webnovel

Bab 13. Aku Berharap Memiliki Keberanian

Akhir pekan, karena rindu dengan rumah lamanya, Vipera mendatangi rumah itu bersama Lev. Pria itu memaksa menemaninya karena khawatir jika Felicia atau Anjani masih muncul disana.

"Kalau kau ingin kembali kesini juga ga masalah," ujar Lev, tapi Vipera menggeleng.

"Tidak untuk saat ini, Lev. Rasanya bayangan itu masih menghantuiku," ujarnya dengan suara bergetar.

Kejadian minggu lalu masih menghantuinya, sekalipun ia tahu Va tidak akan datang untuk sementara waktu. Tapi, Felicia tidak akan diam saja dengan keadaan ini. Selama ia belum bisa menemukan siapa pelaku pemukulan Va, wanita itu masih akan menganggap Vipera sebagai pelakunya. Jika saja hari itu Lev tidak kembali, Vipera tidak bisa membayangkan hidupnya akan seperti apa.

"Aku sangat berterima kasih kau datang saat itu. Karena jika tidak, aku tidak tahu akan hidup seperti apa."

Lev memeluk bahunya erat, memberi tepukan lembut di bagian punggung untuk membuatnya lebih tenang. Hari itu, merupakan hari terburuk bagi Vipera setelah kejadian yang sama 17 tahun lalu. Butuh bertahun-tahun bagi Vipera untuk melupakan hari mengerikan itu. Dan sekarang, hari itu kembali dalam rupa yang jauh lebih mengerikan.

Saat ia berusia delapan tahun Va remaja membeka dan memaksa menciumi serta meraba-raba tubuhnya. Saat itu Vipera masih bisa melawan, ia menendang Va dan berhasil kabur dari kamar jahannam itu. Mengadu pada laki-laki yang ia panggil ayah tapi justru Vipera yang mendapatkan pukulan karena Felicia tidak percaya putra kesayangannya akan melakukan hal buruk tersebut.

"Kau berhalusinasi?" teriak Felicia saat itu. "Atau jangan-jangan kau yang merayunya dengan tubuh ringkihmu itu?"

Tamparan dan pukulanlah yang ia dapatkan hari itu karena mengadu. Afon bahkan menghinanya sebagai putri perempuan liar akan sama liarnya dengan sang ibu. Bagi Vipera yang tidak pernah mengenal ibunya selain dari cerita Bi Sumi, kata-kata itu sangat melukainya. Ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya bukanlah perempuan yang baik, makanya meninggal setelah melahirkan dan jasadnya menghilang begitu saja.

Dan kejadian minggu lalu, jauh lebih buruk bagi Vipera. Disaat dia tidak sanggup melawan karena sedang terluka, Va hampir berhasil menguasai tubuhnya. Setiap kali mengingat hari itu, tubuh Vipera terasa seperti menggigil.

'Ibu,' batinnya saat melihat foto sang ibu di dinding. 'Jika saja Ibu pernah disini sebentar saja.' 

Sebagai anak yang tidak pernah mengenal ibunya, Vipera selalu memiliki kerinduan pada kasih sayang ibu. Ia tidak pernah berharap akan mendapatkan kasih sayang dari ayahnya karena sejak kecil Vipera terbiasa tidak dianggap oleh Afon. Dia yang selalu menerima hinaan karena tidak dianggap anak kandung Afon, menjadi terbiasa untuk tidak memiliki ayah.

Bersama Lev yang juga tumbuh tanpa orang tua, Vipera menjadi lebih tahan terhadap segala hinaan. Satu-satunya penghiburan bagi dia dan Lev adalah ibu Dan. Wanita berhati lembut itu selalu menerima mereka dengan senang hati, bahkan menitipkan bekal untuk keduanya pada Dan hampir setiap hari.

Lev menepuk lembut pundak gadis itu. "Kau merindukannya?"

Vipera tersenyum kecut. "Kita sama bukan?"

