webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 45

Rein berjalan malas menuju kelasnya. Ia benar-benar tak memedulikan sekitarnya, pandangannya sedikit tertunduk sehingga ia tidak tahu siapa saja yang telah ia lewati di sepanjang langkahnya. Dan, ia juga tidak peduli akan hal itu.

'Sruk'

Wajah itu tenggelam di dalam lipatan tangan yang tertumpuk di atas meja. Matanya yang terlihat sayu itu perlahan terpejam dan telinganya mengabaikan suara bising yang begitu terdengar berusaha menggoyahkan kedamaian dalam dirinya.

Rein kesepian di tengah-tengah keramaian.

Perlu diakui, Rein sedikit kesulitan mendapatkan teman di dunia perkuliahannya. Ia benar-benar tak mendapatkan seseorang yang cocok dengannya untuk dijadikan teman dekatnya.

Hhh … ya, cuma sebatas mengetahui nama, mengetahui wajah, dan berbicara seperlunya. Begitulah setiap harinya ia lewati dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Lo kenapa?" Gadis itu mengangkat wajahnya dan ia menatap pada seorang gadis lain yang tiba-tiba saja sedikit menepuk bahunya.

"Gue gak papa."

"Oh, kirain sakit." Rein hanya membalasnya dengan senyumannya saja, setelah itu ia kembali menenggelamkan wajahnya seperti semula.

Barra baru saja memasuki kelasnya. Saat ia baru saja memasuki ruangan itu, pandangannya langsung tertuju begitu saja pada seorang gadis yang kini tengah menyembunyikan wajah cantiknya.

Ia menatapnya dengan penuh tanda tanya dan ia tidak dapat melihat aura semangat terpancar darinya. Benar-benar terlihat seperti bunga di musim kemarau. Ya, seperti itu.

Saat ia sudah duduk di kursinya pun ia masih memperhatikannya. Sebenarnya, ia ingin menghampirinya dan menanyakan apa yang telah terjadi padanya sehingga ia terlihat seperti itu. Tapi apa daya? Pikiran dan hatinya benar-benar tidak dapat sinkron untuk saat ini.

Hatinya mengatakan 'HARUS!', ia harus pergi ke sana untuk menemuinya, sedangkan pikirannya mengatakan 'TIDAK!', ia tidak boleh pergi ke sana untuk menemuinya. Barra menjadi lelah sendiri mendengar hati dan pikirannya yang terus bersawala seperti itu.

• • •

Rein melihat arlojinya dan ia langsung pergi menjauhi kampus dan bermaksud untuk segera pulang. Ya, setelah kelas selesai, Rein memutuskan untuk langsung pulang saja. Memangnya … apa yang akan dilakukannya jika ia diam dulu di kampus untuk beberapa saat? Ia akan sendirian nantinya karena Bastian, Jian, dan Sakti tidak ada kelas hari ini. Lagi pula, ia pun merasa sedikit lelah dan ingin cepat-cepat sampai di rumahnya.

Rein memandangi jalanan yang kering karena sudah beberapa hari ini hujan tidak turun untuk membasahinya. Ia menyandarkan kepalanya dan melemaskan tubuhnya sehingga pergerakannya hanya tercipta oleh gerakan bus yang tengah ia tumpangi itu.

Ia menghela napasnya beberapa kali sedari tadi. Entah kenapa, tapi ia merasa sama sekali tidak bersemangat menjalani hari ini. Ia tidak memiliki banyak kegiatan hari ini tapi tubuhnya terasa begitu sangat-sangat lelah dan matanya terasa berat akibat mengantuk. Ia ingin tidur tapi tanggung rasanya karena sekitar 10 menit lagi ia akan turun. Jadi, ia lebih memilih untuk menahan rasa kantuknya tersebut.

Sesekali ia membuka sosial medianya hanya untuk sekadar menghilangkan rasa bosannya. Ia tidak terlalu memfokuskan hal itu, ia melihat postingan orang-orang di luar sana yang selalu sibuk memamerkan keramaian hidupnya entah itu dengan pasangannya, sahabatnya, temannya, dan bahkan keluarganya. Semuanya nampak menyenangkan ketika dipandang oleh netranya. Ia iri dan ia ingin kembali mendapatkan segalanya yang pernah menjadi miliknya. Rein ingin kembali mendapatkan keramaian itu di dalam hidupnya.

Gadis itu kembali mengantungi ponselnya dan ia segera turun karena memang itu sudah saatnya. Ia berjalan kaki menuju rumahnya dan sesekali ia menendang apapun yang menghalanginya jalannya.

"Rein pulang …!"

Sepi.

Ke mana ibunya pergi?

Rein menggidikan bahunya tak peduli dan ia pergi ke kamarnya. Ia berniat untuk mandi dan setelah itu ia akan pergi tidur saja.

Sementara itu di lain tempat, Barra tengah menunggu Chaerin di sebuah cafe yang berada di depan kampus. Sudah sekitar satu jam ia menunggunya dan akhirnya batang hidung gadis itupun mulai terlihat olehnya. Mereka saling melontarkan senyumannya satu sama lain setelah mata mereka berdua bertemu.

"Maaf ya lama, aku baru selesai kelas soalnya," ucapnya dengan perasaan tak enak.

