webnovel

Bab 11. Anjani Si Biang Keributan

Vipera memutuskan masuk kantor setelah empat hari istirahat, dia yang terbiasa sibuk merasa bingung dan kesepian hanya duduk diam di rumah. Karena tidak lagi menggunakan kursi roda, gadis itu memaksakan diri bekerja. Lev mengantarnya dan tak sengaja bertemu dengan Altair karena kebetulan datang bersamaan. Mata pria itu menatap Lev yang menuntun Vipera hingga masuk lift.

"Kau bisa sendirian?" tanya Lev sedikit khawatir, ia tidak bisa menemani gadis itu sampai ke ruangannya karena harus segera berangkat ke kantornya sendiri. Vipera mengangguk.

"Aku oke," jawab gadis itu seraya mengambil tasnya yang diulurkan Lev. Pria itu menyampirkan tas tersebut dibahunya, memastikan tas itu benar-benar pas di bahunya sebelum keluar dari lift. Karena masih sangat pagi, suasana kantor masih sunyi, hanya ada beberapa orang yang datang. Termasuk Altair yang memang selalu datang lebih awal dari semua pekerjanya.

Ia berdehem ketika Lev menyampirkan tas Vipera, membuat keduanya terkejut. Lev mundur dan tersenyum kaku pada Altair ketika pria itu merangsek masuk ke dalam lift dan berdiri rapat di sisi Vipera yang menggeser tubuhnya sedikit ke kiri. Lev tersenyum cerah dan melambai pada gadis itu.

"Aku akan mengirim makan siangmu nanti, jadi kau tidak harus turun untuk makan," janji Lev seraya melambaikan tangan padanya. Pintu lift menutup sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya karena Altair sengaja memencet tombol lantai kantor utama mereka.

Ia melirik Vipera yang berdiri kaku, gadis itu merapatkan tubuh ke dinding lift seolah takut Altair akan menelannya disana. 'Masih pucat, dia sama sekali ngga pake make up ya?' pikir Altair saat memperhatikan wajah Vipera yang masih sedikit pias. Karena gadis itu tidak menggunakan makeup sama sekali, wajah piasnya jadi sangat terlihat.

Vipera menjadi risih sendiri karena Altair menatapnya, gadis itu mengangguk canggung ketika mereka sampai. Ia bergegas keluar tapi Altair memblokir jalannya dan pria itu berjalan duluan keluar dari lift. Mengulurkan tangan pada Vipera yang berpegangan pada dinding lift untuk keluar karena kakinya yang masih sedikit nyeri. Sayangnya tangannya yang terkilir juga nyeri ketika ia memegang dinding lift.

"Pegang tanganku, kakimu masih sakit kan?" ujar Altair, mata indah itu tengadah menatapnya. Bingung sekaligus tidak percaya dan sedikit rasa takut sepertinya. Altair memintanya sekali lagi dengan tatapan, tapi Vipera masih bergeming. "Apa aku harus menggendongmu?" tanya Altair pelan.

Suaranya yang rendah dan dalam masih membuat Vipera terkejut, gadis itu tersenyum kaku dan menggeleng. "Ngga, Pak. Saya bisa sendiri," ujarnya seraya melangkah keluar dari lift. Altair yang tidak sabar menariknya dan menggendong tubuh ramping gadis itu.

"Kau biasa duduk dimana?" tanya Altair. Ia benar-benar tidak tahu dimana biasanya gadis ini duduk.

"Di sisi jendela," jawab Vipera pelan, suaranya sangat sulit keluar karena gugup. "Yang ada bunga edelweis hitam kecil itu," imbuhnya.

Altair meletakkannya dengan sangat hati-hati di kursi, mengatur kursinya agar tidak terlalu jauh dari meja. "Kenapa kau datang? Bukankah kau masih punya waktu istirahat tiga hari lagi?"

Vipera menatapnya sebentar, wajah gadis itu agak memerah karena Altair baru saja menggedongnya. "Membosankan hanya duduk seharian di rumah," jawabnya.

