webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 8: the frozen crown

Status Eufony:

Lvl: 18

Hp: 100

Attack: 17

Defense: 17

Vitalitas: 50

Speed: 25

Int: 17

Luck: 17

Qi: 0

====

Bukan pertanda bagus kalau pria yang baru saja keluar dari pintu putih itu keluar dengan penuh bercak cairan aneh di mana-mana. Wajahnya yang tenang seolah mengatakan bahwa dia adalah orang dengan derajat lebih tinggi dariku. Terpancar dari matanya yang tajam dan menghindari ku dengan wajah ketus, aku tidak tahu harus kesal atau justru takut pada saat yang sama. Ada sensasi aneh saat berada di dekatnya, tetapi rasanya seperti bukan sesuatu yang baik.

"Persembahan untuk api," gumam pria aneh itu.

Mahluk bersetelan jas ini hanya terkekeh, "Kau pasti berharap kalau Quest yang kau sebutkan lah yang akan kau hadapi. Tapi ... sayang sekali, karena wanita ini telah merebutnya." Ia menepuk kedua bahuku cepat, lalu menyilqngkan kedua tangannya.

Pria aneh itu menatapku dengan tatapan tajam, entah kenapa ada pantulan bayangan api yang terasa familiar buatku dari matanya. Nyaris persis seperti ruangan ke dua yang aku masuki barusan. "Sial, dia tidak menjelaskan itu," ucapnya.

"Akan tetapi jangan kecewa, wahai manusia. Quest di pintu warna merah itu tetap berhubungan dengan api, walau ... mungkin akan sedikit berbeda," mahluk itu menunjuk pintu berwarna merah dengan tangan kanannya.

Mata laki-laki itu lantas menatapku, seharusnya aku senang akhirnya mendapatkan perhatian seperti itu setelah sekian lama terabaikan. Namun entah kenapa aku malah ingin meninju wajahnya atau menusuknya dengan pedang katana ini. Akan tetapi setelahnya dia membuang mukanya ke arah lain, mendengus kesal. "Tidak mungkin," dengusnya yang kudengar dari tempatku berdiri. Baiklah, orang ini memang seolah meminta untuk dilayangkan sebuah tinju ke arah pipinya yang tertutupi topeng putih polos sialan itu.

"Tampaknya tidak ada pesan lain, huh?" Ucapku memecah keheningan, lantas bersiap membuka pintu terakhir berwarna hitam. Tiba-tiba tanganku digenggam erat oleh pria aneh ini. Aku berdecih kesal, terselingi dengusan yang sudah kutahan selama ini. "Sekarang, apa maumu?"

"Tantangan yang akan aku hadapi ada di gua surga api. Seperti yang kamu lihat, mustahil manusia biasa sepertimu atau aku hanya sekedar berdiri di sana."

"Dan? Apa hubungannya denganku?"

"Aku minta dua buah berry pertahanan dari api, sebagai gantinya ... aku akan membantumu melawan musuh di balik pintu hitam ini." Pria itu mengetuk pintu berwarna hitam yang ada di hadapanku. "Aku tahu betul, musuh seperti apa yang akan kamu hadapi."

Aku menatap wajahnya yang tertutupi oleh topeng berwarna putih polos, agak kesal. Bukankah sebelumnya aku berhasil melewati dua pintu dan keluar hidup-hidup tanpa bantuannya? Kenapa pula aku harus menerima tawarannya? Aku tidak tahu apakah pria ini berasal dari China, Jepang, atau Korea, bahkan sekedar saling sapa pun dengannya tidak ada di dalam ingatan ku. Apakah karena hadiah dari balik pintu ini yang dia inginkan? Sepenting itukah, sampai dia ingin menolongku? Atau apakah dia ingin membunuhku?

"Seharusnya kau memiliki berry pemberian sang Raja monyet itu," ucapku kemudian.

"Monyet itu mati di tanganku, atas permintaannya sendiri," ujarnya sembari menunjukkan belatinya yang penuh darah aneh. "Terserah apakah kau akan percaya atau tidak."

