webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 62

Malam ini Barra pergi mengunjungi rumah Rein dengan Arbi yang ia bawa. Rein tidak menghadiri kelas siang tadi, jadi sekarang Barra ingin melihat keadaannya.

"Tante, Barra mau ketemu Rein."

Nayra yang saat itu tengah duduk di depan rumah pun langsung berdiri ketika ia melihat Barra datang ke rumah mereka.

"Iya, Barra. Kamu temuin dia, ya? Rein sama sekali belum keluar kamar dari tadi pagi. Coba kamu bujuk, ya. Tante khawatir karena Rein tidak mau makan."

"Ok, Tante." Barra dan Nayra masuk ke dalam rumah. Tapi sebelum Barra menemui Rein, pemuda itu mengikuti seorang ibu rumah tangga di kediaman tersebut menuju dapur.

Nayra menyiapkan makan malam untuk Rein di atas piring, dan ia juga tidak melupakan minumnya juga buah-buahan untuk pencuci mulut. Setelah itu Barra pun mengambil alih nampan yang berisi makanan di atasnya tersebut.

"Ya udah, Barra ke atas dulu ya, Tante."

"Iya, Sayang."

Barra pun mulai melangkahkan kakinya menuju kamar Rein yang berada di atas. Sesampainya di sana, pemuda itupun mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat, dan memanggil penghuni di dalamnya.

"Rein, bisa lo buka pintunya? Ini gue."

Sama sekali tidak ada jawaban dari dalam. Barra pun kembali melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.

"Gue tau lo amat sangat sedih karena kehilangan salah satu sahabat baik lo. Tapi, lo gak boleh kek gini, Rein. Sakti bakal sedih banget kalo dia tau lo kek gini."

Mendengar penuturan Barra di balik pintu, gadis itu menoleh ke arah pintu kamarnya yang memang ia kunci agar tidak ada yang bisa memasukinya.

Merasa jika Rein tidak akan membukakan pintu untuknya, ia pun memutuskan untuk duduk di sebuah sofa yang ada di sana.

Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan pada grup yang berisikan teman-temannya.

Mereka semua membalas pesan darinya beberapa saat hingga pada akhirnya Barra kembali meletakkan ponselnya.

Nampan yang berisikan makan malam itu ia letakkan dulu di atas meja yang ada di sana. Barra turun ke bawah untuk menemui Nayra dan meminta izin padanya.

"Gimana, Barra?" Nayra yang saat itu tengah duduk di ruang tamu pun beranjak dari duduknya setelah ia melihat Barra turun ke bawah.

"Rein gak mau bukain pintu, Tante. Dia pasti masih trauma. Karena gimana pun juga, Rein kan yang pertama kali liat dan tau kalo Sakti pergi. Dia orang terakhir yang Sakti temuin sebelum dia meninggal. Keknya Rein terus kebayang sama detik-detik terakhir Sakti malam itu."

Nayra tampak begitu cemas. Ia merasa apa yang dikatakan oleh Barra itu adalah suatu kemungkinan yang besar. Rein orang pertama yang menyaksikan kejadian itu di antara mereka. Bahkan Nayra yakin Rein sempat berkontak fisik dengan jasad Sakti setelah ia menemukan adanya noda darah di pakaian yang dikenakan oleh Rein di malam kejadian itu.

"Terus kita harus gimana, Barr? Tante khawatir banget, Tante takut Rein sakit."

"Oh iya, Barra minta sama temen-temen kita buat datang ke sini. Gak papa, kan, Tante? Barra harap sih semoga Rein mau keluar kalo kita semua ada buat temuin dia."

"Oh iya, Sayang, gak papa. Semoga aja, ya. Mereka lagi otw ke sini, kan?"

"Iya, Tante, mereka lagi ada di jalan sekarang."

"Semoga cepet sampai, ya. Tante berharap banget itu bakal berhasil bujuk Rein buat keluar."

"Iya, Tante. Kalo gitu Barra tungguin mereka di depan, ya."

"Iya, Sayang."

Barra pergi ke teras depan dan duduk di salah satu kursi kayu sembari ia menunggu teman-temannya.

