webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 9: lantai 1(1) Meaningless village

Sang ular berdesis nyaring, tubuhnya seolah melesat seperti pesawat maupun roket yang biasa kulihat di TV. Tubuhku bisa remuk kapan saja kalau telat sedikit menghindari hantaman kepala yang menyebabkan retakan besar di gua. Sembari membawa pedang biru ini, aku berlari menghindari lilitan tubuh raksasanya. Dengan bersusah payah melewati bongkahan batu dan es sampai pada pintu hitam yang tertutup rapat. Kurasa tampa mengalahkan ular itu, aku tidak akan bisa keluar dari sini.

Ular itu kembali menyerang, hanya saja dengan mulut menganga. Aku menghindarinya, dan sang ular menghancurkan dinding batu di dekat pintu. Aku berguling kedepan, sampai tubuhku terbaring nyaris kehilangan sisa energi. Aku kembali berdiri. apakah tidak ada cara lain untuk mengalahkan ular raksasa ini? Tidak adakah kelemahannya?

Mataku melihat dengan penat, setitik cahaya berpendar di bawah dagu ular itu. Pendarannya sama dengan pedang yang sedang kugunakan sebagai tumpuanku berdiri. Baiklah, jika memang ini yang diperlukan untuk mengalahkan ular raksasa itu. Tidak ada pilihan lain selain menancapkan si pedang biru ke sana.

Leher ular itu berdiri tegak dengan kepalanya yang menyentuh langit-langit gua, lantas menyemburkan napasnya yang membekukan batu di sekitar. Aku kembali berlari menghindari napas sedingin es tersebut, secepat yang aku bisa saat ini. Sialnya kaki kananku membeku terkena napasnya. Aku menelan ludah, saat kepala ular itu mulai mendekat seolah senang mangsanya telah terperangkap, seperti laba-laba yang akhirnya menangkap mangsa dengan jaringnya. Sial, ini membuatku frustasi, ayo berpikir cepat, berpikir, tentang apapun yang bisa saja menyelamatkan nyawaku sekaligus mengalahkan ular sialan ini!

Bergerak cepat aku mengambil dua butir manik perpindahan dari jendela penyimpananku, begitu kepala ular itu mengambil ancang-ancang. Tepat saat kepala itu kembali melesat dengan mulut terbuka, aku melempar sebutir manik perpindahan asal tepat di samping kepala sialan itu. Berharap jika begitulah cara menggunakan benda harapanku tersebut. Bekerja, tubuhku melayang di udara tepat di samping mata yang seolah tidak bisa melihat apapun di hadapannya. Aku melemparkan manik perpindahan satu lagi, sekarang tepat di atas kepala mahluk ular sialan ini. Begitu ada di atas kepala ular ini, aku menancapkan pedang dengan cahaya biru berpendar di atas kepalanya.

Ular ini akhirnya merintih kesakitan, tempat berpijakku mendadak bergetar dan berayun tak terkendali. Aku menggenggam erat pedang berpendar cahaya biru ini, menyesuaikan tubuhku dengan guncangan yang terus dilakukan oleh sang ular raksasa. Begitu kepala ular ini hendak membenturkan diri ke dinding, aku mencabut pedang berpendar cahaya biru. Lantas menggunakannya dengan menancapkan lagi di bawah permukaan sisik mahluk sialan ini, dan menggunakan seluruh beban tubuhku untuk membuat luka dari tengah kepala sampai tepat di ujung mulutnya. Setelah membenturkan kepalanya sendiri ditambah luka sayatan, akhirnya mahluk ini terjatuh di atas permukaan tanah.

Aku menjatuhkan diriku di atas tanah, lantas menyeret kaki kananku yang membeku untuk berjalan menuju sumber remang cahaya biru yang ada di bawah dagu ular raksasa ini. Hanya beberapa meter jaraknya dari tempatku jatuh, tapi terasa berat saat kaki kananku sepenuhnya membeku. Sesampainya di sumber cahaya ular ini, aku menancapkan sebuah pedang yang barusan aku gunakan untuk bertahan hidup. Cahaya birunya yang berpendar begitu serasi, cukup indah sampai kedua sumber cahaya itu kehabisan daya untuk bercahaya lagi.

Ular raksasa itu tidak bergerak lagi, tampaknya sudah mati. Aku mendekatinya, lantas mencabut kembali pedang yang aku tancapkan tadi. "Search," gumamku.

