webnovel

Bab 12. Bukan Saudara Yang Akrab

Sementara itu, Lev meminta Vipera masuk lebih dulu. Ia masuk setelah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Sepanjang perjalanan ia berkali-kali memastikan tidak ada yang menguntit. Khawatir jika Anjani mengikuti mereka, Lev sampai harus berputar dua kali sebelum kembali ke rumah.

"Kok bisa ketemu dia?" tanya Lev ketika mereka masuk. Bi Sumi mengambil tas Vipera dan meletakkannya di kamar.

"Ga tau, tadi tiba-tiba nongol," jawab Vipera seraya melangkah ke kamar. "Mandi dulu," pamitnya pada Lev. Bi Sumi menyusulnya ke kamar, membantu gadis itu mandi karena tangannya yang belum sembuh.

"Tadi Bibi ke rumah sana, kayanya ada yang datang nyariin Non kesana," lapornya ketika membantu Vipera mandi. Gadis itu menoleh heran.

"Bibi ngapain kesana?"

"Kangen, kembang yang Bibi tanam ga ada yang nyiram," sahut Bi Sumi. Membuat Vipera bergumam minta maaf.

"Besok minta tolong Lev deh, cariin orang yang bisa ngerawat rumah dan taman."

"Iya Non, kan sayang kalau dibiarkan ga terawat. Non juga ga mungkin selamanya kan disini."

"Iya Bi. Nanti aku bicara pada Lev."

"Orang yang nyari itu Bibi kenal?" tanya Vipera. Bi Sumi menggeleng.

"Tetangga bilang ada beberapa yang nyari, Non Anjani udah bolak bali beberapa kali. Trus ada pria juga, jangkung katanya. Lalu kayanya ada Nyonya Feli deh yang datang, soalnya tetangga bilang orangnya cantik tapi galak dan udah agak tua."

"Tante Feli? Ngapain dia nyariin?" heran Vipera.

"Entahlah. Mungkin karena lihat Va pulang babak belur, dia mikirnya Non kali yang mukulin. Mereka kan suka gitu, kalo ada yang luka ada yang sakit, nyalahin orang," ujar Bi Sumi setengah menggerutu.

Vipera tersenyum kecil mengdengar gerutuannya. 'Itu sangat mungkin,' batinnya.

Lev membantunya mengoles obat pada beberapa luka yang mulai mengering. "Sebaiknya kau istirahat dulu saja. Kalau kejadian hari ini terulang lagi, kau bisa terluka lagi," ujar Lev.

Vipera menggeleng, "Aku bosan di rumah hanya tidur dan bengong. Ga masalah kok, tadi hanya kebetulan dia datang. Emily sama Dan bilang sih dia udah jarang datang, karena Pak Altair melarang dia masuk. Mungkin tadi bisa masuk karena bareng dengan ibunya Pak Altair."

Lev hanya menggeleng pasrah dengan sikap keras kepala gadis itu. "Ibunya ikut merundungmu?" tanya Lev. Kali ini Vipera menggeleng lagi.

"Ngga, dia bantuin aku," jawabnya pelan. Lev menatap bulu matanya yang mengerjab pelan.

"Apa yang dilakukan Altair padamu?" tanya Lev lagi. Vipera mengangkat wajah dan menatapnya bingung.

"Altair?" herannya. Oh, ia ingat, tadi saat Lev datang ia berlindung di balik punggung pria itu. Apa Lev mengira Altair juga merundungnya? "Ah, tidak apa-apa, dia hanya menghalangi Anjani yang ingin mendorongku."

"Menghalangi Anjani?"

"Uhum, Dia benar-benar memutuskan pertunangannya dengan Anjani? Beneran itu bukan karena kau?" tanya Vipera.

"Entahlah, aku ngga peduli. Selama mereka tidak mengganggumu lagi aku ga akan peduli apa yang mereka lakukan," sahut Lev.

