webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 12

"L-lo mau ngapain?"

Haris terlihat memperhatikan bibir, hidung, dan mata Rein sebelum akhirnya ia kembali menjauhkan kepalanya dari gadis itu. "Lo ngapain sih?" Tanya Rein.

"Enggak."

"Apa?"

"Enggak."

"Apa gak?" Rein menodongkan garpu ke wajah Haris. Melihat itu Haris pun langsung menurunkan tangan Rein dan mengambil garpu itu lalu menyimpannya di atas meja.

"Gue cuma mau bilang … kalo lo … jauh lebih … cantik kalo diliat dari jarak lebih deket." Rein langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ya, pipinya seketika merona mendengarnya. "Lah, kok nangis?"

"Ihhh! Bukan nangis! Ini tuh malu tau gak?! Gak peka banget jadi cowok! Berani ya lo alusin gue, kurang ajar emang." Rein mendorong Haris untuk sedikit menjauh darinya sedangkan Haris malah tertawa ketika ia melihat Rein yang seperti itu.

"Jujur banget, Cantik."

"Ya udah, gue bakal sering-sering boongin lo deh kalo gitu."

"Ya udah, gue juga bakal sering boongin lo." Seketika Rein langsung menatap Haris intens dan ia sedikit menampar lengan pria itu.

"Ihhh! Kok gitu sih! Nyebelin banget."

"Kan gue emang nyebelin."

"Tau dah, ngambek aja gue." Rein melipat kedua tangannya dan memalingkan wajahnya dari Haris. "Jangan ngambek dong, entar cantiknya ilang."

"Gue kalo terlalu kesel suka nangis loh. Lo mau bikin gue nangis?" Rein menatap Haris yang sedang menghabiskan minumannya yang tersisa itu. "Nangis aja, entar gue kasih mimi."

Rein beranjak dari duduknya dan ia pun benar-benar pergi meninggalkan Haris di kantin. Haris yang melihat itu hanya tersenyum dan dia langsung mengikuti gadis itu dari belakangnya.

Rein mendudukkan bokongnya di kursi taman sekolah yang kemudian disusul Haris yang duduk di sampingnya.

"Kok kita jadi di sini, sih?" Rein menepis tangan Haris yang hendak mencubit pipinya itu. "Jauh-jauh sana lo ah, benci gue tuh sama lo tau gak?"

"Iya deh iya deh, gue cuma becanda tadi. Jangan ngambek gitu dong, gemes gue liatnya. Iya deh gue salah, cewek gue lagi sensi malah gue godain terus." Rein kembali menepis tangan Haris yang mencoba untuk menyentuhnya. Haris menghela napasnya pasrah. "Ya udah gini deh. Lo mau apa biar bisa maafin gue?"

"Tau dah, gak ada maaf buat lo. Lo cinta gak sih sama gue? Kenapa lo selalu bikin gue kesel mulu? Gak ada bedanya dengan yang kemarin." Haris tersenyum menanggapinya, ia mengetuk-ngetukan jarinya ke bangku taman yang sedang mereka duduki saat ini.

"Rein. Gue emang gak bisa romantis-romantisan layaknya Bastian sama Dara, gue gak bisa berikan semua yang lo mau seperti Jian memberikan apapun yang Sheril minta, gue juga gak bisa seperti Jifran yang selalu mengalah terhadap Erin walau dia tau Erin yang salah. Gue bakal lakuin apapun kalo gue mampu, dan lo harus terima kalo misalnya gue gak seperti yang lo harepin. Gue punya cara sendiri buat bahagian lo. Jangan nanya soal cinta sama gue, hati gue milik lo sepenuhnya." Rein terdiam dan tidak menjawab apa-apa lagi.

"Anterin gue pulang sekarang!" Rein beranjak lebih dulu dan berjalan menuju parkiran yang kemudian disusul oleh Haris.

Selama di perjalanan pulang, tidak ada obrolan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama tenggelam dalam lautan pikirannya masing-masing.

Hingga pada saat mereka telah sampai di rumah Rein, gadis itu langsung turun dari motor dan memasuki rumahnya tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

• • •

Haris mengunjungi rumah Rein saat malam hari. Setelah ia memencet bel rumahnya, keluarlah seorang pria yang usianya sudah tak lagi muda.

"Hallo, Om. Selamat malam." Haris menyapa ayah dari Rein. Tapi, tidak ada respon darinya, yang ada hanyalah tatapan mengintimidasi terhadapnya.

"Kamu siapa?" Haris tersenyum sebelum ia menjawab pertanyaan dari ayahnya Rein tersebut. "Perkenalkan nama saya Haris, Om." Ayahnya Rein mengangguk mengerti.

"Apa yang kamu butuhkan?" Pertanyaan kedua terlontar dari mulut pria paruh baya itu. Haris mencoba untuk tetap tenang dan tidak tegang walau ia dapat melihat sedikit tatapan tidak suka dari ayahnya Rein.

"Saya ingin meminta izin untuk menemui Rein, Om."

"Ya, boleh. Akan saya panggilkan terlebih dahulu. Tapi sebelumnya saya ingin bertanya. Kamu memiliki hubungan apa dengan putri saya?"

"Saya pacarnya, Om." Ayahnya Rein sempat menyunggingkan senyumnya sebelum dia masuk kembali ke rumahnya.

