webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 48

"Rein?" Gadis itu menoleh hanya untuk beberapa detik. Setelah itu ia pun kembali mengalihkan pandangannya dan memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju minimarket. Barra yang merasa sama sekali tidak digubris pun terus memperhatikan langkah gadis itu yang semakin menjauh darinya.

Tidak, Rein tidak membenci Barra. Hanya saja … ia hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Barra padanya. Barra sudah cukup lama membiarkan dan mendiamkannya juga, bukan? Rein berpikir itu memang keinginan Barra, Rein berpikir memang seperti itulah yang diharapkan oleh Barra. Jadi, dia mencoba untuk mengabulkan keinginan pria tersebut.

Rein tidak akan mengemis pada Barra untuk menjadi seperti dulu lagi, itu sudah menjadi keputusannya dan ia harus menerimanya. Ia tidak akan memaksa seseorang yang ingin pergi meninggalkannya untuk tetap tinggal di sisinya.

Satu hal yang Rein tahu, ia dan pria itu tidak memiliki hubungan yang spesial dan tidak memiliki hubungan darah. Barra bukan siapa-siapa, ia bukan seseorang yang penting dalam hidupnya. Jadi, oleh karena itu, akan dengan mudahnya bagi Rein untuk melepaskan, ia tidak perlu bersedih lagi karena Barra bukan segalanya baginya. Sama sekali bukan.

Ya, memang sempat ia begitu merasa sedih karena kejadian ini. Tapi, nyatanya itu semua tak berlangsung lama karena ia sudah terlanjur menyadari segalanya.

Karena Rein hanya akan membeli minyak dan gula pasir saja, jadi ia hanya memerlukan waktu sebentar untuk membeli barang tersebut.

Saat ia berjalan untuk pulang, ternyata Barra masih berada di depan gerbang rumahnya. Rein sedikit menghela napasnya karena ia mengetahui jika dirinya harus bertemu lagi dengan pria itu. Sekali lagi ditekankan, Rein tidak membenci Barra, hanya saja ia tak tahu harus berekspresi seperti apa jika sampai mata mereka bertemu nantinya.

Haruskah ia menunduk agar sampai tak bertatapan dengannya? Ah, tidak, Itu terlihat sama sekali tidak keren.

Atau … haruskah ia menatap ke arah yang lain? Ah, tidak juga, kesannya seperti sombong dan tidak memiliki etika. Rein diajarkan untuk selalu beramah-tamah pada siapapun yang dilewati olehnya, bahkan lebih bagus jika ia mengucapkan kata 'permisi' pada orang yang ia lewati batang hidungnya.

Posisinya semakin dekat dengannya karena ia terus melangkahkan kakinya. Rein dan Barra akhirnya saling menatap satu sama lain dan ia melihat pria itu tersenyum ke arahnya. Mau tak mau ia pun membalas senyuman itu.

"Tunggu dulu, Rein!" Seketika Rein berhenti melangkahkan kakinya ketika suara itu berhasil menginterupsinya.

"Iya?" Barra berjalan mendekat ke arah Rein dan mereka pun berdiri dengan cara berhadapan.

"Gue ngerasa gue udah lama gak ngomong sama lo. Lo baik-baik aja, kan?"

"Seperti yang lo liat saat ini. Gue baik-baik aja. Gue duluan ya, Mamih udah nungguin." Rein kembali membawa tungkainya untuk meninggalkan tempat itu.

Hati Barra mencelos ketika ia melihat gadis itu bersikap dingin padanya. Benar-benar terlihat seperti bukan dirinya yang asli dan benar-benar begitu terasa asing.

"MAM-" Rein menepuk dahinya sendiri dan ia berjalan menuju ke arah dapur dengan sedikit tertunduk. Ia lupa jika di rumah mereka masih ada seorang gadis yang disebut-sebut sebagai 'calon kakak iparnya' itu. Lantas, dia hampir saja melakukan hal yang tak pernah berubah dari dulu ketika ia baru kembali ke rumah—berteriak memanggil ibunya.