"Aku pernah merasakan rindu seperti itu, mungkin dulu saat masih kanak-kanak. Aku sering merasa iri dengan Dan, dia memiliki orang tua yang lengkap dan kasih sayang yang utuh. Tapi di sisi lain aku bersyukur kita ada di dalam kasih sayang yang sama dari orang tuanya. Setidaknya itu membuatku sedikit berharap pada hidupku bahwa kita berharga."

Lev memeluk bahu Vipera yang menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Kau memiliki paman yang sangat menyayangimu," ujar Vipera pelan. "Sekalipun beliau sangat jarang ada, tapi setidaknya kau memiliki keluarga yang bisa melindungi suatu waktu."

"Kau memiliki aku," ujar Lev pelan. "Aku dan juga Dan. Kita akan selamanya menjadi keluarga. Kau bisa mengandalkan kami setiap saat."

"Itu memalukan kau tahu? Aku ingin mengandalkan diriku sendiri untuk menghadapi mereka. Tidak melulu bersandar pada kalian. Sesekali aku juga ingin menghajar Va tanpa harus merasa takut setelah itu aku harus berhadapan dengan makian dan hinaan dari mereka. Aku ingin sesekali aku bisa berteriak di depan mereka, seperti Anjani yang selalu berteriak melepaskan seluruh kemarahannya padaku."

"Kau bisa melakukannya. Kau hanya butuh sedikit keberanian. Mulai sekarang, tanamkan dalam dirimu bahwa mereka bukanlah orang yang bisa mengganggumu lagi. Bahwa kau adalah lawan sepadan untuk mereka. Kau mandiri sejak kecil, memiliki pekerjaan sejak usia delapan tahun itu luar biasa Vipe."

Gadis itu tersenyum kecil. "Kau sudah lama tak melukis kan? Sejak kau mengenal inking dan coloring, kau hanya menggeluti itu," ujar Lev.

"Aku melakukannya demi uang, kau tau?" kekeh Vipera. "Menjadi Inker memberiku uang lebih banyak ketimbang lukisan, Lev."

Lev mencebik, "sekarang kau sudah memiliki uang lebih dari cukup, warisan dari ibumu juga cukup untuk kau hidup sampai punya anak cucu. Sesekali melukis tidak akan membuatmu miskin," omelnya.

Keduanya tertawa dan beranjak dari foto ibu Vipera. Gadis itu menatap foto itu sekali lagi sebelum melangkah ke ruangan lain. "Mau menginap malam ini disini? Mumpung akhir pekan," ujar Lev.

Sekali lagi Vipera menggeleng. "Rasanya aku seperti melihat dia datang dari pintu itu," ujarnya dengan suara bergetar.

"Tidak mudah melupakan hari itu, aku tau," ujar Lev lembut. Hari itu ia menemukan Vipera dalam keadaan yang sangat buruk. Hampir seluruh pakaiannya tercabik-cabik dengan luka lebam di wajah, tangan dan kakinya. Melihatnya terikat dengan tubuh setengah telanjang yang penuh luka, membuat Lev tidak mampu menahan amarah hari itu. Jika saja ia tidak mendengar Bi Sumi menjerit menahannya, mungkin ia sudah jadi pembunuh saat itu.

Bahkan mungkin jika kelak ia bertemu Va, perasaan marah itu tak akan pernah reda. Rasanya ia masih akan tetap jadi pembunuh jika bertemu lagi dengan bajingan manja itu. Lev bahkan sampai berpikir sangat kejam untuk membalasnya tapi ketika menyadari bahwa perbuatannya itu hanya akan memberi efek buruk pada Vipera, ia mencoba menahan diri.

"Umm, kurasa kau butuh liburan," ujar Lev. Vipera menoleh, menyesap kopinya perlahan.

"Kau ingin Altair memotong gajiku?" dengkingnya disambut tawa Lev.

"Aku heran, kenapa kalian berdua sangat betah bekerja dengan monster kantor itu?"

Vipera tersenyum kecut mendengar panggilan Lev untuk Altair. "Aku heran, kenapa kalian selalu dikaitkan baik dalam bisnis maupun dalam hubungan asmara? Apakah kalian benar-benar bersaing?"