"Gak papa santai aja. Mau pesen sekarang?" Chaerin hanya mengangguk untuk menyetujuinya dan mereka pun mulai memesankan makanan juga minuman yang mereka inginkan.

"Barra, cewek yang kemarin ke rumah kamu itu siapa, sih? Aku sering liat dia tapi aku gak tau ternyata dia deket sama kamu dan juga mama kamu." Barra tahu yang dimaksud oleh Chaerin itu adalah Rein. Ya, siapa lagi jika bukan gadis itu?

"Dia namanya Rein, dia teman aku dari semenjak aku kelas 2 SMA. Aku pertama kali ketemu dia waktu itu pas udah 2 bulan lamanya aku pindah ke sini." Lagi-lagi Chaerin menganggukkan kepalanya mengerti. Jadi gadis itu namanya adalah Rein? Pikirnya.

"Jadi, kalian satu sekolah?" Tanya gadis itu lagi.

"Enggak juga, sih. Kita beda sekolah kok, itu juga kita pertama kali ketemunya di bus pas pulang sekolah."

"So sweet banget sih ketemunya di bus." Raut wajah Chaerin seketika menjadi berubah seakan ia tak menyukai hal itu. Barra tersenyum lembut ke arahnya dan tangannya terurai untuk mengusap puncak kepalanya.

"Kok jadi bete gitu? Kamu cemburu?" Chaerin tidak menjawabnya dan ia terus dengan raut wajah tak sukanya itu. "Itukan udah lama, jauh sebelum kita ketemu. Bayangin, udah berapa tahun lamanya, hm? Dan lagian kita cuma temen biasa kok gak lebih. Udah jangan cemberut kek gitu! Makin gemesin soalnya."

Chaerin memalingkan wajahnya dan perlahan ia kembali tersenyum. Barra yang menyadari itupun ikut tersenyum melihatnya. "Tapi kamu gak tau aja, dia sempet natap aku jutek pas kemarin dia ke rumah kamu. Kan siapa yang tau, gimana kalo misalnya dia suka sama kamu?"

Barra terdiam untuk hal ini. Ia tahu Rein memang menyukainya juga karena ia sering mendengarnya langsung dari hatinya yang terdengar berisik ketika berada di dekatnya. Tapi, gadis itu lebih memilih untuk tetap setia pada pasangannya yang jauh di sana dan selalu menyembunyikan perasaannya itu walau sebenarnya ia mengetahui jika itu adalah sebuah usaha yang sia-sia. Barra tetap dapat mengetahuinya melalui kelebihan yang dimilikinya tersebut.

"Barra, kok kamu diem? Jangan-jangan emang iya, ya?" Chaerin memberikan tatapan mengintimidasinya terhadap pria yang kini tengah duduk berhadapan dengannya.

"Enggaklah, Sayang. Itu gak mungkin, dia juga udah punya pacar kok malahan udah bertahun-tahun banget pacarannya. Pokoknya langgeng deh. Dan soal dia yang natap kamu jutek, kamu jangan ambil hati, ya? Itu Rein biasa aja kok sebenernya, dia emang kek gitu orangnya. Coba deh kalo kamu deket sama dia, dia orangnya baik kok dan banyak ngomong juga."

Obrolan mereka terhenti ketika makanan yang mereka pesan telah datang. Barra dapat melihat wajah Chaerin kembali ceria ketika makanan kesukaannya itu telah ada di depan matanya. Itu hal yang bagus, Barra berharap setelah ini Chaerin tidak akan membahas lebih jauh lagi tentang Rein.

Langit biru itu kini telah berubah menjadi hitam. Seorang gadis nampak gelisah di bawah selimutnya. Ya, ia baru saja terbangun dari tidurnya. Ia sedikit melirik ke arah jam dinding yang terpajang di kamarnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul 8 malam.

Ia menyingkapkan selimutnya dan mulai turun dari ranjangnya. Perutnya terasa begitu lapar karena ia memang belum makan dari setelah ia pulang dari kampus.

"Baru bangun?"

"Hm." Rein melewati Rendi begitu saja dan ia pergi menuju ke meja makan. Setelah sampai di sana, ia melihat ibunya tengah mencuci piring bekas makan malam mereka tanpa Rein.

"Kamu baru bangun? Makan dulu sana! Kamu belum makan, kan?" Rein langsung melakukan itu karena memang itu adalah tujuannya datang ke ruangan tersebut.

Selama ia sedang menyantap makan malamnya, ia terus menggerutu di dalam hatinya. Ia mengucapkan apa saja yang ingin ia ucapkan dalam pikirannya.

Setelah ia selesai, ia kembali naik ke kamarnya dan membuka ponselnya. Rein merasa sangat bosan, ia ingin pergi keluar saja rasanya. Tapi, jika ia pergi sendiri … rasanya akan sama saja bosannya.

"Biasanya kalo lagi pengen main ke luar gini tinggal ajak Barra aja. Tapi sekarang? Ihhh bosen …!"

Rein mengetuk-ngetukan kuku-kuku panjangnya seraya memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk menghilangkan rasa bosannya itu.

"Sakti mau gak ya gue ajak? Eumm coba dulu, deh." Jari-jari Rein mulai kembali bergerak untuk mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

Sakti

Rein: Sakti, di mana? Mau ngapain

•To be Continued•