Jendela informasi terbuka tepat di hadapanku, mengatakan kalau pedang ini memang sudah kehilangan dayanya. Namun bukan berarti benda ini tidak berguna, pedang ini bisa di daur ulang kembali. Mungkin bisa kugunakan untuk memperkuat pedang katana ini, semoga saja ada ahli pedang yang bisa melakukannya di lantai atas. Begitu pedang ini tercabut kembali, tubuh ular raksasa itu berubah menjadi debu, meninggalkan sisik-sisiknya dan sebuah bola bercahaya yang nyaris mirip dengan kadal raksasa di gua api. Hanya saja bola ini berwarna biru muda yang indah.

Begitulah, aku tidak tahu sudah berapa lama di sini. Hanya saja aku berhasil menyimpan seluruh sisik ular ini ke dalam jendela penyimpanan, beserta bola bercahaya biru itu, juga pedang yang kehilangan cahayanya. Bahkan kaki kananku yang membeku sudah bisa kugerakkan lagi dengan normal. Setelah menyimpan seluruh barang yang bisa kugunakan di kemudian hari, aku keluar dari pintu hitam ini.

~***~

"Tampaknya kau benar-benar berpesta pora di sana," ujar pria itu sembari bersandar di dinding begitu aku keluar dari pintu hitam.

"Hah?"

Pria itu berdecih kesal, "Dasar bodoh," lantas memasuki pintu berwarna hitam di belakangku. Entah kenapa rasanya menyebalkan sekali, walau aku hanya bisa melihat tatapan matanya saja. Setelah itu muncul kembali mahluk bersetelan jas, menyapaku dengan elegan. "Selamat! Karena berhasil menyelesaikan quest mahkota beku! Sekarang kau bisa menaiki lantai berikutnya~"

Mahluk itu menjentikkan jari, seketika muncul sebuah lift tepat di samping pintu berwarna hitam tersebut. Pintu lift itu terbuka, tampaknya akan tidak masalah kalau ada sekelompok orang. Aku menghela napas, caranya amat sangat berbeda kala menaiki lantai setelahnya dengan bocah berkacamata yang kutemui kemarin. Tapi itu tidak masalah, karena tubuhku sangat lelah saat ini. Rasanya seperti bisa mati kapan saja kalau disuruh untuk berlari kembali.

Aku memasuki lift begitu saja, bersama dengan mahluk bersetelan jas yang memanduku sejak awal memasuki menara aneh ini. Sembari menunggu, aku memeriksa jendela statusku. Hp tinggal lima puluh, dan gold yang kumiliki sekarang ada 5.000. Juga levelku sekarang sudah dua puluh. Yah ... lumayan menyebalkan untuk harga pertaruhan nyawa. Aku berdecih kesal, hanya untuk mewujudkan satu keinginan saja aku perlu untuk mempertaruhkan nyawa. Apa-apaan ini! Ini benar-benar tidak setimpal.

Begitu pintu lift terbuka pemandangan alam yang begitu indah menyambutku, tidak lembab, tidak panas, juga tidak dingin. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya, suara mahluk bersetelan jas menyadarkan ku kalau semua ini masih ada di dalam menara.

"Selamat datang di lantai pertama menara, kalau dalam bahasa permainan zaman ini. Lantai ini adalah 'rest area,' kau bisa kembali ke lantai ini sesuka hatimu untuk beristirahat. Atau kalau kau ingin tinggal di sini juga tidak masalah, akan tetapi ... kau tidak diperbolehkan keluar dari menara sepanjang hidupmu," mahluk itu membentangkan kedua tangannya, "juga, kau tidak bisa keluar dari menara ini sampai kau bisa mencapai puncak menara."

"Begitukah? Menyebalkan sekali, bukankah ini rasanya tidak adil?"

"Hm ... memangnya keadilan itu apa menurutmu?"

"Dua pihak atau lebih diuntungkan sesuai usaha mereka, secara rata," ujarku singkat.

Mahluk itu terkekeh, "Menarik, sungguh manusia yang sangat menarik. Tapi sayangnya, keadilan yang berlaku di sini adalah sistem ... siapa yang lebih kuat dialah yang paling diuntungkan. Sebaliknya untuk yang paling terlemah di dalam menara ini. Karena kau ada di dalam menara, maka sistem ini berlaku juga untukmu. Wahai nona kecil." Mahluk itu membungkuk, seolah memberi salam. "Kalau begitu saya permisi, saya harus menjemput peserta lain."

Mahluk itu menghilang, meninggalkanku berdiri sendirian, dengan emosi yang terasa panas di dalam dada.

~***~