webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 47

Sudah sekitar 2 bulan lamanya Rein tidak pernah berinteraksi lagi dengan Barra. Entah kenapa rasanya Rein sudah terbiasa saja dengan keadaannya saat ini, dia benar-benar sudah tidak apa-apa. Dan, ditambah lagi Sakti memang melakukan apa yang dikatakan olehnya pada waktu itu yang menyembutkan bahwa dia akan selalu ada untuknya. Sempat ia berpikir, mungkin saja sekarang Barra juga sudah berhasil dengan niatnya itu. Ya, sebuah niat untuk melupakannya.

Baik, Rein tidak peduli. Itu bahkan bagus sekali jika pemikirannya sama dengan kenyataannya. Ia akan turut berbahagia untuk hal tersebut.

Saat ini Rein sedang berada di kantin bersama Sakti, Jian, dan juga Bastian karena mereka berempat berjanji akan bertemu di kantin hari ini. Karena Rein keluar lebih awal jadi ia sempat menunggu mereka bertiga beberapa lama di kantin sendirian.

"Gue pengen nikah." Tiga pasang mata langsung tertuju pada Jian yang tiba-tiba saja berkata demikian.

"Ya tinggal aja kali, ngapa lo bilang sama kita? Mo minta dimodalin?" Celetuk Bastian di tengah-tengah ia mengunyah makanannya.

"Kalo kalian bersedia sih ya dengan senang hati bakal gue terima." Jian terkekeh tanpa dosa sedangkan mereka bertiga menatapnya sinis.

"Enak di lu gak enak di kita itu namanya, Anjir!" Jian menggidikan bahunya tak peduli dan ia kembali fokus  pada makanannya yang belum habis.

Rein menggelengkan kepalanya lelah saat ia melihat tingkah laku ketiga pria yang sedang ada bersamanya itu. Jujur, mereka bertiga memang terlihat sangat dingin di mata orang lain tapi kenyataannya mereka tidak seperti itu. Lihatlah! Bahkan mereka sering menistakan satu sama lain dan terkadang bertingkah seperti anak kecil.

Bastian yang tadinya sangat dewasa dan mungkin dapat dikatakan sebagai seseorang yang paling waras di antara mereka pun kini ia malah terbawa oleh yang lainnya. Dan pada akhirnya kewarasan yang dimilikinya hanya tinggal setengahnya saja. Kiranya … Bastian salah pergaulan.

"Rein, mau nambah gak?" Rein menoleh ke arah Sakti yang tiba-tiba berbicara padanya.

"Enggak, deh. Gue kenyang."

"Oh iya, si jongos satu ke mana aja dia? Keknya gue udah jarang liat." Bastian mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Jian karena memang mereka sudah tak pernah lagi melihat pria itu.

"Dia ada cewek, mungkin tiap waktunya dia habisin sama ceweknya." Rein menjawab rasa penasaran Bastian dan Juga Jian.

"Punya pacar boleh, tapi ya jangan lupa juga sama temen lah. Gak mungkin juga kan dia lupa jalan ke sini cuma buat nemuin kita." Rein terdiam sejenak mendengar penuturan Bastian. Dia, dia adalah alasan mengapa Barra tidak pernah lagi menemui mereka.

• • •

'Ceklek'

"Rein?"

Gadis itu menoleh pada seseorang yang membuka pintu kamarnya. Ia yang kala itu sedang fokus pada laptopnya pun mengabaikan dulu apa yang sedang dikerjakannya tersebut.

"Dipanggil mamih."

"Iya, Pih." Setelah itu ayahnya Rein pergi setelah ia menyampaikan hal itu pada putrinya. Rein sedikit heran sebenarnya karena memang biasanya tak seperti ini. Ibunya akan berteriak di bawah sana untuk memanggilnya atau tidak juga biasanya Rendi yang akan datang ke kamarnya untuk menyampaikan itu. Tapi … kenapa sekarang ayahnya yang datang ke kamarnya?

Rein menepis jauh-jauh pemikirannya itu dan menggantinya dengan hal yang lain. Mungkin saja Rendi belum pulang dari kantor dan ibunya sedang sakit tenggorokan saat ini makanya ayahnya yang memberitahukan.

Ia mulai melangkah keluar dari kamarnya dan menuruni tangga untuk menemui ibunya di bawah sana. Tapi saat ia baru saja sampai di pertengahan tangga, ia melihat seseorang yang asing tengah duduk berdua dengan kakaknya di ruang tamu. Rendi dan orang asing itu menoleh padanya. Rein tersenyum canggung pada orang asing itu karena ia tersenyum ramah kepadanya.