Setelah cukup lama ia menunggu, akhirnya mereka pun datang. Bastian dengan Dara, dan Jian dengan Sheril. Barra bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka.

"Kita langsung masuk aja, yu! Gue udah izin, kok, ke tante Nayra," ujarnya. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk masuk dan mereka bertemu dengan Nayra di ruang tamu.

"Hallo, Tante."

"Eh, hallo … akhirnya kalian sampai juga. Makasih ya udah pada dateng. Tante mau minta tolong ya sama kalian, maaf … banget Tante ngerepotin. Coba kalian temuin Rein, ya? Tante khawatir banget sama dia."

"Aduh, Tante kaya ke siapa aja. Gak papa, Tante, gak ngerepotin, kok. Rein kan sahabat kita," balas Sheril.

"Aduh … makasih banget. Ya udah, kalian langsung ke atas aja, ya. Nanti Tante nyusul."

Mereka berlima pun mulai berjalan menuju ke kamar Rein. Setelah sampai di depan pintu kamarnya, Sheril pun mengetuk pintu tersebut.

"Rein, ini kita dateng. Keluar, yu! Kita ngobrol-ngobrol."

"Iya, Rein. Lo juga belum cerita apa-apa sama kita." Dara menimpali.

Rein mendengar suara teman-temannya yang disertai dengan ketukan pintu terhadap pintu kamarnya. Ia menghela napas pelan. Semua orang mendatanginya dan mengajaknya untuk keluar dari kamarnya, Rein jadi merasa tidak enak karena telah membuat mereka khawatir akan keadaannya.

"Rein, bisa buka pintunya?" Kali ini Bastian yang angkat bicara sembari ia mengetuk pelan pintu.

Sebenarnya Rein hanya ingin sendiri dan menyibukkan dirinya dengan menghubungi Haris yang tak kunjung mengaktifkan ponselnya. Pemuda itu samasekali tidak mengetahui jika kini salah satu sahabatnya telah tiada.

Gadis itu akhirnya melawan rasa egonya dan memilih untuk menemui mereka. Walau mungkin rasanya ada yang kurang setelah melihat mereka, Rein akan menguatkan dirinya. Lagi pula, ia tidak seharusnya terus-menerus terpuruk dalam kejadian ini.

'Ceklek'

Mereka berlima menatap pada Rein yang terlihat kacau malam ini. Mata yang sembab dan wajah yang begitu menunjukkan kesedihannya.

"Rein,"

Dara dan Sheril mendekat ke arah gadis itu. Sheril menangkup kedua pipi Rein dan memberikan tatapan cemasnya.

"Ya Allah, Rein."

Rein tersenyum simpul, ia menarik tangan Sheril yang bertengger di kedua pipinya dan menggenggamnya.

"Gue gak papa. Maaf udah bikin kalian khawatir," lirihnya.

"Biar enak, kita ngobrol di sofa aja, gimana?" Atensi mereka mengarah pada Barra. Tanpa menjawab ucapan Barra, mereka pun pergi ke arah sofa.

"Gue udah ke tempat kejadian pas udah balik ngampus tadi. Gue nanya sama orang-orang sekitar sana sampe gue juga nanya sama saksi matanya. Jadi, kecelakaan beruntun itu disebabkan oleh satu mobil yang mana si pengendaranya ini lagi dalam keadaan mabok. Karena rasanya kurang lengkap aja gitu kalo gue gak liat kejadiannya, jadi gue mutusin buat liat di CCTV salah satu toko yang ada di sana. Soal Sakti, gue liat dia jalan gitu sambil bawa kantong kresek, terus pas dia nyebrang, kecelakaan itu terjadi dan akhirnya dia ikut jadi korban. Sakti waktu itu gak lagi sama lo, kan, Rein?"

Rein mengangguk pelan setelah Bastian bertanya padanya. "Waktu itu Sakti pamit buat beli minum, dan gue nunggu sendiri di taman."

Rein menarik juga membuang napasnya secara perlahan. Rasanya ia ingin membagikan cerita sebelum kejadian itu terjadi, waktu-waktu terakhirnya dengan Sakti.

"Dia bilang kalo dia cuma bakal pergi bentar, nyatanya dia pergi kejauhan dan gak mungkin balik lagi."

•To be Continued•