"Ini, Mih, gula sama minyaknya." Rein meletakkan belanjaan itu di atas meja makan.

"Apa? Tadi mau teriak lagi, ya?" Rein tertawa renyah dan mengangguk pelan. "Kamu tuh udah gede, bisa gak sih kalo masuk rumah itu diem aja gitu gak usah teriak-teriak?"

"Mamih … udah enak tau. Rasanya gak lengkap aja kalo Rein gak teriak."

"Ya masa kalo ada tamu kamu mau tetep kaya gitu, gak baik."

"Kalo ada tamu beda lagi lah, Mih. Tadi Rein cuma lupa aja kalo ada pacarnya kak Rendi." Nayra tak menanggapi Rein kali ini, ia meletakkan satu gelas jus plum yang baru selesai ia buatkan untuk Rein.

"Asik …! Jus plum!" Rein bersorak ria setelah ia mendapatkan salah satu minuman favoritnya. Ia pun mengambil gelas berisi jus plum itu dan meminumnya.

Nayra duduk di samping putrinya itu yang sedang menikmati jus buatannya tersebut. Ia bermaksud untuk menanyakan sesuatu hal padanya saat ini.

"Rein, udah lama Barra gak ke sini. Kalian belum akur juga? Mamih awalnya ngebiarin nih, tapi kalo kalian jauhannya ampe selama ini Mamih jadi penasaran sama masalah kalian. Kenapa, sih?"

Rein meletakkan gelas berisi jus plum itu sebelum ia menjawab apa yang ditanyakan oleh ibunya itu. "Kita gak berantem kok, Mih. Cuma ya … gitu, deh."

"Gitu gimana? Jelasinnya yang bener, dong! Mamih kan penasaran."

"Iya iya, Barra punya pacar sekarang jadi dia mutusin buat jauhin Rein. Ya Rein cuma ikut aja apa yang dia mau, jadi ya udah Rein juga jauhin dia balik, lah."

Nayra mengerjap beberapakali karena ia belum paham seluruhnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, memangnya apa masalahnya memiliki pacar dan harus menjauhi? Rein yang melihat ibunya masih memasang wajah penasarannya itu pun kembali mengangkat suaranya untuk menceritakan ke sesuatu yang lebih jelas lagi.

"Jadi gini, Mih …," Rein menggantungkan ucapannya itu untuk kembali meminum jus plum yang telah ia abaikan beberapa menit tersebut. "Barra udah lama banget suka sama Rein, jelasnya sih ya pas awal-awal kita ketemu juga Barra udah suka sama Rein. Dia sering ngungkapin perasaannya sama Rein tapi selalu Rein tolak. Gitu, Mih."

"Kok kamu tolak?" Rein membeku beberapa saat setelah ia mendengar pertanyaan dari ibunya itu. Maksudnya apa? Apakah ibunya itu ingin jika dirinya berselingkuh dari Haris?

"Mih, kan Rein udah punya Haris, masa iya Rein nerima Barra?" Seketika ibunya langsung tertawa dan Rein yang melihat itu pun hanya bisa menatapnya heran.

"Astaga iya! Mamih lupa loh, Rein. Iya kan kamu udah punya pacar, ya." Nayra terkekeh pelan sedangkan Rein memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya ibunya itu lupa padahal tadi ia sempat mengatakan bahwa Rendi tidak sepertinya yang selalu mengumbar-umbar hubungannya.

"Terus, gimana?" Nayra kembali bertanya dan Rein pun bersedia untuk melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti beberapa saat tersebut.

"Karena mungkin Barra udah capek Rein tolak terus, akhirnya dia nyari cewek lain, deh. Terus alasan kenapa dia jauhin Rein, Rein nganggapnya gini loh, Mih, Barra jauhin Rein ya mungkin biar dia bisa cepet-cepet move on dari Rein. Udah sih gitu, jadi ya udah Rein juga ikutan jauhin dia. Ya … itung-itung bantuin dia buat cepet-cepet lupain perasaan dia sama Rein."

