webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 61

"Jangan berusaha terlalu kuat, pelan-pelan aja, gue yakin lo bisa."

Pelukan itu kian melonggar dan akhirnya terpisah. Mereka kembali memberikan jarak antara keduanya, dan mulai detik itu juga Sakti berjanji pada dirinya untuk segera membuang perasaannya terhadap Rein.

"Gue beli minum dulu, ya. Lo tunggu aja di sini, gue cuma bentar."

"Iya."

Sakti pun berlalu meninggalkan Rein di sebuah kursi taman. Ia pamit sebentar untuk membeli minum di sebuah toko kecil yang letaknya tak jauh dari sana.

Selagi menunggu Sakti kembali, Rein pun berniat untuk menelepon balik Barra yang sudah dapat Rein tebak pemuda itu akan mengomelinya.

"Hall-"

"Katanya jam 6 udah di rumah. Bullshit!" Rein mengerling malas, dugaannya benar. Belum saja ia selesai menyapa, Barra sudah lebih dulu mengomel.

"Ih, ya maaf. Terus sekarang lo di mana?"

"Gue yang harusnya nanya. Lo di mana?"

"Ya ... gue lagi sama Sakti."

"Gue nanya lo di mana bukan sama siapa. Kalo itu gue juga udah tau lo lagi sama dia."

"Ih, ya santai aja kali."

"Di mana?" Barra kembali menanyakan pertanyaan yang sama sekali Rein jawab.

"Di tam-"

Belum juga Rein menyelesaikan ucapannya, ia dikejutkan dengan suara ledakan dan kebisingan di belakangnya. Suara yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Yang jelas, itu sungguh mengejutkan juga membuatnya takut.

"Re-rein? Lo gak papa, kan? Itu suara apa?" Tanya Barra dengan cemas karena ia juga mendengar suara keras menyeramkan itu.

"Bar, keknya ada kecelakaan, deh. Gu-gue tutup dulu, ya." Rein memutuskan sambungannya secara sepihak dan ia pun berlari ke arah jalanan yang selalu ramai tersebut. Matanya membulat sempurna tak percaya akan apa yang ia lihat. Kecelakaan beruntun baru saja terjadi di belakangnya dan saat ini ia melihat banyak korban yang tergeletak dengan kendaraan mereka masing-masing.

Rein memundurkan posisinya setelah ada petugas keamanan yang akan menjalankan tugasnya untuk mengamankan jalan di mana kecelakaan itu terjadi.

Gadis itu mulai merasa cemas dan ia terus melihat ke sekitar untuk mencari sahabatnya itu yang pamit untuk membeli minum.

"Sakti, lo di mana? Gue takut." Mata Rein mulai berkaca-kaca karena ia merasa begitu takut dan khawatir yang teramat sangat ketika ia merasa pemuda itu sama sekali tidak ada menghampirinya.

Rein nekat, ia menerobos beberapa orang untuk mencari keberadaan pemuda itu saat ini. Rein rasa, saat ini Sakti masih ada di tempat itu dan ia juga tengah melihat kejadian ini, namun mereka berpisah tempat.

Tak kunjung bertemu, Rein semakin merasa takut dengan semua ini. Ia menatap ke arah korban-korban yang masih dibiarkan tergeletak di sana dan beberapa dari mereka ada yang sudah ditutupi dengan penutup.

Melihat ada sebuah kain yang dikenalinya di antara mereka, kaki Rein pun mulai melemas namun ia memaksakan untuk berlari dan menerobos masuk pada TKP kejadian walau beberapa keamanan telah mencegahnya.

Rein membuka penutup itu dan seketika rasanya ia mati setelah ia melihatnya. Gadis itu menjatuhkan dirinya dengan perlahan dengan matanya yang begitu terasa sakit saat mengeluarkan derasnya butiran-butiran air tersebut.

"Sakti ...,"

Rein menyentuh wajah Sakti yang berlumuran darah. Tangan dan juga bibirnya pun bergetar.

"Sakti, lo bangun, ini gue. Jangan becanda, ya? Gue takut banget sekarang. Haha, mimpi gue buruk banget. Udahan yu becandanya! Kita pulang, hm? Kita pulang, ya? Ini udah malem."

Melihat Sakti sama sekali tidak melakukan pergerakan apapun, Rein kembali menyebut-nyebut nama Sakti. Ia sudah terlihat seperti orang gila ketika ia menangis dan sesekali tertawa karena ia masih tidak percaya jika ini nyata.

"Mba, Mba yang ikhlas, ya." Rein sama sekali tidak menghiraukan seorang pria paruh baya yang menghampirinya dan berbicara padanya. Tapi, saat seseorang tersebut hendak membangunkannya, Rein menolak dengan cara menepisnya.