Rein kembali bertanya-tanya tentang orang tersebut. Siapa? Dia tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Kak, Mamih mana?"

"Di dapur." Rein langsung melengos pergi setelah ia mengetahui keberadaan ibunya saat ini.

"Mamih manggil Rein?" Ia mendekat pada ibunya yang kala itu sedang membuat minuman.

"Iya. Kamu ke minimarket, gih! Tolong beliin Mamih gula pasir sama minyak, udah pada habis soalnya." Nayra mengeluarkan uang di dalam dompetnya dan memberikan pada putrinya tersebut.

"Mih, yang sama kak Rendi … itu siapa, ya?" Tanya Rein pada ibunya karena ia mengira jika ibunya mengetahuinya.

"Kamu belum tau? Itu calon kakak ipar kamu." Otomatis Rein membulatkan matanya tak percaya. Jadi, Rendi akan segera menikah?

"Ta-tapi, Mih. Kok bisa? Rein gak pernah denger tuh kak Rendi punya pacar atau deket sama cewek, tapi kenapa sekarang dia udah ada calon istri aja?" Nayra menghentikan aktivitasnya dan ia menatap pada si bungsu yang nampak benar-benar keheranan dan dari raut wajahnya seperti ada sedikit kekecewaan di dalamnya.

"Ya karena kak Rendi bukan kamu, pacarannya diumbar-umbar. Mereka udah pacaran selama 2 tahun dan ini adalah pertama kalinya kak Rendi ajak dia ke rumah. Baru rencananya aja, Rein, kita semua belum punya tanggal yang pas untuk menikahkan mereka."

Rein merasa sedih ketika ia mendengar hal itu. Entah kenapa hatinya terasa sakit. Nayra yang melihat ada kesedihan dalam wajah si bungsu pun bertanya padanya. "Kamu kok sedih gitu mukanya? Kamu gak seneng kalo misalnya kak Rendi mau nikah?"

"Rein bukan gak seneng, Mih. Tapi … Rein belum siap aja kalo misalnya kak Rendi bakal pergi dari rumah ini. Nanti kak Rendi bakal jarang banget ketemu sama Rein, nanti Rein pasti kesepian kalo kak Rendi pergi, terus nanti Rein gak punya temen berantem lagi, Mih."

Nayra tersenyum lembut dan ia menangkup kedua pipi Rein. "Kak Rendi kan udah dewasa, usianya udah cukup matang buat nikah. Emangnya Rein mau kalo misalnya kak Rendi jadi bujangan tua karena gak nikah nikah? Pasti enggak, kan? Sesakit-sakitnya kamu, lebih sakit Mamih sama papih, Sayang. Nanti kamu juga bakalan nikah dan di situ adalah puncak rasa sakit sesungguhnya buat Mamih sama papih, karena kita akan menyaksikan kedua anak kita yang telah bertahun-tahun lamanya tumbuh di dalam genggaman kami berakhir dimiliki oleh orang lain.

Mereka memilih jalan hidup mereka masing-masing dengan takdir mereka yang telah ditentukan oleh Tuhan. Akan ada saatnya anak yang selama ini diberi makan oleh orangtuanya berakhir memberi makan anak orang lain, dan ada saatnya anak yang selama ini diberi makan oleh orangtuanya berakhir diberi makan oleh orang lain. Rein paham maksud Mamih, kan?"

Rein mengangguk pelan dan ia langsung memeluk ibunya. "Rein gak akan cepet-cepet nikah deh, Mih. Rein mau lama-lama aja sama Mamih sama papih."

"Iya, terserah kamu aja. Tapi, kalo kamu mau nikah, gak papa nikah aja gak usah mikirin Mamih sama papih karena itu emang udah menjadi kewajiban. Mereka harus memiliki pasangan dalam hidup mereka untuk terus memberikan keturunan. Ya, Rein?"

"Iya, Mih." Rein tersenyum pada ibunya itu sedangkan ibunya sedikit mengecup singkat kening bayi perempuannya yang telah beranjak dewasa itu.

"Udah sana cepet beli minyak sama gulanya!"

"Iya, Mih." Rein pun pergi ke minimarket untuk membeli apa yang diperintahkan oleh ibunya tadi. Ia sedikit bersenandung kecil di setiap langkahnya. Ibunya benar, ia harus bahagia jika kakaknya akan segera menikah.

'Tap'

Langkahnya terhenti ketika ia bertemu dengan seseorang yang tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Pakaiannya sangat terlihat santai dengan celana pendek selutut dan juga kaos oblong berwarna hitam.

Mereka saling menatap satu sama lain, dan …,

"Rein?"

•To be Continued•