Aku tersenyum, "Tentu saja aku tidak percaya, sialan!" Seruku sembari memasuki pintu hitam di hadapanku, menutupnya kencang. Sebelum akhirnya aku mendengar sumpah serapah diselingi dentuman yang berasal dari balik pintu ini. Aku terengah-engah dengan semburan embun yang berasal dari setiap napasku. Berdiri, kulihat pemandangan gua lagi. Hanya saja lebih sunyi dari pada sebelumnya.

Gua yang luas sepanjang mata melihat, gelap dan lembap, sedikit membuatku sesak tapi itu tidak masalah. Ada sebuah kolam besar di sini, di tengahnya terdapat pulau kecil dengan luas beberapa meter dan tidak berbentuk, dengan satu-satunya penghubung hanyalah beberapa petak batu. Anehnya tidak ada suara apapun di sini, hanya suara langkahku dan beberapa tetes air yang menggema di penjuru gua aneh ini. Akan tetapi bukankah ini terlalu mudah? Maksudku, tidak ada api di sini, bahkan hewan liar pun juga tidak ada. Sialnya, mahluk bersetelan jas itu tidak memberikanku petunjuk apapun perihal ini. Hanya mengatakan kalau ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Menyebalkan.

"Jadi ... apa yang harus aku lakukan?" gumamku sembari memperhatikan sekitar. Terlihat jauh di pulau kecil temaram cahaya biru berkilau kecil, kemudian redup, berkilau lagi, dan redup lagi. Begitulah terus sampai aku memutuskan untuk menghampiri pulau kecil aneh itu. Perlahan namun pasti melompati tiap batu yang terhubung satu sama lain.

Aku menghela napas lega, begitu memijaki bebatuan di pulau mini ini. Tidak ada apapun selain sebilah pedang berwarna biru terang, yang kadang redup, kadang bersinar lagi seperti sebelumnya. Aku memegang pegangan pedang ini, dengan sekuat tenaga mencabutnya dari bebatuan yang seolah memeluknya erat. Namun seolah menolak, aku beristirahat sejenak, kelelahan karena mengeluarkan tenaga terlalu besar untuk mencabut pedang aneh ini.

Sekali lagi aku berusaha mencabutnya, gagal lagi.

Terakhir aku mencabutnya lagi dengan mengerahkan tangan beserta kedua kaki. Setelah itu pedang ini akhirnya terlepas dari genggaman bebatuan yang kerasnya bukan main. Bersama pedang biru ini, aku terlempar beberapa langkah. Tepat setelahnya, suara auman yang keras menggema di seluruh penjuru gua. Aku berdiri susah payah, dengan tubuh yang bertumpu pada pedang yang kupikir menjadi biang keladi akan datangnya suara yang menggelegar seperti itu.

Bebatuan raksasa berjatuhan di hadapanku, diikuti dengan hawa dingin menusuk yang berhasil membekukan seluruh air di kolam raksasa ini. Bongkahan es juga ikut hancur berkat terhantam oleh bongkahan bebatuan besar tersebut. Akibatnya aku terhempas entah sampai berapa meter ke belakang. Tahu-tahu tubuhku sudah terbentur oleh dinding gua yang dinginnya bukan main saat ini. Susah payah aku kembali berdiri dengan pemandangan berupa ular raksasa yang ada di hadapanku.

Matanya berwarna biru terang, berdesis kencang memenuhi seisi gua yang sudah kacau karena perbuatannya. Tubuh yang besar menjadi satu-satunya primadona di dalam gua ini. Setiap desis mengeluarkan uap biru, yang kurasa merupakan sumber hawa dingin di sini. Raut wajah yang tidak tampak bersahabat, atau bahkan tidak berekspresi sama sekali saat kulihat menatapku tajam. Sembari berdesis, tubuhnya bergerak sedikit sana-sini. Menimbulkan getaran tambahan di dalam gua.

Aku menahan napas, tubuhku gemetar takut tidak karuan. Seharusnya aku minta pria itu menemaniku melawan musuh yang nyaris mustahil untuk ku kalahkan seorang diri seperti ini, toh, harganya hanya dua buah berry pertahanan dari api. Akan tetapi, dia sendiri bisa brutal membunuh peserta lain bersamanya, juga sang raja monyet. Artinya, dia bisa saja membunuhku saat ini juga.

Akan tetapi, bagaimana caranya aku mengalahkan ular raksasa ini?

~***~