"Bapak bisa diem dulu, gak?!" Setelah itu Rein kembali beralih pada Sakti dan kembali berusaha untuk membangunkannya. "Sakti, ayo lo bangun!"

"Mba, dia udah gak ada."

"Gak mungkin, Pak. Dia cuma pingsan, coba deh bapak periksa sendiri!" Jawab Rein kesal.

"Semua orang merasakan juga sakitnya, Mba. Mba yang ikhlas, ya? Semua ini udah jadi ketentuan dari yang Maha Kuasa." Mendengar itu rasanya hati Rein begitu sakit layaknya telah disayat-sayat. Rein menggeleng cepat dengan air matanya yang kian deras karena ia merasa suasananya begitu meyakinkan jika ini adalah nyata.

"Gak, gak mungkin, ini semua gak mungkin. Kalian semua bohong, Sakti gak mungkin ninggalin gue. Ya kan, Sakti? Iya, kan? Hm? Iya, kan?! Lo gak akan pernah ninggalin gue, kan? Ayo lo jawab! LO JAWAB, SAKTI! Ayo lo jawab ...!"

Rein semakin histeris, dan beberapa petugas keamanan pun mulai mengamankan Rein dengan cara menggotongnya secara paksa untuk menjauhkannya dari lokasi tersebut.

Setelah itu beberapa ambulan pun datang untuk membawa para korban mau itu korban nyawa ataupun korban yang luka-luka akibat kecelakaan beruntun tersebut. Mendengar suara sirine ambulan yang begitu nyaring dan saling susul menyusul, Rein pun terkulai lemas dan akhirnya jatuh pingsan setelah ia percaya jika ini terjadi di dunia nyatanya.

• • •

"Kali-kali kalo lo telponan sama Haris, lo sampein salam gue buat dia. Tanya, dia kapan balik lagi, gitu. Gue tiba-tiba kangen aja gitu kumpul terus ada dia."

"Maaf, gue banyak salah sama lo, Rein."

"Gue pasti bakal kangen banget sama lo."

"Gue bakal kangen mikirin lo setelah ini ...,"

Rein berdiam diri dengan tatapan kosongnya. Di hadapannya terdapat gundukan tanah yang masih basah berhiaskan bunga-bunga di atasnya.

Sheril, Dara, Jian, Bastian, dan juga Barra geming sembari menatap makam Sakti yang mereka kelilingi. Isak tangis itu masih tersisa dan rasa tak percaya pun masih menghantui mereka. Rein yang pertama kali menyaksikan sahabat mereka pergi untuk selama-lamanya pun merasa trauma setelahnya.

"Lo yang tenang di sana ya, Sak. Kita semua sayang sama lo dan kita semua bakal kangen sama lo. Lo baik-baik aja di sana, ya? Jangan ngerasa berat, kita semua bakal do'ain lo di sini. Insyaallah, kita semua udah ikhlas, jadi lo gak usah khawatir." Bastian berucap sembari ia mengusap nisan bertuliskan nama Sakti di atasnya. "Makasih udah jadi bagian dari kita semua, kita udah lebih dari sahabatan, kita semua adalah keluarga. Meski sekarang kita udah beda, lo bakalan tetep ada di dalam hati kita semua. Sabar, ya? Lo tungguin kita, kita semua harus yakin kalo kita bakal sama-sama lagi."

Mendengar ucapan Bastian yang begitu dalam, rasanya hati mereka kembali terasa sakit. Semua ini begitu cepat, Sakti masih begitu muda dan masih pantas untuknya tetap berada di bumi ini guna mengejar segala impiannya. Tapi, tidak ada satu pun yang mampu melawan kehendak Sang Pencipta. Semuanya telah memiliki garis tangannya masing-masing yang sudah menjadi ketentuan hidupnya di dunia.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, semuanya hanyalah titipan belaka dan memiliki patokannya masing-masing, tak terkecuali diri kita. Ketika Tuhan ingin mengambil apa yang telah dititipkannya, kita tidak bisa menolak, kita tidak bisa menghindar, kita tidak bersembunyi maupun menyembunyikan, dan kita tidak bisa berlari menjauh dari segala kekuasaannya.

Kemarin dan hari ini adalah hari yang dirundung duka bagi mereka, sedangkan hari esok dan seterusnya adalah hari yang akan dipenuhi juga ditemani kenangan-kenangan indah mereka bersama Sakti selama ini. Semua itu tidak akan terhapus oleh waktu, memori itu akan senantiasa mereka jaga dengan baik.

Selamat tinggal, Rehandavir Sakti Fabian. Beristirahatlah dengan tenang, kami semua akan senantiasa merindukanmu di sini.

•To be Continued•