"Lev, kamu ngga pulang ke rumah utama? Nanti Pamanmu khawatir," ujar Vipera. Biasanya Lev tinggal bersama pamannya yang lebih banyak berada di luar negeri.

"Paman masih ada di luar negeri, kalau dia pulang aku juga akan pulang," sahut Lev.

"Mmm, aku boleh minta tolong yang lainnya?" tanya Vipera pelan, Lev mengangguk.

"Katakan saja."

"Anu, Bibi kayanya cemas kalau bunganya tidak ada yang rawat."

"Oh," Lev tersenyum. "Aku juga melupakan itu. Besok akan ada yang merawat taman dan membersihkan rumah setiap hari."

"Ga perlu tiap hari sih, toh rumanya kosong."

"Ga papa, sekalian untuk ngelaporin siapa aja yang datang kesana. Karena sepertinya dalam beberapa hari sudah banyak yang datang mencarimu kesana."

"Umm…Bibi juga bilang begitu, tadi siang kayanya Bibi kesana."

***

Esok harinya, Talishia kembali mendatangi kantor Altair. Kali ini lebih pagi karena ia ingin menemui Emily atau Dan sebelum keduanya diculik bos mereka untuk rapat atau lainnya. Ia bergegas menuju lift dan tak sengaja bertemu Vipera yang diantar Lev menuju lift. Keduanya tersenyum canggung ketika Talishia ikut masuk ke dalam lift.

Wanita itu memperhatikan Lev yang menuntun Vipera ke mejanya dan meluruskan meja serta merapatkan kursinya untuk membuat ia lebih nyaman. "Aku pergi," bisik Lev ketika Vipera telah duduk. Gadis itu mengangguk dan menggumkan terima kasih saat melambai pada Lev yang beranjak pergi.

Dan berteriak padanya ketika ia melihat Lev menjauh. Keduanya saling berbincang beberapa saat, Talishia mendekati Vipera dan duduk di meja sebelahnya. "Siapa namamu?" tanyanya. "Ah, apakah kau mengenal Anjani?"

"Saya Vipera, Anjani adalah adik saya," jawab Vipera kaku. Talishia mengangguk pelan.

"Hubungan kalian sepertinya tidak baik?"

Vipera hanya bisa menyungging senyum canggung atas pertanyaan itu. "Seperti yang Anda lihat, kami bukanlah saudara yang akrab," jawab Vipera pelan.

"Ya sangat terlihat," ujar Talishia, entah mengapa Vipera merasa tidak nyaman dengan nada bicaranya. "Kenapa? Apa karena kau merebut kekasihnya?"

Gadis itu melengak, matanya mengikuti mata Talishia yang menatap Lev. Pria itu berpamitan pada Dan lalu melambai pada Vipera yang tersenyum kikuk. "Saya dan Lev hanya bersahabat. Kami sudah berteman sejak saya masih kecil," sahutnya pelan.

Mata Talishia menemukan mata indahnya yang terlihat sedih. Mata yang menyimpan banyak luka dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja. "Tapi kau tahu kan dia kekasih Anjani?"

Vipera mengangguk.

"Lalu mengapa kau masih bisa seakrab itu dengannya? Mungkin itu yang membuat Anjani membencimu," ujar Talishia, matanya terus menatap mata Vipera yang sedikit gugup.

"Saya tidak pernah menganggap Lev lebih dari seorang teman," sahut Vipera, tapi Talishia menatapnya dengan sedikit merendahkan.

"Apapun itu, seharusnya kau menjauh darinya ketika ia memilih adikmu sebagai kekasihnya. Kau terlihat seperti sedang ingin merusak hubungan mereka. Bahkan setelah ia memutuskan Anjani kalian tinggal bersama?"

Jantung gadis itu terasa dipilin oleh rasa nyeri yang membuat tangannya menggigil. Apakah seperti ini semua orang melihatnya? Merebut kekasih adiknya sendiri? Dengan cara seperti inikah Anjani mendapatkan simpati semua orang sehingga ketika ia merundung Vipera, memukul dan memakinya, tidak satupun yang berpihak pada Vipe selain Lev dan Bi Sumi?