"Gila, jutek banget bokapnya Rein." Haris masih tetap berdiri di depan pintu untuk menunggu Rein. Tidak berselang lama dari itu, tiba-tiba Rendi pulang dan melihat Haris yang berdiri di depan rumahnya.

"Baru pulang, Bang?" Tanya Haris ketika pria yang berusia di atasnya itu sampai di depannya.

"Yo, gue baru pulang. Lo ngapain ada di sini?" Ya, Rendi sedikit heran ketika ia melihat Haris berdiri sendiri di depan pintu rumah mereka malam-malam seperti ini.

"Gue mau ketemu Rein." Rendi mengangguk dan mempersilakan Haris untuk duduk terlebih dahulu selama ia menunggu. Haris pun akhirnya duduk di sebuah sofa yang ada di teras.

Sudah 15 menit Haris diam di sana tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan Rein untuk menghampirinya. Dia berpikir, apakah dia akan diacuhkan di sini?

Setelah 30 menit berlalu Haris pun mulai sedikit pasrah, dia akan menunggunya selama 30 menit lagi. Jika tetap tidak ada, maka dia akan pergi saja dari sana.

Tak beberapa lama kemudian, ada seseorang yang membuka pintu dan otomatis Haris pun langsung meliriknya. "Rein?"

Tak sampai satu menit Rein pun sudah ada di samping Haris. "Lo mau ngapain ke sini?"

"Gue mau ketemu sama lo." Rein menghela napasnya dan mengubah posisinya menghadap Haris. "Lo udah ketemu sama gue sekarang. Terus, sekarang lo mau apa?"

"Lo masih marah sama gue? Di mana letak salahnya ucapan gue terhadap lo tadi siang?"

Rein memutuskan kontak mata dengan Haris dan dia kembali menatap taman bunga rumahnya. "Lo gak salah, Ris. Iya, lo emang bener. Sebenernya harapan gue buat hubungan yang gue jalin sama lo itu gak kaya gini. Gue gak bisa nyampe sama pikiran lo dan gue sedikit kecewa dengan ini. Kita yang sekarang gak beda dengan kita yang dulu."

"Terus, sekarang lo mau kita kaya gimana?"

Rein kembali menatap Haris tepat di matanya." Perlakuin gue layaknya pacar lo, bukan temen lo. Buat gue jatuh lebih dalam lagi, biar gue bisa sepenuhnya buang perasaan gue buat dia. Gue bukannya iri dengan pasangan yang lain, tapi gue ngerasa gue juga berhak mendapatkan perlakuan spesial dari lo."

"Oke, jika itu emang mau lo. Gue akan berusaha buat lo, maaf kalo cara gue yang sebelumnya sama sekali gak muasin lo dan maaf udah bikin lo sama sekali gak bahagia."

"Gue udah bahagia banget sama lo. Cuma ya … kurang-kurangin bikin gue naik darah dong!" Haris tertawa. Tapi rasanya itu akan sangat sulit untuk ia lakukan. Berperilaku usil pada Rein sangat candu bagi Haris.

"Enggak ah, ngusilin lo itu terlalu sayang buat dihentiin. Setiap kali gue liat lo kesel sama gue itu rasanya gue makin sayang aja sama lo." Haris menyeringai dan ia menaikkan sebelah halusnya yang membuat Rein sedikit risih melihatnya.

"Tuh kan, gak ada adab emang. Unpacar aja kita, Nyet!" Rein sedikit mendorong Haris yang kala itu jarak duduknya sangat dekat dengan dirinya.

"Iya deh iya, gak bakal bikin kesel lagi. Tapi kalo gue bikin kesel lagi berarti itu gue lagi khilaf, ya." Ucap Haris yang diiringi tawa renyahnya.

"Terserah lo deh, pusing gue tuh."

"Ya udah, lo mau apa biar gak pusing?" Rein nampak berpikir. Setelah dia mendapatkan sesuatu di pikirannya ia pun tersenyum lucu pada Haris.

"Beliin ice cream dong." Mendengar Rein berkata demikian, membuat Haris teringat sesuatu. Ia pun mengeluarkan sebuah plastik putih yang dari tadi dia simpan di saku jaketnya.

"Ice cream-nya cair, Rein. Gue lupa. Lo keluarnya lama, sih." Rein mengambil ice cream itu dan melihatnya.

"Gak mau ah kalo cair. Beliin yang baru …!" Rengeknya. Haris mendekatkan tangannya pada wajah Rein dan dengan cepat ia mencubit hidung gadis itu hingga memerah.

"Ih, Haris!"

"Ya udah, lo tunggu dulu." Haris beranjak dan dia bermaksud untuk pergi membeli ice cream yang baru untuk Rein.

Tapi baru saja 3 langkah dia berjalan, tiba-tiba dia terhenti karena dia merasakan ada tangan yang melingkar di pinggangnya. "Gue becanda kali. Lo mau ke mana? Lo gak perlu beliin yang baru."

Haris tersenyum dan membalikan badannya menghadap Rein. Tangan gadis itu masih terlingkar di sana dan Haris pun menangkup kedua pipi gembil Rein.

"Gue baru tau lo semanja ini, ya. Pantes aja gak mau gitu kalo gue biasa aja sama lo." Rein terkekeh mendengarnya, Hhh Haris benar-benar sulit untuk mengerti rupanya.

"Heem, makannya lo peka dong."

"Dek, kata pap-" Haris dan Rein langsung melepaskan tangan mereka satu sama lain ketika Rendi berhasil memergoki mereka berdua.

"K-kak?"

•To be Continued•