webnovel

Chapter 9

Dalam kegelapan yang tak pernah disinari bulan dan matahari. Petih hitam itu terbuka. Dua bola mata merah dengan wajah pucat itu bangkit. Gigi taringnya perlahan menyusut seiring bau itu hilang. Juba merah bercampur hitam dengan simbol kepala kelelawar bergigi taring menunjukkan, jika ia bukan orang biasa.

"Dia telah kembali."

Senyum di bibir pria berhidung mancung itu tertarik.

"Hormat yang mulia. Kami sudah menunggu dalam waktu yang lama."

Vanila perempuan setengah laba-laba itu menunduk hormat. Vanila adalah pemimpin Jorugumo, iblis setengah laba-laba. Setelah perang 500 tahun lalu itu membuat mereka harus menyamar menyembunyikan identitas mereka.

Sekelompok orang menunduk memberikan hormat pada raja mereka yang telah kembali.

*

"Lapor yang Mulia, para traitor mengamuk di perkotaan."

Draco menghilang bersama Tulip dalam gendongannya. Menatap sebentar, lalu membuat sebuah labirin pelindung.

….

Para penduduk berlarian. Mereka memang punya sihir, tapi tak sekuat para bangsawan. Beberapa penduduk terluka parah.

Para traitor adalah kumpulan makhluk imortal yang menjadi penghianat. Perang 1000 tahun lalu saat perebutan kekuasaan, sebagian makhluk imortal melarikin diri karena raja mereka dikalahkan.

Draco dan keenam pangeran lainnya sudah tiba di perkotaan.

"Bau darah Agacia bisa membuat mereka muncul." Heros merutuki secara pelan. Sepelan apapun keenam pangeran lainnya bisa mendengar.

Draco berubah menjadi menjadi seekor serigala hitam besar. Suara mengaumnya terdengar mengerikan ke segala penjuru. Ia bisa berubah menjadi apapun yang ia inginkan.

Dengan cepat berhadapan dengan para serigala hitam berwarna merah yang tubuhnya tak sebanding dengan besar tubuh Draco.

Avram dan Heros mengeluarkan tongkat sihirnya. Dimitri dengan kecepatan cepat mencabik dan menggigit leher para Traitor.

Cleon mengeluarkan kipas yang sudah diberi mantra. Dengan gerakan cepat ia bertarung. Kipasnya bertebrangan menembus perut beberapa vampir penghianat. Tapi mereka sangat cepat melakukan regenerasi.

Drew dan Elenio terbang dengan pedang di tangan mereka.

Pertempuran sengit itu membuat beberapa bangunan hancur, banyak mayat yang tergeletak.

Tubuh serigala Draco menarik tubuh salah satu serigala bermata merah hingga tubuhnya terbagi dua. Lalu mengaum dengan kuat menandakan kemenangan di tangan mereka.

**

Matahari menembus masuk dari balik jendela yang terbuka, hingga menganggu mata Tulip yang masih terpejam

Kedua bola mata Tulip terbuka. Kupu-kupu biru terbang hanya sebatas di jendela kamar, lalu terbang begitu saja. Tulip merenggangkan tubuhnya, mencoba untuk duduk. Menatap sekeliling Tulip membuang nafas kasar. Ia pikir sudah kembali ke rumahnya.

Dayang-dayang masuk dan berbaris rapih.

"Agacia, aku sangat merinduhkanmu."

Tulip mengerutkan keningnya, perempuan dewasa yang tampak masih mudah duduk dan memeluknya.

"Aku sudah dengar, kau kehilangan ingatanmu. Aku ibumu."

Tulip membelakkan matanya. Ia jadi ingat ucapan Lesi jika ibu Agacia seorang pelayan di istana Alceena. Tapi kenapa wajah orang-orang di sini tampak muda dan tak menua. Ia baru sadar, jika raja, ratu bahkan para selir raja tak ada yang menua. Hanya terlihat lebih dewasa.

Tulip merasa aneh, perempuan di hadapannya terasa asing. Tulip menggaruk rambutnya yang tak gatal. Tentu saja ia bukan Agacia. Tulip mengusap wajahnya frustasi.

"Bersabarlah, dia akan datang mencarimu."

Tulip menatap tak paham ibu Agacia.

"Kepala Neina, anda harus mengurus Ratu."

Neina ibu Agacia memberi senyum lalu membungkuk hormat dan pergi. Tulip membuang nafas kasar. Pagi, siang, sore, dan malam kapan waktunya harus berakhir.

