webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 44

"REIN? AYO TURUN! BANTUIN MAMIH!" Dengan secepat kilat Rein turun dari kamarnya untuk menemui ibunya yang meneriakkan namanya tadi.

"Kenapa, Mih?" Rein melihat ibunya sedang memasukan sebuah kotak ke dalam plastik berwarna putih. Setelah kotak itu berhasil, Nayra memberikannya kepada putri kesayangannya, Rein.

Rein menerima itu dengan perasaan heran, ia menautkan kedua halisnya seraya menatap ibunya. "Anterin ini ke rumah Barra, ya?"

Seketika Rein langsung memelas. Ia benar-benar malas jika begitu, bolehkah dia menolak perintah dari ibunya itu? Ia benar-benar ingin menolak. "Mamih … Rein males ah kalo ketemu Barra."

Melihat Rein merengek seperti itu, Nayra pun menatapnya heran. Tidak seperti biasanya anak gadisnya seperti ini. "Emangnya kenapa? Kalian lagi perang dingin? Habis berantem?"

"Ih gak tau, ah. Mamih tanya aja sendiri sama tuh anak. Pokoknya Rein kesel banget sama dia, Mih. Rein gak mau ketemu sama Barra lagi. Pokoknya gak mau!" Rein meletakkan plastik berisi sekotak brownies itu di atas meja makan dan ia mengambil posisi duduk dengan wajah malasnya.

"Terus? Ya Mamih gak peduli ya sama masalah kalian berdua. Udah sana anterin dulu! Bentar doang kok gak lama. Masa iya kamu mau ngebantah Mamih cuma buat hal begituan. Udah sana anterin! Kalo enggak, semua brownies ini bakalan Mamih kasihin ke Kak Rendi, pokoknya gak bakal Mamih sisain buat kamu."

"Iya iya." Rein akhirnya pasrah dan ia kembali mengambil plastik itu dan menjinjingnya untuk mengantarkannya ke rumah Barra. Selama ia berjalan, ia terus mengumpat kesal. "Mamih gak adil ah, kak Rendi gak ngapa-ngapain tuh tapi dia bakalan tetep makan juga. Lah ini gue, harus nganterin dulu ke rumah si Barra api itu dulu dan kalo enggak gue gak bakal dikasih bagian. Miris banget ah!"

Rein menendang beberapa kerikil yang menghalangi langkahnya. Karena ia masih dengan umpatannya, ia pun tak memperhatikan langkahnya dan masih mengayun-ayunkan kakinya tidak jelas secara berulang-ulang hingga pada akhirnya ia terhenti ketika ia dapat merasakan sesuatu yang menusuk ujung ibu jari kakinya.

"Ahk!" Rein langsung menurunkan tubuhnya dan ia melihat ibu jari kakinya itu berdarah karena tertusuk oleh duri yang ada di jalanan. "Sakit …."

Rein kembali berdiri dan ia berjalan dengan pincang setelahnya. Rumah Barra sudah tak jauh lagi di depan sana. Gadis itu menghiraukan rasa sakitnya dan ia masih terus berjalan.

'Ceklek'

"Tan-" Rein langsung mengehentikan ucapannya. Ya, setelah ia membuka pintu rumah Barra dan hendak memanggil ibunya Barra, bibirnya langsung berhenti untuk berucap ketika ia melihat Barra tengah duduk dengan seorang wanita yang sudah beberapa kali ia lihat dengan pria itu.

Rein memicingkan matanya ke arah wanita itu sebelum ia kembali untuk tidak menghiraukannya dan ia beralih pada barra. "Mak lo mana?!" Tanya Rein dengan nada juteknya.

"Dapur." Sedangkan Barra menjawabnya dengan wajah datarnya. Rein sedikit berdesis ketika ia melihat wajah Barra tanpa ekspresi itu. "Gak usah sok cakep lo! Lo gak cocok buat kek gituan."

Setelah itu Rein membawa langkah pincangnya menuju dapur dan meninggalkan mereka berdua yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Barra yang melihat Rein berjalan dengan pincang pun langsung terfokuskan pada kakinya dan ia melihat ada sesuatu berwarna merah di ujung ibu jari kakinya.

"Tante, ini ada kiriman dari Mamih." Yumi—ibu kandung dari Barra— yang saat itu sedang memasak di dapur langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Ya ampun Rein, kok kamu jarang ke sini, Sayang?" Rein memberikan senyum cantiknya pada Yumi. Ya, karena Rein dan Barra dekat, jadi keluarga merekapun ikut menjadi dekat juga. Ah tidak, sangat-sangat dekat maksudnya. Jadi, Nayra dan Yumi terhitung sering saling berkirim makanan yang telah mereka buat masing-masing.

"Rein ada kok, Tante. Oh iya, hari ini Mamih bikin brownies." Rein memberikan brownies itu pada Yumi yang langsung diterima olehnya.

"Eumm wangi banget. Rein udah makan? Kalau belum … makan dulu, yu! Tante baru aja selesai masak, loh." Rein menggelengkan kepalanya pelan untuk menolaknya. Ia sudah makan tadi sekitar setengah jam yang lalu sebelum ibunya itu menyuruhnya untuk mengantarkan brownies tersebut.