"Tanganmu masih cedera," ujar Altair lagi.

"Ah, saya masih bisa bekerja dengan tangan satunya."

'Keras kepala juga,' batin Altair. Ia bangkit. "Katakan jika kau butuh bantuan," ucapnya lembut, sampai membuat Vipera merinding karena ia tidak pernah mendengar pria ini bicara pada siapapun dengan nada selembut itu.

Kehadiran Vipera membuat teman-temannya senang, mereka berebut memeluk gadis itu ketika menyadari ia sudah duduk manis di kursinya. Keriuhan mereka sempat memancing perhatian Altair, tapi ia hanya tersenyum ketika melihat Vipera yang disodorkan berbagai makanan oleh rekan-rekannya untuk menyambut gadis itu.

Sepanjang hari itu, suasana hati Altair sedikit lebih baik dari biasanya. Ia tidak mengganggu bawahannya dengan pekerjaan-pekerjaan aneh yang biasanya muncul dalam idenya secara dadakan. Ia membiarkan hari ini berlalu dengan tenang termasuk ketika ia melihat seseorang mengantar makan siang Vipera. Makanan yang dikirim Lev untuknya, Altair mengutuk dirinya sendiri karena lupa membelikan gadis itu makanan saat ia memesan makan siang.

Saat jam pulang, Altair sengaja keluar lebih awal agar Vipera juga pulang lebih awal. Beberapa temannya sudah bersiap untuk turun dan menunggunya. Mereka sepertinya turun bersama untuk menjaga gadis itu.

"Kau dijemput kan?" tanya Ruli, Vipera mengangguk kecil. Ia sepertinya menghubungi Lev setelah memaksa Ruli pergi. Vipera setengah mengusirnya karena ia bertekad menunggu sampai jemputannya datang.

"Ga papa Rul, bentar lagi datang. Sana pulang," usir Vipera dengan senyum cantiknya. Teman-temannya meninggalkan ia satu per satu. Altair masih menunggu, bertekad jika dalam lima menit ke depan Lev belum datang ia akan memaksa gadis itu pulang bersamanya. Malangnya, sebelum datang justru ibunya dan Anjani yang muncul. Altair bangkit ketika Anjani mendekati Vipera yang tengah berdiri sendirian.

Altair bangkit dan bergegas keluar, tapi masih kalah cepat dengan Anjani yang tiba-tiba mendorong Vipera kasar. Talishia yang mengikutinya terkejut ketika Anjani menyerang gadis itu.

"Rupanya kau disini? Kau mengejar Altair bahkan sampai ke kantornya?!"

Vipera yang tidak siap dan tidak menduga akan diserang mendadak terhempas ke belakang, jatuh di lantai yang keras dengan kaki berdenyut nyeri.

"Anjani!" Talishia menjerit ketika tubuh Vipera terhempas. Dengan reflek membantu gadis itu untuk berdiri tapi tubuhnya ditarik kasar oleh Anjani.

"Mama apaan sih? Mama ga tau apa dia itu gadis ular yang merayu Altair!" jeritnya.

Talishia menatapnya sebentar, terlihat tidak suka dengan cara gadis itu memperlakukan Vipera. "Siapapun dia, kamu tidak pantas bersikap seperti ini, Anjani," tegurnya.

Altair yang bersiap membela gadis itu menatap pertengkaran itu dari lobby. Menatap ibunya yang tengah berdebat dengan Anjani sembari berusaha membawa Vipera bangkit.

"Mama kenapa bantu dia sih?" jerit Anjani lagi, tidak terima melihat Talishia membantu Vipera bangkit dan membersihkan pakaian gadis itu dari debu.

"Anjani, jika dia benar datang untuk menemui Altair disini, kamu masih bicara baik-baik kan? Ga usah mempermalukan dia seperti ini. Lagipula dia saudarimu," ujar Talishia. Ia membersihkan pakaian Vipera dengan pelan, terkejut ketika melihat tangan gadis itu masih terbalut elastic bandage.

