webnovel

Chapter 10

Tulip menundukkan kepalanya di lutut dengan dua tangannya sebagai sandaran. Ia harus menyembuhkan Ariela dengan darahnya. Draco bilang ia takakan mati. Ia pikir menolong untuk mencari obat penangkal racun.

Tulip sempat berfikir jika ia dikatdirkan ke dunia ini untuk menyumbangkan darahnya pada Ariela. Tulip bangun dari duduknya. Mungkin setelah ia memberikan darahnya ia akan kembali. Ia tak ingin berakhir mengerikan di sini.

Masuk bersama beberapa pelayan yang melayaninya, Tulip berdiri di samping ranjang Ariela. Matanya tadi sempat melihat Draco menggenggam tangan Ariela. Ia merasa pernikahan mereka tak ada artinya. Ia seperti menikahi pria yang mencintai perempuan lain. Sekarang ia paham, Draco membawanya ke bukit indah itu, hanya untuk memberitahunya menjadi obat Ariela. Mau tidak mau, ia pasti akan tetap menjadi obat untuk Ariela. Ariela lebih penting dari posisinya.

"Aku bersedia memberikan darahku."

"Apa kau gila? Kau bisa mati."

Tulip tak menyangka, bahkan Dimitri saja bisa begitu marah mendengar kalimatnya. Tapi Draco yang menjadi suaminya bahkan hanya diam. Tulip berpikir Draco pasti bahagia mendengar kalimatnya.

Tulip hanya diam. Dimitri berlalu pergi. Pangeran lainnya hanya diam. Tak ingin ikut campur.

...

Mereka berada di kastil tua tengah hutan kerajaan. Hutan di mana mereka berburu, Tulip tak menyangka ada kastil kecil tersembunyi.

Kakek tua berambut putih itu membaca mantra. Puteri Ariela masih tertidur dengan wajah pucat. Tiba-tiba mata Ariela berubah menjadi merah, gigi taring keluar seperti vampir. Bau tubuh Tulip begitu tercium di hidungnya. Dengan cepat ia menyerang Tulip. Tangan Tulip berkeringat, jantungnya berdetak kencang. Ariela yang lembut tak terlihat. Wajah itu terlihat seperti monster pengisap darah.

"AHKKKKKKKKKKKK."

Tulip berteriak kencang. Teriakkannya tak terdengar sampai istana. Tentu saja kastil di tengah hutan itu sudah dimantrai sihir membangun barir pelindung, agar tak ada monster yang datang, karena bau tubuh Tulip.

Tulip merasa darahnya sudah tersedot habis. Kepalanya sakit, wajahnya memucat.

Draco dengan kekuatannya mendorong tubuh Ariela hingga terjatuh. Satu detik kemudian mata Ariela berubah kembali biru lalu pingsan.

Tulip terjatuh dalam pelukkan Draco. Ia menarik pelan jubbah merah Draco. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya pucat pasi. Rasanya inginmati.

"Apa aku akan pulang sekarang?" Suara Tulip terasa lemah. Matanya terpejam. Jantungnya melemah. Draco langsung menghilang dengan kekuatannya.

*

"Dia tetap puteri kita."

Sosok wanita berpakaian putih itu menangis. Kemudian memilih melompat dengan bayi dalam gendongannya.

Darah dan mayat tergeletak di mana-mana.

Tulip membuka matanya lebar. Nafasnya memburu.

"Yang mulia, puteri Agacia sudah sadar." Adrian tabib istana ini berbicara.

Tulip menatap sekitar. Masih kamar yang sama di istana ini.

Heros yang berlari ke arahnya dahulu. "Ku pikir kau benar-benar akan mati. Tubuhmu benar benar lemah.Sudah tiga hari kau tak sadarkan diri. Bukankah kau seorang Wizard?"

Tulip merasa pusing dengan runtutan kalimat yang Heros keluarkan.

"Jangan ganggu dia Heros. Sekarang keluar dari kamar ini."

Tulip mengangkat wajahnya. Suara Darco membuat ia menatap pria itu. Heros bilang tiga hari ia tak sadarkan diri, pria ini pasti sangat bahagia.

"Kakak ipar, aku harus pergi. Kau beruntung, puteri Ariela sudah sembuh."

Heros pergi begitu saja. Tulip merasa kesal, ia hampir mati tapi belum bisa pulang juga.

