webnovel

Chapter 4

Langit malam di dunia Alcenaa sangat indah.

Tulip melangkahkam kakinya menelusuri lorong istana Timur. Istana Timur tempat para tamu menginap. Tulip begitu kagum dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dengan desain indah, tapi terlihat Kuno.

Mungkin terlihat gila ia berkeliaran di istana ini. Hanya saja ia melupakan kotak perhiasan Tirani di kereta kencana mereka. Untung saja kereta yang membawa mereka datang belum pulang ke istana Wizard. Ia bisa membuat Tirani murka. Perempuan itu baik, hanya saja kecantikan dan keindahan tubuhnya lebih dinomor satukan.

Tulip menghentikan langkah kakinya. Matanya menyipit saat melihat adegan tak senonoh di depannya.

Lorong istana ini memang terlihat suram, tak ada penjagaan.

Pria dan wanita itu berciuman panas di balik pilar.

Tulip tak bisa menjabarkan betapa memerah wajahnya. Ia bahkan belum pernah berciuman sebelumnya.

Perempuan berkulit pucat itu begitu cantik. Hanya saja ia penasaran dengan pria yang sedang memunggunginya. Keduanya masih terus berciuman penuh gairah, seakan tempat terbuka ini adalah tempat tertutup.

Tulip tak menyangka, mereka tak tahu malu. Baru saja Tulip ingin melanjutkan langkahnya, ia menunduk dalam. Tak ingin mencari masalah.

Draco berbalik, Vilia mendesah kesal. Ia belum puas. Matamya berubah merah darah, ia menatap tajam Tulip.

Perempuan berkulit pucat itu menatap tak suka ke arah Tulip. Ia tidak bisa menyakiti atau melukai seseorang di istana ini. Raja Dominic tidak akan membiarkan mereka melakukam sesuka hati.

Draco bahkan menghilang begitu saja.

Tulip berlarian setelah sampai di tikungan. Kaki mungilnya menelusuri lorong yang terlihat sangat panjang.

Ia melihat perempuan berkulit putih pucat itu, menatapnya dengan mata berwarna merah. Mata merah itu mengingakannya pada Draco. Pria yang berubah wujud menjadi makhluk menyeramkan yang bisa terbang.

Lebih parahnya, pria itu adalah pria yang sedang berciuman tak tahu tempat. Mungkinkah pria kasar dan wanita pucat itu merupakan mate.

Tulip menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin masuk atau terlibat dengan hubungan asmara mereka. Tidak mati saja di sini ia suda bersyukur.

"Huaaah."

Tulip menghentikan kakinya. Jantungnya seakan ingin melompat keluar. Matanya terbuka lebar.

Tulip membuka mulut, meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Bahkan bernafas dengan hidungpun tak sanggup. Ia hampir saja menabrak Draco. Pria kasar dan mesum ini tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Kau, apa yang sedang kau lakukan?"

Tulip merasa kesal. Sebenarnya ia takut, tapi rasa kesal lebih mendominasi. Di sini ia mati-matian menahan sikap pembangkangnya. Tapi yang pria ini lakukan benar-benar membuatnya kesal. Ia hampir mati karena jantungan. Tersadar dengan kalimat kasarnya, Tulip menutup mulutnya.

Senyum smirk yang dikeluarkan Draco begitu menakutkan di mata Tulip. Sebagai manusia biasa ia harus waspada. Bagaimana jika tubuhnya jadi santapan. Memikirkannya saja membuat ia ingin segera kabur dari sini.

Tulip memundurkan tubuhnya ke belakang. Penyesalan memang selalu datang di belakang.

"Kau melihat kami?"

Tulip menelan ludahnya kasar. Ia tetap melangkah mundur. Sedangkan Draco terus maju.

"Aku hanya lewat, dan bukan salahku!" Tulip tak ingin disalahkan. Bukankah mereka yang berciuman sembarangan tempat?

"Kenapa aku tak bisa membaca pikiranmu?"

Draco menarik tubuh Tulip mendekat.

"Kau hanya pelayan rendahan, kenapa aku tak bisa membaca pikiranmu?"

Draco mengeratkan cengkramannya tak peduli jika sekarang Tulip sedang menahan kesakitannya.

"Aku tak tahu, Aww."

Draco melepaskan dengan kasar, hingga tubuh Tulip hampir saja terpental.

Draco pergi begitu saja setelah menyakiti Tulip.

Dengan mata memerah hampir menangis. Tulip memaksakan tubuhnya untuk berdiri.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Tulip mendongak. Matanya bertemu sosok pria berambut cokelat dengan jubah berwarna merah, sedang menatapnya. Tulip pikir pria ini akan bersikap kasar padanya. Tapi, yang dilakukannya membuat Tulip kembali menatap wajah pria ini. Dia membantunya berdiri.

"Hati-hatilah berjalan. Kau bisa terluka."

Kali ini jantung Tulip berdetak tak karuan. Perlakuan lembut pria ini menenangkan hatinya.

Dimitri pergi begitu saja. Sosok dari kegelapan malam hanya mengamati dari jauh.

**

Pagi hari, Tulip berlari kelimpungan. Ia semalam tak bisa tidur karena memikirkan hidupnya.

Sekarang ia harus membantu Tirani bersiap-siap.