"Kau terluka?" tanyanya, Vipera tersenyum dan menggeleng. Tapi Talishia lebih kaget ketika melihat ada beberapa bekas lebam di wajah cantik gadis itu. Ia menatap Anjani yang merengut dan berpaling pada Vipera kembali. 'Apa yang telah dialami gadis ini? Memar itu jelas sekali bekas pukulan,' batinnya.

"Nak apa yang kau lakukan disini?" tanya Talishia lembut, hatinya sebagai seorang ibu tidak tega melihat tubuh Vipera yang penuh lebam dan beberapa luka kecil.

"Saya bekerja disini," ujar Vipera pelan.

"Bekerja?" tanya Talishia heran. Saat ia bertanya pada Emily serta Dan, mereka tidak tahu jika gadis ini bekerja di sini. Apa mereka berbohong padanya atau memang tidak tahu jika gadis ini adalah saudari tiri Anjani?

Talishia memilih pilihan kedua, mungkin karena tidak diakui Afon gadis ini memilih tidak menyebutkan nama keluarganya? Karena itu tidak ada yang tahu bahwa dia adalah saudari tiri Anjani.

"Bekerja?" Anjani merangsek diantara Talishia dan Vipera. "Orang kaya kamu bisa kerja disini? Jangan membuatku tertawa," kesalnya. "Kau pasti datang untuk menggoda Altair bukan?" tangan gadis itu sekali lagi mendorong Vipera. Kali ini gadis itu lebih siap, ia berpegangan pada tiang di sisinya dan hanya sedikit terhuyung.

"Anjani!" Talishia dan Altair berteriak bersamaan, membuat gadis itu terkejut. Apalagi ketika Altair meraih tangan Vipera dan menarik gadis itu ke balik punggungnya membiarkan ia berlindung di sana.

"Cukup, kau selalu saja datang untuk membuat keributan," ujar Altair, matanya menatap Anjani tegas. "Ma, tolong bawa dia dari sini," pintanya kemudian.

"Vipe?" suara di belakang mereka membuat ketiganya terkejut. Lev muncul tergesa bahkan tak sempat mematikan kendaraannya saat ia keluar. Mata Anjani melebar saat melihat mantan kekasihnya itu datang. Orang yang setengah mati ia cari tiba-tiba muncul di depan mata justru memanggil nama gadis lain dengan sangat khawatir.

"Tidak apa-apa?" tanya Lev lembut saat Vipera melangkah ke sisinya. Gadis itu tersenyum kecil dan menggeleng. "Ayo pulang."

Vipera mengangguk sopan pada Talishia dan Altair, mengucapkan terima kasih dalam suara yang pelan sebelum kemudian mengikuti langkah Lev menuju mobil. Tangan Altair bergetar ketika melihat Lev memeluk bahunya dan menuntun gadis itu masuk ke dalam mobil. Tapi ia tidak bisa menahan mereka pergi karena hanya akan menimbulkan keributan yang lebih memalukan. Apalagi ketika melihat mata Anjani yang menyala seperti api biru saat mantan kekasihnya menuntun Vipera.

"Lev!" teriaknya. "Jadi dia penyebab kamu memutuskan hubungan kita?" jeritnya. Ia tidak pernah menyukai Lev, tapi ketika melihatnya bersikap sangat lembut pada Vipera, hati gadis itu terasa terbakar.

Lev mengerling Altair yang menyeringai kesal. "Tunanganmu ada di sana, apakah kau pantas bicara seperti itu?" tanya Lev, bibirnya menyungging senyum penuh ejekan. Senyumnya menjadi lebih lebar ketika ekor matanya menangkap wajah Altair yang menggeram.