"Aku tidak pernah menganggap dia sebagai saingan," jawab Lev lugas. "Jadi jangan tanya padaku mengapa kami dianggap musuh bebuyutan. Bidang pekerjaan kami saja berbeda, satu-satunya yang mungkin menghubungkan kami hanyalah Anjani," imbuhnya.

Vipera mengangguk. "Dia mengejar Altair tapi tak ingin kehilanganmu," kekehnya.

"Dia, menginginkan aku hanya karena ia tahu aku melindungimu. Dia ingin kau kehilangan pelindung, dia pikir selama ini aku sungguh-sungguh mencintainya karena itu membuatnya merasa superior atasmu. Tapi dia menginginkan Altair karena memang pria itu menarik baginya. Orang yang tidak pernah menolaknya selama ini, yang membiarkan dia berbuat semaunya tapi tak pernah bisa ia gapai. Altair selalu memberi jarak yang tinggi dan lebar diantara mereka. Itu membuatnya penasaran, kurasa hanya sebatas itu."

"Tapi kemarin sepertinya dia sangat marah," ujar Vipera.

"Marah karena aku yang memilih meninggalkan dia ternyata tetap dekat denganmu. Baginya itu mungkin sebuah penghinaan, dia tidak pernah menyukai siapapun yang ada di dekatmu. Jika dia bisa, Anjani akan mengambilnya darimu. Jika dia tidak bisa mengambilnya maka ia akan berusaha untuk membuat orang itu membencimu."

"Tapi fakta bahwa dia tidak tahu kau bekerja di kantor Altair sementara dia selama dua tahun terakhir mondar mandir kesana, itu sedikit mengejutkan," heran Lev.

"Ruangan perencanaan biasanya ada di lantai yang berbeda dengan ruangan Altair. Aku tidak mengerti setelah ia membuat keputusan memutuskan pertunangan dengan Anjani, ruangan kami dipindahkan ke lantai yang sama dengan ruangan Altair. Katanya sih biar lebih gampang diskusi atau rapat," jawab Vipera.

Lev menatap wajah gadis itu dari samping. Beberapa lebam masih terlihat samar di wajahnya tapi di bagian pelipis kanan masih terlihat sangat jelas. Dalam hati bertanya-tanya apakah Altair tertarik pada gadis ini? Orang yang menurut Dan tidak pernah peduli pada karyawannya tiba-tiba memaksa ikut untuk membesuk Vipera. Bahkan bertanya banyak tentang gadis itu pada Dan. Lalu apa yang ia lihat kemarin? Altair melindungi Vipera dari Anjani dan ibunya.

Saat ia menempatkan Vipera di balik punggungnya hari itu, Lev melihat betapa ia melindunginya. Tatapan matanya saat Lev membawa Vipera ke mobil adalah tatapan kelegaan karena gadis itu diselamatkan sekaligus cemburu. Tidak, Lev tidak salah mengenali tatapan matanya saat itu. Ia melihat dengan tajam ke arah tangan Lev yang memeluk bahu Vipera, Lev tidak akan melupakan tatapannya saat itu.

Saat Anjani menjerit dan mengejarnya, Altair tak bereaksi. Ia hanya mendengus kasar tapi matanya menatap lurus pada Vipera yang duduk di balik kaca mobil. Apakah Anjani benar, bahwa alasan Altair mengakhiri hubungan mereka adalah karena Vipera? Tapi sepertinya gadis ini tak terlalu peduli padanya. Terbukti saat Lev datang ia langsung berpindah dari balik punggung Altair ke sisinya. Memegang lengan Lev kuat-kuat seolah sedang meminta perlindungan.

"Kau tidak merasa dia memperhatikanmu?" tanya Lev, Vipera menatapnya sebentar dan mengedikkan bahu kemudian. Secara samar, pipi gadis itu perlahan memerah.