"Vipe?" Dan mendekat, ia mendengar pembicaraan mereka dan berniat menghentikan interogasi Talishia. "Aku membawa sarapan untukmu. Mama bilang dia merindukanmu jadi dia memintaku membawa ini untukmu," ujarnya riang, meletakkan bekal paginya di meja Vipera.

Talishia melototi Dan yang tersenyum sebodo amat. "Kalian sepertinya dekat?" tanya Talishia.

"Ah, kami sudah berteman sejak SD," jawab Dan. "Saya, Vipe dan Lev. Kami adalah sahabat dari kecil."

"Tapi saat aku bertanya siapa saudari tiri Anjani kau bilang tidak tahu?" sindir Talishia.

"Anda bertanya saudari tiri Anjani, saya sungguh tidak tahu. Jika Anda bertanya tentang Vipe, saya pasti menjawabnya."

Talishia menatap Dan lama, "Bersahabat dari kecil kau bahkan tidak tahu dia adalah saudari tiri Anjani?"

"Vipe tinggal di rumah warisan ibunya sejak usia delapan tahun, kami tak pernah mengenal keluarganya. Kami hanya tahu Bi Sumi sebagai keluarga satu-satunya Vipe. Siapa Anjani dan apa hubungannya dengan Vipe, saya tidak pernah tahu. Karena mereka tidak pernah datang," jawab Dan. Ia terdengar sedikit kesal.

"Kalaupun mereka pernah datang hanya untuk mengambil uang Vipe, menyiksa atau memakinya. Apa menurut Anda itu keluarga?" Dan menarik wadah bekalnya. Membuka wadah itu dan memberikannya lagi pada Vipera.

"Lev bilang kau belum makan. Jangan sakit lagi, aku tak bisa menggendongmu dari sini ke rumah sakit," omelnya seraya memaksa gadis itu untuk makan. "Siang ini, Mama akan membawakan makan siang untukmu," sambungnya.

Vipera tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Talishia bangkit dan menjauh dari mereka, berdiri anggun menatapnya saat beberapa teman timnya datang dan memberi Vipera pelukan penuh kasih sayang. 'Sepertinya dia cukup dicintai teman-temannya,' pikir Talishia.

"Mama sedang apa?" suara Altair membuat Talishia terkejut, ia menoleh dan menggeleng. "Memata-matai Al lagi?"

"Tidak, Mama hanya ingin tahu tentang dia," jawab Talishia pelan, matanya menunjuk Vipera yang menerima beberapa berkas dari temannya dan mulai bekerja.

"Apa yang ingin Mama ketahui? Membantu Anjani mencari informasi dan merundungnya lagi?"

"Sepertinya kau sangat melindungi dia. Apa Anjani benar, dia alasanmu memutuskan pertunangan kalian? Apa kau tidak tahu dia merebut kekasih adiknya?"

"Ma, dia bekerja disini. Dia adalah salah satu perencana terbaik milik perusahaan ini. Jangan ganggu dia, kalau Mama tidak ingin Al mengacak-acak perusahaan Kakek," sahut Altair. "Tidak ada yang bisa menggantikan dia di tim perencanaan kami, dia sempurna dan sangat teliti dalam bekerja."

"Dia sangat berharga bagimu?"

"Sebagai karyawan ya. Dia sangat berharga bagi perusahaan ini. Urusan pribadinya dengan Lev urusan perusahaan," jawab Altair. Talishia mengikuti putranya masuk ke ruangan pribadi Altair.

"Kau tidak dengar ucapan Mama sebelumnya. Dia merebut kekasih adiknya sendiri, menurutmu itu baik?"