"Tulip, apa yang terjadi pada wajahmu?"

Tulip mendesah legah, saat sampai di sini, banyak pelayan yang membantu Tirani menyiapkan diri. Buktinya Tirani sudah selesai berdandan.

"Kau sangat cantik."

Tirani hanya mendengus malas.

"Lihatlah wajahmu itu. Kau juga harus bersiap, aku tak mau melihat kau berpenampilan buruk seperti itu. Aku juga sudah menyiapkan gaun untukmu."

Tulip membelakkan matanya. Ia benar-benar berantakkan. Tentu saja ia baru bangun tidur dan berlari ke sini.

.....

Tulip memantulkan tampilannya dicermin. Ia juga tak kalah cantik, tapi memang berbanding jauh dengan perempuan-perempuan imortal ini. Kalung bermata biru kecil di lehernya sudah lama melekat. Sejak pertama kali ia bangun di hutan itu. Bahkan ia tal bisa melepaskan sama sekali.

keluar dari kamar untuk menemui Tirani, Tulip menghentikan langkahnya. Vilia menatap tak suka pada Tulip.

"Bukankah kau seorang pelayan?"

Vilia memicingkan matanya, tampilan Tulip seperti tuan puteri. Sama sekali tak pantas.

"Kau sangat jelek dengan gaun berwarna biru itu."

Tulip mengerutkan keningnya. Sepertinya memang benar. Hanya saja ia mengikuti perintah tuannya.

"Aku yang menyuruhnya puteri Vilia. Dia pelayanku."

Vilia mengangkat sudut bibirnya meremehkan.

"Ah, pelayanmu ternyata. Kau masih punya muka untuk menunjukkan wajahmu di depan banyak orang?"

Wajah Tirani mengeras. Tulip yakin, kedua perempuan cantik ini musuhan.

Tirani mengepalkan kedua tangannya. Ia selalu dianggap sebelah mata karena tak punya kekuatan.

"Ada apa denga tatapanmu? Kau ingin melawanku?"

Vilia tertawa mengejek.

"Kupikir puteri dari kerajaan Vampir bermartabat, tapi nyatanya sikap angkuhnya tak sebanding dengan status mewah yang didapat."

Suara lemah-lembut terdengar. Perempuan bergaun biru yang menampilkan bahu seputih susu, dengan rambut cokelat yang dibiarkan terurai sebagian, ada mahkota kecil di kepalanya, mata biru seperti lautan itu terlihat menenangkan, datang mendekat dengan anggun bersama pelayannya.

Vilia menatap tak suka pada Ariela, puteri dari kerajaan Mermaid ini selalu bersikap seakan ia paling benar.

Vilia memilih pergi diikuti pelayannya. Jika tidak, ia benar-benar akan bertarung degan Ariela. Sejak dulu para Ariela menjadi puteri paling cantik di negeri ini. Sudah lama ia ingin bertarung dengan Ariela, ingin mencoba seberapa kuat perempuan itu.

*

Tulip pikir pertemuan akan dilakukan di aula istana. Nyatanya mereka berada di taman. Ada pavilion besar di tengah taman. Seorang pria tua berambut putih berdiri di tengahnya. Sedangkan Raja menduduki kursinya. Diikuti Ratu, permaisuri dan para selirnya.

Para pangeran duduk di sisi kanan, sedangkan sisi kiri adalah para puteri. Pelayan sepertinya, berdiri berbaris dibelakang para puteri.

Tirani menjelaskan, jika hari ini aka diadakan ritual di mana para puteri dan pangeran akan tahu mate mereka masing-masing.

Ritual mulai dilakukan. Api dinyalakan. Pria tua berambut putih itu membacakan sebuah mantra. Ada kertas bercahaya yang dimasukkan. Beberapa kali pria itu memutari api.

Langit yang awalnya cerah menjadi gelap. Kilat bahkan menyambar pohon besar di taman.

Tulip merasa merinding, angin bertiup kencang, mematikan api itu. Seketika para puteri menatap para pangeran, begitu juga sebaliknya. Tapi ada hal aneh yang terjadi. Tulip berteriak kesakitan.

Telapak tangannya bercahaya seperti membakar tangannya, bahkan tubuh Tulip bercahaya. Waktu seakan berhenti. Ia seperti tersedot masuk dalam kegelapan. Semuanya gelap.

"Kau perempuan pilihan."

Tulip menatap sumber suara. Perempuan tua memakai juba hitam menutup sampai kepalanya.

"Takdirmu adalah menjadi pasangannya. Memutus kutukannya."

Perempuan tua itu tersenyum.

"Siapa kau?"

"Aku yang membawamu ke sini."

"Kenapa? Bagaimana aku bisa kembali?"

"Jalani takdirmu, kau adalah gadis pilihan yang akan mengubah semuanya."

Perempuan tua itu menghilang. Tulip kembali ke masa sekarang.

"Dia perempuan pilihan itu."

"Dia yang akan menjadi pasangan Demons."

Bisik-bisik terdengar jelas.

Para pelayan yang dekat menjauhi Tulip.

Seisi ruangan menatap Tulip. Tirani bahkan tak menyangka.

Tulip menatap Draco, kata Lesia, pangeran Draco adalah demons itu.

keduanya saling tatap dengan pandangan berbeda.