"Apa kau baik-baik saja?"

Selama ia hampir mati di sini, kalimat sakral itu baru ia dengar dari mulut Draco.

Tulip tersenyum sinis. Ia menatap berani pada Draco. Jika kemarin-kemarin ia takut pria ini memakannya. Maka mulai detik ini ia menyatakan perang pada Draco. Ia benar-benar tak perduli lagi.

"Bukankah kau senang aku sudah menolong kekasihmu?"

Wajah Draco mengeras. Ia tak percaya Tulip menatapnya seperti itu.

Tulip memilih menatap keluar. Kupu-kupu biru itu terbang di luar. Tulip tak peduli jika Draco akan membunuhnya. Ia harus bangkit untuk melawan Draco dan keluar dari sini hidup-hidup. Langkah pertama adalah ia harus mencari buku yang dikatakan Heros.

"Lebih baik kau pergi, aku tak ingin melihatmu sama sekali. Kau mau apalagi? Kekasihmu sudah sadar."

Draco mengepalkan dua tangannya, menahan emosinya. Ia menatap Tulip sebentar lalu melangkah keluar.

Tulip meremas selimut yang masih melekat di tubuhnya. Ia menikah dengan pria yang memiliki perasaan dengan perempuan lain. Jika tahu hatinya sudah untuk siapa, lalu untuk apa melanjutkan pernikahan?

Tulip memilih untuk membersihkan dirinya. Tubuhnya terasa berat.

Tulip berendam dalam air hangat dengan bunga mawar di dalamnya. Menutup matanya sebentar. Mengingat mimpi itu. Perempuan berpakaian putih dengan bayi dalam gendongannya. Tulip membuka matanya, saat mengingat perempuan itu melompat.

Terlalu banyak benang kusut yang harus ia luruskan satu-persatu.

**

Tulip memakai gaun sederhana berwarna biru, rambutnya ditata biasa saja dengan mahkota kecil kepalanya.

Ia harus menuju kastil pangeran Heros. Para pangeran memiliki kastilnya masing-masing. Tulip tersadar, setelah ia dan Draco menikah, ia belum pernah ke kastil Draco. Pria itu benar-benar, ia semakin membencinya. Ia terus saja memaki Draco dalam hatinya.

Tulip sampai di kastil milik Heros. Bangunan menjulang tinggi ini terlihat indah dengan taman bunganya yang bercahaya.

Tulip mengerutkan keningnya saat melihat sinar bunga itu perlahan hilang. Tulip yakin jika bunga ini ajaib. Tulip bahkan berjongkok untuk melihat cahaya itu meredup.

"Pfuttthh." Suara menahan tawa itu membuat kerut Tulip mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke arah belakang.

Tulip mendengkus malas saat melihat Heros memegang tongkatnya sambil tersenyum lebar.

"Kakak ipar apa kau datang mencariku, apa tubuhmu sudah baik-baik saja?"

Tulip bukan tipe yang suka berbasa-basi. Apalagi jika berbicara dengan pangeran Heros.

"Kau sudah berjanji untuk mencari buku itu denganku."

Heros terkekeh, ia merasa kagum dengan Tulip. Selalu terlihat baik-baik saja, walau ia tahu sedang tidak baik-baik saja.

…..

Tulip dan Heros berjalan menuju perpustakan kerajaan. Tulip benar-benar tak sabaran. Melewati taman belakang kerajaan Tulip melihat Draco sedang berbicara dengan Ariela. Pembicaraan mereka berhenti saat melihat Tulip dan Heros lewat.

Ariela yang menyadari kehadiran Tulip, segera mendekati.

"Agaci, maaf telah membuatmu tak sadarkan diri selama tiga hari. Aku benar-benar merasa bersalah, aku telah mendengar semuanya dari pangeran Draco.Terima kasih karena telah menolongku. Dan aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian."

Tulip menatap Draco yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sedang menatapnya dengan tajam, seakan ia adalah mangsa yang siap diburu.

"Kau tak perlu minta maaf dan berterimakasih. Semua salahku. Jika saja aku tak melesetkan anak panah itu, semuanya takan terjadi." Tulip tersenyu, sadar jika ia tak pantas untuk membela dirinya.

"Kau wanita yang baik. Semua hanya kesalahpahaman. Aku sangat berterimakasih."