuan, itu membuatnya tertawa. "Kami sudah bersama sejak masih kanak-kanak. Merasakan rasa sakit yang sama, menangis dan tertawa bersama. Rasanya perasaan itu tidak akan pernah ada, karena kami sudah seperti saudara," jawabnya.

Altair menatapnya lama, tersenyum kecut mendengar jawaban itu. "Seperti saudara," ia bergumam sendiri, membuat Vipera menatapnya heran. Tapi gadis itu bangkit ketika Lev muncul dari dapur.

"Tolong temani beliau sebentar, aku mau mandi," ucapnya. Lev mengangguk dan menawarkan kopi untuk Altair yang mengangguk begitu saja. Ia mengikuti langkah Lev menuju bar mini yang tak jauh dari ruang makan. Menyeduh kopi masing-masing disana kemudian duduk bersisian.

"Kau tahu, jika Anjani tahu kau datang ke sini, itu akan menjadi alasan baginya untuk memaki Vipe. Sesuatu yang tidak akan dia lewatkan begitu saja," ujar Lev. "Pertunangan kalian berakhir dan kau mencari Vipe setelah keputusan itu. Jika saja kau mengenalnya dengan baik, aku percaya kau tidak akan melakukan ini."

"Aku bisa melindunginya," ujar Altair pelan.

Lev menyesap kopinya sedikit, memutar cangkir mungil itu dalam kedua telapak tangannya. Rasa hangat mengaliri telapak tangannya yang lebar, sebelum kemudian menyesapnya lagi sedikit demi sedikit.

"Al, aku bisa mengalah padamu jika kau serius padanya," ujar Lev kemudian. Mata Altair terpaku pada wajah tampan di depannya. "Yah, aku tahu kau menyukainya. Kau bahkan tidak bisa melepaskan matamu sepanjang makam malam, tapi Al aku harus mengingatkanmu. Anjani tidak akan diam saja jika tahu kau benar-benar mengejar Vipe. Nyonya Felicia dan Afon pun tak akan pernah membiarkan kalian bersama. Seberapa besar rasa sukamu padanya, sebesar itu juga rintangan yang akan mereka buat untuk Vipe."

"Kau juga menyukainya?"

Lev menghela nafas panjang mendengar pertanyaan itu. "Ya, sejak lama," jawab Lev. "Aku mencintainya sejak kami masih remaja. Aku memilih Anjani karena berharap bisa melindungi Vipe darinya. Tapi itu tak banyak membantu, hanya membuang waktuku saja."

"Dan kau tidak merasa sayang melepas dia padaku?"

"Selama dia memiliki perasaan yang sama denganmu, aku tidak keberatan. Mencintai bagiku, berarti mengharapkan kebahagiaannya, denganku atau tidak denganku. Selama dia bahagia, itu sudah cukup."

"Kenapa kau mengalah? Tidak ingin mengejarnya bersamaku? Mari bersaing secara fair," ujar Altair. "Mewujudkan rumor di luar sana bahwa kita adalah saingan cinta."

Lev mengiringi tawa kecil Altair. "Jangan membuatnya ragu. Kau lakukan lebih dulu, jika dia menolakmu aku akan maju," ujar Lev.

"Kau benar-benar naif," sungut Altair. "Kau yakin dia menolakku?"

Lev tertawa. "Kau yang memiliki segalanya dan tidak mungkin ditolak, begitu maksudmu? Kita lihat saja nanti. Aku tidak keberatan jika memang kau bisa membuat dia mencintaimu. Mungkin, aku akan lebih tenang jika itu benar terjadi. Kau bisa melindunginya, sekalipun mungkin akan melewati rasa sakit yang luar biasa untuk Vipe."

*Bersambung*