'Apa-apaan itu,' heran Lev. 'Pipinya memerah? Apakah itu berarti memang ada sesuatu diantara mereka?'

Yang tidak diketahui Lev, saat itu Vipera hanya teringat saat Altair menggendongnya dari lift menuju meja. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat atau ia dengar sebelumnya dan bagi Vipera itu sesuatu yang mengejutkan. Tapi dalam hati ia berpikir, Altair mungkin melakukan itu karena kasihan melihat dia terpincang-pincang untuk bisa keluar dari lift sembari membawa tas yang cukup berat sedangkan tangannya masih terluka. Hanya sebatas itu yang mampu dipikirkan Vipera saat ini.

Altair memang bukan orang yang perhatian, selama ini dia menganggap seluruh karyawannya seperti mesin pekerja. Terlambat satu menit sudah memberinya alasan untuk mengomel panjang atau memberi denda. Sehingga hampir semua karyawan yang berada satu lantai dengannya selalu berusaha datang lebih pagi dari Altair. Malangnya pria itu selalu muncul di kantor setengah jam sebelum jam masuk. Benar-benar menyebalkan.

"Entahlah. Aku tak pernah mengenalnya sebelum ini. Karena pekerjaanku hanya akan bersinggungan dengannya saat rapat, itupun kalo aku kebagian presentasi. Sisanya ketua tim yang berkoordinasi dengan Altair," jawab Vipera, ia menyesap habis kopinya dan mencuci cangkir.

"Sudah sore, kita pulang?" harapnya, Lev mengangguk dan mencuci cangkirnya juga.

"Sepertinya kita harus membeli beberapa bahan makanan kalau lain kali ke sini. Apalagi sekarang ada yang bersih-bersih, kasihan kalau ngga ada makanan atau minuman," ujar Lev ketika mereka meninggalkan rumah itu.

Keduanya memasuki mobil dan bersiap meninggalkan halaman ketika mobil berwarna merah cabai itu berhenti di depan gerbang. Tidak bisa masuk karena ada mobil Lev yang hendak keluar. Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil merah itu, menunjuk ke arah mobil Lev.

"Turun!" teriaknya kasar, Vipera memegang tangan Lev yang bersiap turun.

"Tidak apa-apa," ujar Lev seraya membuka pintu. Menutup pintunya dengan rapat dan bersandar di pintu itu untuk menghalangi Felicia mencari masalah dengan Vipera. "Ada apa Anda datang ke rumah ini?"

"Suruh dia turun!" jerit Felicia, "Aku tahu dia di dalam bukan?"

"Jika Anda mencari keributan, saya dengan senang hati akan melaporkannya," ujar Lev. Felicia menggeram.

"Gadis itu memukuli putraku! Turun kau ular!"

Lev menjadi tidak sabaran ketika Felicia menyebut Va, ia mendorong pelan Felicia agar menjauh dari mobilnya. Menatap tajam pada perempuan itu dan berdiri dengan tubuh tegak di hadapannya. "Kebetulan Anda menyebut bajingan itu," ucapnya pelan.

"Bajingan katamu?" desis Felicia. "Kau sebut putraku bajingan?"

"Apa namanya kalau bukan bajingan? Menyusup ke rumah orang, menyekap seorang gadis dan mencabik-cabik pakaiannya. Menampar dan memukul perempuan. Dia beruntung aku tidak membuatnya menemui malaikat maut lebih awal," suara Lev yang rendah mengandung emosi yang luar biasa dalam. Ia sedang menahan diri untuk tidak memukul wanita di hadapannya.

"Jika salah satu dari kalian berani muncul di hadapan Vipera lagi, seluruh kejadian hari itu akan menjadi mimpi buruk bagi keluarga Anda. Jadi menjauhlah," sambungnya. "Karena lain kali jika saya bertemu Va, dia tidak hanya akan terluka separah itu, tapi Anda hanya akan menemukan jasadnya."

Felicia menggigil marah tapi tatapan kejam Lev membuatnya merinding. Dengan kesal ia mundur dan pergi dari tempat itu.

*Bersambung*