Nayra menatap putrinya itu dengan penuh selidik sedangkan Rein menatap ibunya dengan tatapan herannya. Atas dasar apa ibunya menatapnya seperti itu?

"Yakin itu alasan Barra ngejauhin kamu?"

"Y-ya terus apa dong, Mih? Kita gak berantem sama sekali pokoknya gak ada percekcokan di antara kita. Tiba-tiba aja dia ngejauhi Rein gitu aja pas dia udah punya pacar."

Nayra nampak berpikir beberapa saat. Bukannya ia tak ingin mempercayai Rein, hanya saja ia kurang sepemikiran dengannya.

"Gimana kalo misalnya nih ya, Barra jauhin kamu itu ya karena dia mau jaga perasaan pacarnya itu aja, ya mungkin aja ceweknya gak suka kalo misalnya dia deket sama orang lain."

"Cih, cewek apaan kalo emang kek gitu? Kalo gitu namanya terlalu nuntut, Mih. Harusnya dia sadar, Barra tuh kodratnya mahluk sosial, dia gak mungkin bisa hidup sendirian, dia juga pasti bakalan butuh sama orang lain. Terkecuali semua yang dia butuhin udah mampu ditanggung semuanya sama cewek itu sendiri, baru dia boleh larang Barra buat bersosialisasi."

Kali ini Nayra terdiam. Apa yang dikatakan oleh Rein ada benarnya juga, jika dalam sebuah hubungan tercantum larangan untuk berdekatan dengan orang lain entah itu teman atau sahabatnya sendiri itu memang bisa dikatakan terlalu menuntut.

Jelasnya seperti ini, keduanya harus saling mengerti jika mereka hidup bukanlah hanya untuk sekadar urusan cinta yang mereka jalin saja. Cinta tidak akan selalu terasa menyenangkan dan manusia tidak akan terpaku oleh satu cinta saja. Artian dari kata 'cinta' tidak hanya selalu ditemukan dalam kata 'pacaran' saja, tentu saja akan ditemukan pula dalam persahabatan, pertemanan, dan keluarga. Tentunya manusia membutuhkan itu dan tidak mungkin melewatkan hal itu.

Lalu, baguskah jika menuntut seseorang agar selalu ada untuk dirinya setiap waktu dan melarangnya melakukan hal-hal yang sebelumnya sering ia lakukan, juga melarangnya untuk menemui siapa saja yang sebelumnya sering ia temui? Tentu saja itu sama sekali tidak benar, tidak terkandung manfaat di dalamnya, yang ada itu semua hanya akan mengakibatkan berkurangnya rasa cinta yang ia terima dalam hidupnya.

Merasa tidak ada lagi percakapan di antara mereka, Rein pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Inginnya dia merasa biasa saja, tapi perbincangan yang telah ia bincangkan dengan ibunya tadi berhasil membuatnya kesal. Itu semua berhasil membuatnya kembali berpikir, apakah anggapannya tentang Barra yang menjauhinya karena ia ingin menghapus rasa cintanya tersebut memang sudah benar? Atau jangan-jangan, sebenarnya apa yang dikatakan oleh ibunya itu adalah sebuah kebenarannya yang sesungguhnya? Barra menjauhinya karena gadis itu?

Rein benar-benar tidak tahu dan ia tak ingin berburuk sangka sebenarnya. Tapi, jika itu memang benar, Rein tidak akan menyukainya. Ia berpikir, tidak seharusnya gadis itu seperti itu. Kenapa? Karena secara disengaja ataupun tidak, ia sudah masuk ke dalam kategori tidak menghargai orang yang telah jauh ada sebelum dirinya hadir. Apalagi jika ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang apa saja yang pernah terjadi antara orang yang bersangkutan tersebut dengan orang lain di luaran sana.

Gadis itu menghela napas kasar dan ia mencoba menepis semua yang ada di dalam pikirannya. Ini tidak penting! Kau harus tidur! Ya, seperti itulah ia membentak dirinya sendiri di dalam relung hatinya.

•To be Continued•