"Rein udah makan, Tante." Mendengar itu Yumi pun mengangguk mengerti dan ia menata brownies yang tadi dibawa oleh Rein pada sebuah piring cantik besar berwarna bening. Rein melihat Yumi memisahkan kembali beberapa brownies ke piring yang lain yang ukurannya lebih kecil dari yang awal.

"Rein, tolong kamu bawakan ini untuk Barra sama pacarnya, ya? Tante mau beresin ini dulu." Mau tak mau Rein menurutinya saja karena ia tak enak jika harus menolak.

Ia kembali berjalan malas dengan kaki pincangnya menuju ruang tamu dan ia langsung meletakkan piring berisi brownies itu di atas meja depan mereka. Tanpa berkata apapun, Rein langsung kembali melengos pergi menuju dapur. Ia berniat untuk berpamitan pada Yumi sekarang juga.

Ya, seperti yang dikatakannya pada ibunya tadi, ia tidak ingin bertemu dengan Barra. Karena berhubung ia diharuskan untuk tetap pergi, mau tak mau ia pun akhirnya harus bertemu juga dengan pria itu. Jadi oleh karena itu, gadis itupun memutuskan untuk tidak lama-lama dan segera pergi dari tempat itu untuk membersihkan matanya dari pria yang sekarang dia anggap menyebalkan itu.

"Tante, Rein pamit ya."

"Kok buru-buru amat?"

"Rein ngantuk, Tante."

"Oh, ya udah. Hati-hati ya, Sayang." Rein mengangguk dan ia pun mulai pergi menjauhi rumah itu.

"Makin bete deh gue. Ini ngapa lagi ah pake ketusuk duri segala?! Nambah-nambah beban idup aja."

Ketika ia mengingat apa saja yang telah ia lihat tadi, ia pun kembali memasang wajah sedihnya. Ternyata Barra memang sudah benar-benar tidak peduli lagi akan dirinya. Jika boleh jujur, sebenarnya Rein sangat merindukan Barra. Hari-harinya tanpa Barra itu benar-benar sangat sunyi baginya. Tidak ada yang mengusilinya, tidak ada yang membuatnya kesal, dan … tidak ada yang perhatian lagi padanya.

Ia menjadi benar-benar kesepian.

Jika begini caranya, ia menyesal karena telah tumbuh dewasa. Ia merindukan masa-masa remaja pertengahannya di dunia SMA. Masa itu benar-benar masa yang paling indah baginya, yang mana ia sama sekali tak pernah merasakan kesepian.

Rein merindukan Sheril, Dara, dan juga Erin. Mereka yang dulu selalu ada untuknya … kini menjadi sangat susah untuk ditemui dan diajak untuk berbincang. Rein ingin kembali, Rein ingin kembali memutar waktu ke belakang. Waktu dimana Haris masih bersamanya, waktu dimana ia dapat bercanda dan tertawa lepas bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Dan, waktu jam istirahat yang selalu mereka habiskan bersama waktu itu.

"Gaes, gue kangen masa-masa sama lo pada. Gimana, dong? Kalian kangen masa-masa kita juga, gak? Gue sedih, nyatanya kehidupan gue saat ini gak seindah kehidupan gue sewaktu masih bareng-bareng sama kalian."

Rein tidak langsung pulang ke rumahnya tapi ia berjalan belok menuju ke sebuah taman yang ada di sana. Rein hanya ingin menenangkan pikirannya saja dan membuang keluh kesahnya itu di atas tanah yang luas berhiaskan bunga-bunga juga pepohonan yang rindang.

Ia mendudukkan bokongnya pada salah satu kursi taman yang letaknya tak jauh dari sebuah kolam ikan. Ia menopangkan kakinya dan menatap lurus ke arah depan. Hatinya terdengar sangat berisik dan memorinya memutar kembali akan kejadian yang begitu menyenangkan di masa yang sudah terlewati dengan begitu sangat jauh untuk sampai di masa ini.

Rein meneteskan air matanya yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya tatkala ia berkedip. Semakin berisik hatinya dengan kata-kata yang menyedihkan, maka semakin deras pula gerimisnya.

Sedangkan itu di belakang sana melintas sebuah motor yang ditunggangi oleh dua orang dengan gender yang berbeda. Seseorang yang mengendarainya menoleh ke arah gadis yang tengah memunggungi jalanan itu. Ia dapat melihat bahu gadis itu menurun dan kepalanya pun sedikit tertunduk. Seseorang itu bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang terjadi dengan gadis itu sebenarnya.

"Rein?"

Ah tidak, ia menggelengkan kepalanya dan kembali fokus pada jalanan tanpa harus menghiraukan gadis itu.

Ingin rasanya Barra menghampirinya dan memastikan keadaannya. Tapi, ada dua hal yang membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan hal itu. Pertama, ia sedang bersama Chaerin saat ini yang statusnya telah resmi berpacaran dengannya dari semenjak satu minggu yang lalu, jadi tentu saja ia harus pandai-pandai menjaga perasaannya. Dan yang kedua, ia sedang berada dalam proses menghapus rasa cintanya terhadap seorang gadis yang kini sedang duduk menyendiri di taman tersebut. Ia takut akan kembali jatuh cinta padanya setiap kali ia menatap wajah cantiknya.

Tapi … tanpa Barra sadari, proses move on yang tengah ia jalani tersebut benar-benar menyakiti perasaan Rein.

•To be Continued•