Anjani menyerbu ke pintu mobil Lev, mencoba membukanya untuk menarik Vipera dari sana. Tapi Lev berdiri menghalanginya. "Cukup Anjani. Jika kau benar-benar ingin tahu kenapa kita berakhir, aku akan jawab sekarang. Sikapmu yang seperti ini yang membuatku muak," ujarnya, pelan tapi nadanya terasa sangat menyakitkan.

"Selama ini aku menahan sikap burukmu agar kau tidak menyakiti Vipe, tapi ternyata itu tidak ada gunanya. Kau tetap mencarinya untuk melampiaskan semua kemarahanmu. Sekarang aku tidak akan diam saja jika kau mencoba menyakitinya lagi. Jangan sentuh dia lagi dengan tanganmu."

Anjani mengeluh keras ketika Lev menyingkirkannya dengan kasar. Pria itu menoleh pada Altair. "Jaga tunanganmu, jika dia masih mengganggu Vipe aku tidak akan sungkan," ujarnya.

Altair menggertakkan gigi menatap wajah angkuh Lev, kesal sekali sampai rasanya ia ingin meremukkan mobil yang membawa Vipera menjauh. Tapi jika dia pergi, Anjani juga akan pergi dan mungkin akan mengikuti Lev untuk mencaritahu dimana Vipera tinggal. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Semakin lama Anjani tahu tempat tinggal Vipera sekarang, gadis itu akan semakin aman.

Talishia menatap putranya yang masih memandang kendaraan itu hingga menghilang di luar gerbang kantor. Mata yang terlihat terbakar kemarahan. 'Dia marah karena Anjani mengejar pria itu atau karena Vipera?' pikirnya.

"Ma, tolong bawa dia pulang," ujar Altair pelan. Menatap Anjani. "Dan tolong jangan pernah bawa dia lagi ke kantor ini. Sangat memalukan melihat dia bertingkah seperti bocah begitu," imbuhnya.

Anjani melotot ketika Altair pergi begitu saja, masuk ke dalam kendaraannya yang dikemudikan Dan. "Al!" jeritannya melengking, sampai satpam yang ada di gerbang depan pun bisa mendengar suaranya yang seperti toa.

"Kita pulang Anjani," ujar Talishia, ia benar-benar menyesal dan merasa malu dengan tingkah gadis itu. Mungkin Altair benar, Anjani bukanlah gadis yang cocok dengan putranya itu.

"Ma…," rengek Anjani, "Mama lihatkan Altair gimana sama aku?"

Talishia menghela nafas panjang. "Tapi Altair benar, kau tidak boleh seperti ini. Bersikaplah lebih elegan kalau kau benar-benar ingin menarik perhatian Altair."

Dalam hati Talishia cukup kesal dengan gadis disampingnya ini. Bagaimana bisa dia mengejar Lev sementara ia merengek ingin Altair mengubah keputusannya? "Bukankah kamu bilang kau sudah putus dengan Lev?" tanya Talishia. Anjani mengangguk dengan bibir yang hampir bisa dikuncir. Merengut.

"Lalu kenapa tadi kau mengejarnya?"

"Dia selalu menolong ular itu, selalu membelanya. Mama ga liat tadi dia ga nolak dibawa pergi. Itu memang selalu cara yang dia gunakan untuk merayu pria. Pura-pura teraniaya," omel Anjani.

Talishia memilih diam, dia tidak ingin berdebat dengan Anjani. Memilih membawa gadis itu pulang dan bahkan hanya menurunkannya di gerbang rumah besar mereka. Talishia kembali ke rumahnya sendiri dengan pikiran lelah.

'Gadis itu adalah putri Zelene? Satu-satunya keturunan Santana yang tersisa. Zelene, apa kau tahu betapa miripnya putrimu denganmu?' ia bermonolog sendirian sepanjang perjalanan kembali ke rumah.

"Sepertinya dia hidup dengan baik selama ini, dia tumbuh jadi gadis yang sangat cantik. Tapi mengapa ia mengalami luka separah itu?" Talishia bergumam sendirian.

*Bersambung*