Tulip memilih membersihkan dirinya. Ia ingat jika semalam Draco menyayat tangannya. Dengan panik ia menyentuh tangannya. Luka itu telah hilang. Bahkan taka da bekas sama sekali. Ini benar-benar gila. Percaya tak percaya, tapi setelah berada di sini, segalanya yang tak mungkin berubah jadi mungkin.

**

Tulip berdiri menatap hamparan istana dengan pandangan sedih. Ia ingin pulang.

"Kau tak ingin makan?" Tulip memilih menatap luar dari pada berbalik menatap Draco. Suara itu adalah Draco yang telah menjadi suaminya.

"Bisakah semuanya berakhir dengan cepat?" Mungkin Draco tak mengerti kalimatnya. Tapi bagi Tulip, ia begitu lelah. Ia takut terjadi hal mengerikan.

"Jangan jadi perempuan merepotkan. Jika kau ingin mati, aku bisa membunuhmu sekarang juga."

Tulip mengepalkan tangannya, menatap penuh kesal kea rah Draco.

"Kenapa kau sangat membenciku, huh? Apa kesalahanku, hingga kau ingin membunuhku setiap saat?"

Tulip sudah tak tahan dengan kalimat membunuh dan mati yang sering Draco katakan padanya. Menahan tangisnya. Ia berusaha kuat untuk melewati semua ini. Jika sama Miorai tidak membawanya ke sini, ia takan pernah merasakan takdir mengerikan ini.

"Apa kau tahu, aku bahkan tak ingin ditakdirkan untukmu."

Tulip menatap dengan berani Draco yang terlihat menahan amarahnya. Mata hitam Draco berubah dari biru, hijau dan sekarang merah.

Tulip menahan nafasnya saat Draco mencengkaram leherhnya.

Angin bertiup lembut, rambut hitam panjangnya menari-nari mengikuti arah angin. Tulip membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah keindahan kota yang dikelilingi hutan.

Tulip berbalik ke belakang, yang ia lihat adalah bukit penuh bunga. Di bawah pohon Wisteria berwarna ungu Draco berdiri menatapnya.

Ia pikir Draco akan membunuhnya, tapi pria kejam itu membawanya keluar dari istana dengan kekuatannya.

Kupu-kupu bertebrangan mengelilinginya, lalu terbang menuju bunga. Tulip berlari mengejar mereka. Senyum lebar terbit di bibirnya. Seperti anak kecil Tulip melompat ingin menangkap kupu-kupu.

Dari bawah pohon winter sudut bibir Draco terangkat melihat tingkah Tulip.

Seakan melupakan masalahnya, Tulip terus berlari. Sesekali ia cemberut, lalu tertawa saat banyak kupu-kupu hinggap di kepalanya seperti mahkota.

Tulip membaringkan tubuhnya di rerumputan. Udara di sini begitu bersih. Ia benar-benar menikmati momen ini.

"Makanlah."

Tulip menatap makanan di tangan Draco. Dengan cepat ia bangkit dari baringannya. Tak tahu sejak kapan Draco membawanya makanan.

Melihat daging ayam bakar di dalam wadah perut Tulip merasa lapar.

Tanpa tahu malu, Tulip makan dengan lahapnya. Draco memilih berbaring di sebelah Tulip.

"Kau tahu, dunia ini sudah sangat tua. Tapi pohon winter ini masih tetap kokoh."

Tulip mengunyah makannya, lalu menatap pohon tempat mereka berteduh.

"Memangnya kau sudah hidup berapa tahun?" Tulip merasa penasaran dengan umur mereka.

"1000 tahun."

Tulip terbatuk, daging yang ia kunyah benar-benar tersangkut di lehernya. Sepertimya pendengarannya yang bermasalah. Tulip merutuki Draco yang bahkan tak membawanya air. Ia pikir 10 tahun, tapi Draco dengan jelas bilang 1000 tahun. Bukankah itu hal gila. Ia saja berusia 22 tahun.

"Hanya kau yang bisa menyembuhkan Ariela."

Tulip langsung menatap penuh ke arah Draco. Ia baru menyadari jika sudah dua hari ia tak melihat Ariela.

"Apa yang harus ku lakukan untuk menyembuhkannya?" Tulip rasa ia harus bertanggung jawab. Ia hampir saja membunuh Ariela.

Draco menatap Tulip sebentar, lalu menatap ke arah istana di bawah sana.

"Darahmu. Dia harus mengisap darahmu."

Tulip menjatuhkan tulang ayam digenggamannya. Apakah artinya ia harus mati?