"Ma," suara Altair terdengar kesal dan lelah secara bersamaan. "Dia, Dan serta Lev adalah sahabat sejak mereka masih kecil. Dan juga Lev pacaran dengan Anjani bukan karena dia menyukai Anjani tapi karena dia mencoba melindungi Vipera dari keluarganya. Ia pikir dengan menjadi kekasih Anjani, gadis itu tidak akan merundung Vipe. Tapi ternyata masih tetap sama, karena itu dia memutuskannya sekarang."

Altair mendengar cerita itu dari Dan, yang mencoba memulihkan nama baik sahabatnya di mata sang musuh bebuyutan. Sampai Altair dengan setengah bercanda mengatakan bahwa ia adalah orang yang diutus Lev untuk memata-matainya.

Talishia terdiam mendengar kalimat panjang itu. "Kau tahu kenapa dia bisa terluka seperti itu?" tanya Talishia. Altair menoleh pada ibunya, heran.

"Kenapa Mama sangat tertarik padanya?"

"Jawab saja pertanyaan Mama," sewot Talishia.

Altair menghela nafas panjang. "Dia jatuh dari motor saat mencoba menyelamatkan seekor ular," jawab Altair. Talishia memekik.

"Ular?"

"Ya, katanya dia pencinta ular jadi ketika melihat ada ular yang hampir terlindas dia menolongnya. Tapi saat ia terluka, kakak tirinya datang, menyekap, mengikatnya di tempat tidur dan mencoba menodainya," jawab Altair. Talishia memandang putranya dengan ngeri.

"Dia dipukuli kakak tirinya?"

Altair mengangguk, "Ya. Menurut Dan, Va sering menganggunya, ia bahkan pernah mencoba menodai Vipe saat ia masih kecil tapi tak dipercaya karena itu ia kabur dari rumah. Setelah tinggal sendiri pun mereka masih mengganggunya. Akibat perbuatan Va tempo hari dia sempat dirawat. Ma, Al mohon tolong jangan usik dia. Mungkin Mama tidak menyukainya, Al tidak tahu apa yang Mama dengar dari Anjani. Tapi tolong jangan usik Vipera. Biarkan dia bekerja dengan tenang, gadis itu selalu hidup dalam ketakutan sejak kecil. Apa Mama masih ingin menambahnya demi Anjani?"

"Sepertinya dia berharga bagimu bukan hanya karena dia karyawan jenius?" tanya Talishia.

"Tidak juga, lagipula keputusan mengakhiri pertunangan tidak ada hubungannya dengan gadis itu. Al memutuskan itu karena sudah muak dengan tingkah Anjani."

"Tapi kau kan bisa bersikap lembut padanya," saran Talishia.

"Ma, selama ini Al sudah menahan diri. Membiarkan dia datang dan bersikap semena-mena pada karyawan, membiarkan dia mengarang cerita yang aneh-aneh di media. Al tidak peduli Ma, tapi haruskah dia bersikap seperti itu selamanya?"

"Tapi kakekmu dan Kakek Anjani pernah membuat kesepakatan pernikahan kedua keluarga," ujar Talishia.

"Ma ayolah, ini bukan zaman Siti Nurbaya, Al bisa mencari istri sendiri," keluh Altair.

"Tapi Mama yang akan memutuskan siapa yang bisa jadi istrimu kelak. Sebelum kau membuat keputusan untuk menikah, gadis itu harus lulus dari ujian Mama dulu. Dan Mama rasa, Vipera bukan salah satunya."

Berkata begitu, Talishia keluar dari ruangan Altair yang mengeluh ketika ia pergi. "Perkara mau cari istri aja bikin mumet," keluhnya kesal. Dan yang baru saja muncul untuk memberikan jadwal padanya menyeringai senang melihat wajah menderita bosnya itu.

"Kau masih bisa tertawa," sergah Altair.

"Hidup saya ngga semenderita hidup Anda," jawabnya dengan wajah kocak, Altair melemparnya dengan gulungan kertas yang cukup tebal.

*Bersambung*